“Jadi bagaimana malam panas kalian berdua?”
“Tidak ada yang seperti itu,” geram Aiden, berusaha melepaskan rangkulan sang sahabat dari pundaknya. “Oh, ayolah.” Ray memutar bola matanya dengan gemas. “Waktu aku memergoki kalian semalam, jelas sekali kalau kalian dalam posisi ingin melakukan sesuatu.” “Apalagi kau juga habis nonton film kan?” lanjut Ray yang menaik turunkan alisnya untuk menggoda. Geraman Aiden makin terdengar jelas. Dia jadi menyesal membiarkan sang sahabat memiliki kunci cadangan kos. Harusnya, walau Ray memaksa pun, Aiden tidak memberikan. Sekarang, lebih tepatnya kemarin malam, Ray malah melihat yang tidak seharusnya. Ray yang sempat pamit untuk belanja camilan, malah masuk ke kamar di saat yang tidak tepat dan membuat semuanya kacau. Untung saja teriakan histeris lelaki itu tidak sampai membuat seisi kos mendatangi kamar Aiden. “Demi“Dia benar-benar creepy.” Aju kembali menatap ponselnya dengan kening berkerut. “Ada apa lagi sih?” Kira yang baru masuk ke mobil, langsung bertanya. “Masih seputar Damian yang terlalu banyak tahu itu?” “Tentu saja.” Si artis dengan cepat mengangguk. “Rasanya makin ke sini Damian itu makin menyeramkan. Dia nyaris tahu setiap ada kirimanku atau aku keluar rumah.” “Itu kan hal yang wajar.” Sayangnya, Kira tidak berpikiran yang sama. “Dia kan tinggal di apartemen yang sama denganmu. Mungkin saja dia kebetulan melihatmu.” “Tapi bagaimana dengan paketku?” tanya Aju yang kini menatap manajernya. Kira baru saja melajukan mobil. “Tidak mungkin setiap ada satpam yang terima paket dia bertanya kan? Dia juga tidak mungkin melihatku membawa paket karena Damian tinggal di lantai atas.” Kira terdiam untuk berpikir sesaat. Yang dikatakan Aju memang benar sih, tapi rasanya Damian juga tidak bertingkah aneh. Dia tidak tampak seperti pengun
“Aku mau sun di bibir.” Bibir Aju sudah maju, bahkan tubuhnya sudah mendekat ke arah Aiden. “Jangan gila.” Sayang sekali, lelaki yang duduk di belakang kemudi itu hanya memberikan telapak tangannya saja. “Teman-teman kampusku bisa melihat.” “Kaca mobilku hitam dan kau harus mematuhiku kan?” Aju mengatakan itu, dengan nada tanya dan senyum lebar di wajahnya. “Ya, tapi bukan berarti kita tidak akan terlihat. Setidaknya, tunggu sampai di tempat yang lebih sepi.” Mau tidak mau, Aiden mengatakan itu. Sesungguhnya, lelaki muda itu ingin sekali menolak. Biar bagaimana, ciuman itu seharusnya dilakukan dengan perempuan yang dia sukai. Aiden tidak suka melakukannya sembarangan, tapi di kontrak sudah jelas dia harus apa. Lagi pula, itu memalukan. “Mukamu merah loh.” Aju terkikik geli, melihat wajah yang serius menatap jalan itu berubah jadi tomat. “Padahal sudah pernah yang lebih dari itu, tapi masih malu-malu.” Aiden men
“Kau serius?” tanya Aju dengan kedua mata membulat besar. “Amat sangat serius, Angelina Juliana Utomo.” Kira bahkan sampai memanggil nama lengkap Aju saking seriusnya dia. “Tapi rasanya ini agak ....” “Mustahil.” Kira memotong dengan cepat. “Aku juga pikir seperti itu, tapi inilah kenyataannya, Sayang. Kau akan jadi bagian dari Beauty Lab secara resmi. Kau akan jadi ambasador mereka untuk negara kita tercinta ini.” Perempuan cantik yang baru saja sampai di rumah itu langsung melompat kegirangan karenanya. Kira-si manajer, ikut serta beberapa detik kemudian. Mereka bahkan berteriak keras untuk merayakan hal menggembirakan ini. Aju mendapatkan pekerjaan yang melebihi dari yang diberikan Damian. “Tapi bagaimana bisa?” Aju yang pertama kali tersadar, bertanya pada sang manajer. “Padahal portofolioku belum banyak juga.” “Kau lupa?” tanya Kira dengan kedua alis yang dinaik turunkan. “Kemarin itu UniLove sudah merilis
