Yei, hari ini dua.
“Bagaimana ini?” Aju mondar mandir di ruang tamu apartemennya, dengan kedua tangan di kepala. “Apanya yang bagaimana?” Kira terlihat bingung melihat sang selebriti yang terlihat bingung. “Soal yang diminta Damian itu loh.” Aju masih terlihat sangat panik. “Nanti bagaimana dengan Aiden? Dia kan jimat keberuntunganku.” “Berhentilah berpikir dia jimatmu.” Kira memutar bola mata dengan gemas. “Dia jelas saja hanya manusia biasa.” “Ya, tapi ....” “Begini saja.” Gemas sekali dengan Aju, sang manajer memotong kalimat perempuan itu. “Kita uji coba saja dulu. Untuk sementara, kau tidak perlu berdekatan dengan Aiden,” lanjut Kira dengan sesuatu yang sekiranya masuk akal bagi semua orang. “Mungkin selama sebulan atau sampai proyeknya selesai. Kita nanti bisa lihat apakah pekerjaanmu berkurang atau malah bertambah.” “Sebulan
“Kenapa sih dengan perempuan-perempuan sialan itu?” tanya Aiden menaikkan tudung pada jaket hoodie yang dia gunakan hari ini. “Itu tanda kalau kau makin terkenal, Bung.” Ray menepuk pundak sahabatnya, seraya menatap ke sekeliling. Banyak orang yang menatap mereka atau lebih tepatnya menatap Aiden. Sudah beberapa hari sejak kejadian bertengkar Sofia dan Sisilia, tapi keadaan tidak bertambah baik. Entah bagaimana, lebih banyak lagi perempuan yang berusaha mendekati Aiden dan membuat lelaki itu kesulitan. Bahkan mereka makin terang-terangan sekarang. “Padahal kau sedang absen menemui Mommy-mu, tapi gaya berpakaianmu makin keren saja. Ini jaket incaranku dan harganya mahal.” Kali ini Ray berbisik, sambil menarik jaket yang sahabatnya pakai. “Aku sempat dikirimkan beberapa barang, sebelumnya. Sepertinya, dia membeli lewat online dan mengirim langsung ke alamat kos yang memang sempat kuberikan padanya,” j
“Aku tidak mau pergi!” Aju merajuk selayaknya anak kecil. “Tapi, Aju. Ini jelas kesempatan yang sangat langka.” Kira menarik sang selebriti dari ranjang tempatnya berbaring. “Kau bisa mendapatkan pekerjaan lagi, setelah beberapa minggu.” “Ah, benar juga.” Tiba-tiba saja, Aju bangun sendiri dari posisi tidurnya. Itu membuat Kira yang menarik sekuat tenaga, kehilangan keseimbangan dan nyaris membawa Aju jatuh bersama dengannya. “Bisa jangan tiba-tiba bangun?” desis Kira agak kesal juga. “Ini sudah tiga minggu.” Aju tidak peduli dengan keluhan manajernya. “Kapan aku bisa bertemu dengan Aiden? Janjinya kan selama tiga minggu saja?” “Masalahnya, pemotretan kita belum selesai. Lusa masih ada pemotretan berkelompok. Setelah itu, mungkin baru kau bisa pergi bertemu dengannya, tapi ....” Kira sengaja menjeda untuk melirik sang selebriti. "Itu kalau kau tidak dapat pekerjaan dari Damian.” “Kenapa kau seperti itu sih?” Ke
“Aku tidak mau.” Aiden menolak dengan sangat tegas. “Tidak bisakah kau menolongku sekali saja?” tanya Sofia dengan mata berkaca-kaca. “Aku benar-benar butuh tumpangan.” “Aku bisa memberimu tumpangan.” Sisilia langsung menghadang. “Aku dijemput sopir dengan mobil dan jelas punya banyak tempat lowong.” “Maaf, tapi aku tidak mau kena macet.” Sofia dengan cepat menolak. “Aku punya janji penting dan pasti terlambat kalau naik mobil.” “Kau bisa naik ojol.” Sisilia masih tidak mau kalah. “Itu sama saja. Aku harus menunggu ojolnya datang dulu dan dia bisa saja jauh. Makanya berhentilah menghalangiku atau aku akan menuntutmu karena terlambat.” “BAIKLAH.” Tidak tahan dengan pertengkaran yang makin sering terjadi itu, akhirnya Aiden mengalah. “Hanya kali ini saja aku membantu dan ini juga yang terakhir kalinya kalian berdua duduk di dekatku. Tid
