“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?”
“Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan
“Tenanglah Aju. Kau harus tenang.” Sang selebriti, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini hanya pesta pernikahan biasa, bukan medan perang.” “Itu kau tahu.” Kira dengan cepat menimpali. “Jadi kenapa mukamu tegang begitu?” “Kau tahu kalau aku tidak begitu akur dengan keluarga besarku,” jawab Aju disertai dengan desahan nafas lelah. “Aku pasti hanya akan jadi badut di sana.” “Yang benar saja.” Kira langsung menghardik, mendengar apa yang dikatakan sang selebriti. “Kau cantik begini, mana mungkin jadi badut.” Kali ini, Aju memilih gaun berwarna biru langit dengan bahu yang terbuka. Lengan panjangnya yang transparan, memberikan sedikit kesan seksi. Ada belahan yang cukup panjang juga di bagian rok yang berbentuk A dan sudah sedikit dimodifikasi, agar terlihat agak mengembang. “Berhentilah mengeluh karena kau sudah luar biasa. Lebih baik kau telepon berondongmu itu.” Kira kembali membe
“Hai, sepupu.” Mau tidak mau, Aju menyapa orang yang baru saja mengejeknya itu. “Mulutmu masih saja seperti sampah ya.” “Setidaknya aku bukan manusia sampah sepertimu,” desis perempuan yang jadi lawan bicara Aju. Aiden yang berada di antara dua perempuan itu tertegun. Padahal mereka baru saja tiba dan belum ada lima menit di dalam tempat acara, tapi sudah ada saja yang menyerang. Makin terkejut karena yang menyerang dengan ejakan itu adalah sepupu Aju dan tampak tidak bersahabat. “Berhentilah membuat kegaduhan.” Baru juga Aju ingin membalas, seseorang lain datang. “Kalian itu bukan anak TK yang harus berkelahi karena mainan.” “Bukan aku yang mulai, Ma. Aju yang duluan.” Perempuan muda tadi tidak segan menunjuk. “Bianca.” Perempuan yang lebih tua menegur. “Ini adalah pernikahan kakakmu, jadi bersikaplah dengan baik.” “Menyebalkan.” Hanya itu yang dikatakan Bianca, sebelum berbalik pergi. “Maafkan
“Menjijikkan sejali.” Aiden berkomentar, ketika sudah duduk cantik di dalam mobil. “Masa di depan istrinya dia menggoda perempuan lain yang adalah sepupu.” “Ya.” Aju mengangguk dengan tatapan takjub, pada lelaki muda di sebelahnya. “Memang menjijikkan.” “Apa dia selalu seperti itu?” Aiden kembali bertanya, sembari menyalakan mesin mobil. “Maksudku, selalu mata keranjang dan menjijikkan.” “Aku tidak tahu kalau pada perempuan lain, tapi ... sepertinya sua selalu seperti itu padaku,” jawab Aju dengan kedikan bahu, tanda tidak begitu yakin. “Yang benar saja. Jangan bilang dia suka padamu atau mungkin terobsesi?” Aiden bergidik membayangkan hal itu. “Kalau pun iya, memang apa masalahnya?” Tentu saja Aju bingung dengan penolakan sugar baby-nya. “Dia itu sepupumu loh, Kak.” Aiden tanpa sadar menyebut kata kak. “Di negara kita memang diizinkan, tapi itu tidak baik untuk keturunan.” “Kenapa pemikiranmu jauh sekali?” tanya Aju, sambil menahan tawa. Dia merasa kalau lelaki muda di
“Wih.” Ray langsung berdecak kagum ketika melihat sahabatnya datang. “Motor baru dari Mommy nih.” “Tidak bisakah mulutmu dikunci?” tanya Aiden dalam desisan. “Suaramu keras sekali.” “Ops.” Ray menatap ke sekitarnya, sebelum berakhir mengucapkan maaf. Untung saja tidak ada orang yang terlalu dekat dengan mereka. “Kau bawa barang yang kuminta kan?” Aiden yang baru saja merapikan rambut, kini mengulurkan tangan pada sang sahabat. “Aku sudah mencarikan kemeja yang sekiranya cocok untukmu.” Ray merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan kemeja kusut. “Setidaknya itu bisa jadi outer karena kau sedikit lebih besar dariku.” Aiden berdecak pelan mendengar itu. Dia juga tahu fakta yang diungkapkan oleh sahabatnya, tapi tidak punya pilihan lain. Tempat kos yang Aiden tinggali, terlalu jauh dan dia bisa terlambat kalau pulang dulu. “Kenapa kau tidak meminta Si Dia untuk menjadikanmu model?” Ray tiba-tiba saja bertanya, sembari membantu sahabatnya memegang ransel pinjaman dari Aju. “Kau tah
“Bagaimana ini?” Aju mondar mandir di ruang tamu apartemennya, dengan kedua tangan di kepala. “Apanya yang bagaimana?” Kira terlihat bingung melihat sang selebriti yang terlihat bingung. “Soal yang diminta Damian itu loh.” Aju masih terlihat sangat panik. “Nanti bagaimana dengan Aiden? Dia kan jimat keberuntunganku.” “Berhentilah berpikir dia jimatmu.” Kira memutar bola mata dengan gemas. “Dia jelas saja hanya manusia biasa.” “Ya, tapi ....” “Begini saja.” Gemas sekali dengan Aju, sang manajer memotong kalimat perempuan itu. “Kita uji coba saja dulu. Untuk sementara, kau tidak perlu berdekatan dengan Aiden,” lanjut Kira dengan sesuatu yang sekiranya masuk akal bagi semua orang. “Mungkin selama sebulan atau sampai proyeknya selesai. Kita nanti bisa lihat apakah pekerjaanmu berkurang atau malah bertambah.” “Sebulan
“Kenapa sih dengan perempuan-perempuan sialan itu?” tanya Aiden menaikkan tudung pada jaket hoodie yang dia gunakan hari ini. “Itu tanda kalau kau makin terkenal, Bung.” Ray menepuk pundak sahabatnya, seraya menatap ke sekeliling. Banyak orang yang menatap mereka atau lebih tepatnya menatap Aiden. Sudah beberapa hari sejak kejadian bertengkar Sofia dan Sisilia, tapi keadaan tidak bertambah baik. Entah bagaimana, lebih banyak lagi perempuan yang berusaha mendekati Aiden dan membuat lelaki itu kesulitan. Bahkan mereka makin terang-terangan sekarang. “Padahal kau sedang absen menemui Mommy-mu, tapi gaya berpakaianmu makin keren saja. Ini jaket incaranku dan harganya mahal.” Kali ini Ray berbisik, sambil menarik jaket yang sahabatnya pakai. “Aku sempat dikirimkan beberapa barang, sebelumnya. Sepertinya, dia membeli lewat online dan mengirim langsung ke alamat kos yang memang sempat kuberikan padanya,” j