“Apa kau mau ke pesta denganku?” Tiba-tiba saja Sisilia datang menghampiri lelaki yang dia sukai dan menanyakan hal itu. “Maaf, tapi tidak bisa.” Tentu saja Aiden akan menolak dengan cepat. “Ujian sudah dekat dan aku mau belajar.” “Pestanya nanti sesudah ujian kok.” Sisilia dengan cepat memberitahu. “Lagi pula, kau tidak harus mendapat IPK sempurna kan? Toh, beasiswamu sudah dicabut juga. Tidak masalah kalau ada satu atau dua nilai c.” Aiden langsung mendelik ketika mendengar pernyataan yang baginya terdengar sangat merendahkan itu. Bahkan Ray saja sampai terkejut dan geleng-geleng kepala karenanya, apalagi Aiden yang memang selalu nyaris bernilai sempurna. “Apa kau meremehkanku?” tanya Aiden dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak suka. “Justru aku tahu kau pintar, makanya nyaris tidak mungkin mendapat nilai jelek. Aku hanya memberi tahu, agar kau tidak perlu belajar terlalu keras. Tidak ada lagi beasiswa yang mengharuskanmu bernilai sempurna.” Sisilia membela diri dengan ke
“Haruskah aku melakukan ini?” Aju menanyakan itu dengan nada lelah. “Aku tahu ini benar-benar tidak menyenangkan, tapi ... ini kesempatan besar,” balas Kira dengan nada memelas. “Tentu saja aku tidak akan memaksa kalau kau benar-benar tidak mau. Semua keputusan, ada di tanganmu, Aju.” Kira masih melanjutkan disusul dengan desahan pelan. “Kalau kau memang tertekan, kita tidak perlu melanjutkan ini semua.” “Tapi gimana dong?” tanya Aju yang kini berwajah cemberut. “Aku kan sudah tanda tangan kontraknya. Kalau batal, kita bisa kena denda.” “Makanya aku tadi memintamu untuk berpikir lagi.” Kira lagi-lagi mendesah. “Tapi kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencubit lidah berbisa mereka semua. Coba kalau aku yang dengar langsung. Kau terlalu baik.” Aju meringis mendengar sang manajer. Mungkin yang dikatakan Kira memang benar. Harusnya, tadi Aju keluar dari bilik toilet dan menegur mereka semua, alih-alih mengadu pada sang manaj
“Aku rasa ... aku salah dengar.” Setelah melamun sekian lama, akhirnya Aiden menyimpulkan. “Ya. Pasti aku salah dengar karena pakai helm dan di jalan tadi sangat bising.” “Kau itu kenapa sih?” Ray bertanya dengan kening berkerut dan suara berbisik. “Rasanya sejak tadi kau itu melamun dan tiba-tiba saja bicara sendiri.” Aiden menatap sahabat yang dia kenal sejak awal kuliah itu, kemudian melirik ke sekitarnya. Mereka sekarang sedang berada di perpustakaan dan tidak akan aneh kalau berbicara dalam bisikan. Yang jadi masalah sekarang ini adalah dirinya. Sejak kemarin, Aiden terus melamun karena mendengar apa yang dikatakan Aju. Dia berpikir keras dan berusaha mencari tahu, apakah telinganya salah dengar atau tidak dan berkesimpulan kalau dia salah. Itu sudah terjadi selama beberapa hari. “Aku rasa, aku hanya tertekan karena ujian sudah di depan mata.” Aiden mendesah ketika menjawab sahabatnya itu.
“Hai.” Damian tersenyum ketika melihat pintu di depannya terbuka. “Syukurlah aku tidak salah unit, ternyata ingatanku masih cukup bagus.” “Apa aku pernah bilang tinggal di unit berapa?” Alih-alih menyapa, Aju justru bertanya. “Pernah.” Damian mengangguk dengan sangat yakin. “Waktu aku bilang kalau aku tinggal di lantai lebih atas, kau menyebut tinggal di unit ini.” “Oh, begitukah?” Walau masih merasa bingung, Aju hanya bisa mengangguk saja. Ingatan Aju memang kurang bagus. Itu yang membuatnya enggan untuk menjadi aktris karena dia akan susah menghafal dialog. Jadi ketika Damian berkata demikian, Aju sama sekali tidak peduli. Perempuan itu berpikir kalau dia memang mengatakannya, tapi sudah lupa. “Jadi ... bisakah aku masuk ke dalam?” tanya Damian dengan senyum cerah. “Belum terlalu malam untuk menerima tamu untuk sebentar saja kan?” Aju tidak langsung menjaw
“Kenapa ujian kali ini susah sekali sih?” gerutu Aiden, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tumben sekali kau bilang susah. Masih mikirin acara keluarga pasti.” Ray yang terlihat lesu langsung mengejek. “Ya.” Lagi dan lagi, Aiden mendesah pelan. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan itu.” “Aku merasa heran.” Ray yang tadinya lesu setelah ujian, kini berkerut bingung. “Kenapa harus kau pikirkan sampai seperti itu? Aku kan jadi berpikir kalau keluargamu itu menyeramkan, kaku dan kolot.” “Itu memang kenyataannya,” gumam Aiden sangat lirih, sampai sahabatnya harus bertanya ulang. “Bukan apa-apa.” Sayangnya, Aiden tidak bersedia memberi tahu dan hanya menggeleng saja. “Lebih baik kau pulang dan istirahat saja. Aku juga mau pulang.” “Kau tidak mau kencan dengan Mommy-mu?” tanya Ray yang sengaja ingin menggoda karena agak kesal dengan Aiden yang terlalu