“KENAPA KAU BISA ADA DI SINI?” Aiden jelas saja akan berteriak dengan kehadiran Aju yang tiba-tiba itu. “Maaf.” Perempuan cantik yang sudah melepas penyamarannya itu menunduk. “Kau pikir ini rumahmu?” Aiden masih marah karena dia ditemukan dalam keadaan tak pantas. Bukan sesuatu yang diluar nalar. Lelaki muda itu hanya dipergoki sedang menonton film biru saja. Suara desahan yang didengar Aju pun berasal dari sana. Aiden hanya menonton saja, tapi tetap terasa memalukan. “Aku kan sudah minta maaf,” keluh Aju yang mulai kesal dimarahi terus. “Lagi pula, salahmu sendiri karena tidak menutup pintu dengan baik.” “Bukan aku yang tidak tutup pintu dengan baik.” Aiden mendesah kesal ketika mengingat siapa yang terakhir keluar dari kamar kos miliknya. “Sudahlah.” Pada akhirnya, Aiden malas bertengkar dan mengibaskan tangan. “Ada perlu apa tiba-tiba datang ke sin
“Jadi bagaimana malam panas kalian berdua?” “Tidak ada yang seperti itu,” geram Aiden, berusaha melepaskan rangkulan sang sahabat dari pundaknya. “Oh, ayolah.” Ray memutar bola matanya dengan gemas. “Waktu aku memergoki kalian semalam, jelas sekali kalau kalian dalam posisi ingin melakukan sesuatu.” “Apalagi kau juga habis nonton film kan?” lanjut Ray yang menaik turunkan alisnya untuk menggoda. Geraman Aiden makin terdengar jelas. Dia jadi menyesal membiarkan sang sahabat memiliki kunci cadangan kos. Harusnya, walau Ray memaksa pun, Aiden tidak memberikan. Sekarang, lebih tepatnya kemarin malam, Ray malah melihat yang tidak seharusnya. Ray yang sempat pamit untuk belanja camilan, malah masuk ke kamar di saat yang tidak tepat dan membuat semuanya kacau. Untung saja teriakan histeris lelaki itu tidak sampai membuat seisi kos mendatangi kamar Aiden. “Demi
“Dia benar-benar creepy.” Aju kembali menatap ponselnya dengan kening berkerut. “Ada apa lagi sih?” Kira yang baru masuk ke mobil, langsung bertanya. “Masih seputar Damian yang terlalu banyak tahu itu?” “Tentu saja.” Si artis dengan cepat mengangguk. “Rasanya makin ke sini Damian itu makin menyeramkan. Dia nyaris tahu setiap ada kirimanku atau aku keluar rumah.” “Itu kan hal yang wajar.” Sayangnya, Kira tidak berpikiran yang sama. “Dia kan tinggal di apartemen yang sama denganmu. Mungkin saja dia kebetulan melihatmu.” “Tapi bagaimana dengan paketku?” tanya Aju yang kini menatap manajernya. Kira baru saja melajukan mobil. “Tidak mungkin setiap ada satpam yang terima paket dia bertanya kan? Dia juga tidak mungkin melihatku membawa paket karena Damian tinggal di lantai atas.” Kira terdiam untuk berpikir sesaat. Yang dikatakan Aju memang benar sih, tapi rasanya Damian juga tidak bertingkah aneh. Dia tidak tampak seperti pengun
“Aku mau sun di bibir.” Bibir Aju sudah maju, bahkan tubuhnya sudah mendekat ke arah Aiden. “Jangan gila.” Sayang sekali, lelaki yang duduk di belakang kemudi itu hanya memberikan telapak tangannya saja. “Teman-teman kampusku bisa melihat.” “Kaca mobilku hitam dan kau harus mematuhiku kan?” Aju mengatakan itu, dengan nada tanya dan senyum lebar di wajahnya. “Ya, tapi bukan berarti kita tidak akan terlihat. Setidaknya, tunggu sampai di tempat yang lebih sepi.” Mau tidak mau, Aiden mengatakan itu. Sesungguhnya, lelaki muda itu ingin sekali menolak. Biar bagaimana, ciuman itu seharusnya dilakukan dengan perempuan yang dia sukai. Aiden tidak suka melakukannya sembarangan, tapi di kontrak sudah jelas dia harus apa. Lagi pula, itu memalukan. “Mukamu merah loh.” Aju terkikik geli, melihat wajah yang serius menatap jalan itu berubah jadi tomat. “Padahal sudah pernah yang lebih dari itu, tapi masih malu-malu.” Aiden men