“Haruskah aku melakukan ini?” Aju menanyakan itu dengan nada lelah. “Aku tahu ini benar-benar tidak menyenangkan, tapi ... ini kesempatan besar,” balas Kira dengan nada memelas. “Tentu saja aku tidak akan memaksa kalau kau benar-benar tidak mau. Semua keputusan, ada di tanganmu, Aju.” Kira masih melanjutkan disusul dengan desahan pelan. “Kalau kau memang tertekan, kita tidak perlu melanjutkan ini semua.” “Tapi gimana dong?” tanya Aju yang kini berwajah cemberut. “Aku kan sudah tanda tangan kontraknya. Kalau batal, kita bisa kena denda.” “Makanya aku tadi memintamu untuk berpikir lagi.” Kira lagi-lagi mendesah. “Tapi kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencubit lidah berbisa mereka semua. Coba kalau aku yang dengar langsung. Kau terlalu baik.” Aju meringis mendengar sang manajer. Mungkin yang dikatakan Kira memang benar. Harusnya, tadi Aju keluar dari bilik toilet dan menegur mereka semua, alih-alih mengadu pada sang manaj
“Aku rasa ... aku salah dengar.” Setelah melamun sekian lama, akhirnya Aiden menyimpulkan. “Ya. Pasti aku salah dengar karena pakai helm dan di jalan tadi sangat bising.” “Kau itu kenapa sih?” Ray bertanya dengan kening berkerut dan suara berbisik. “Rasanya sejak tadi kau itu melamun dan tiba-tiba saja bicara sendiri.” Aiden menatap sahabat yang dia kenal sejak awal kuliah itu, kemudian melirik ke sekitarnya. Mereka sekarang sedang berada di perpustakaan dan tidak akan aneh kalau berbicara dalam bisikan. Yang jadi masalah sekarang ini adalah dirinya. Sejak kemarin, Aiden terus melamun karena mendengar apa yang dikatakan Aju. Dia berpikir keras dan berusaha mencari tahu, apakah telinganya salah dengar atau tidak dan berkesimpulan kalau dia salah. Itu sudah terjadi selama beberapa hari. “Aku rasa, aku hanya tertekan karena ujian sudah di depan mata.” Aiden mendesah ketika menjawab sahabatnya itu.
“Hai.” Damian tersenyum ketika melihat pintu di depannya terbuka. “Syukurlah aku tidak salah unit, ternyata ingatanku masih cukup bagus.” “Apa aku pernah bilang tinggal di unit berapa?” Alih-alih menyapa, Aju justru bertanya. “Pernah.” Damian mengangguk dengan sangat yakin. “Waktu aku bilang kalau aku tinggal di lantai lebih atas, kau menyebut tinggal di unit ini.” “Oh, begitukah?” Walau masih merasa bingung, Aju hanya bisa mengangguk saja. Ingatan Aju memang kurang bagus. Itu yang membuatnya enggan untuk menjadi aktris karena dia akan susah menghafal dialog. Jadi ketika Damian berkata demikian, Aju sama sekali tidak peduli. Perempuan itu berpikir kalau dia memang mengatakannya, tapi sudah lupa. “Jadi ... bisakah aku masuk ke dalam?” tanya Damian dengan senyum cerah. “Belum terlalu malam untuk menerima tamu untuk sebentar saja kan?” Aju tidak langsung menjaw
“Kenapa ujian kali ini susah sekali sih?” gerutu Aiden, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tumben sekali kau bilang susah. Masih mikirin acara keluarga pasti.” Ray yang terlihat lesu langsung mengejek. “Ya.” Lagi dan lagi, Aiden mendesah pelan. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan itu.” “Aku merasa heran.” Ray yang tadinya lesu setelah ujian, kini berkerut bingung. “Kenapa harus kau pikirkan sampai seperti itu? Aku kan jadi berpikir kalau keluargamu itu menyeramkan, kaku dan kolot.” “Itu memang kenyataannya,” gumam Aiden sangat lirih, sampai sahabatnya harus bertanya ulang. “Bukan apa-apa.” Sayangnya, Aiden tidak bersedia memberi tahu dan hanya menggeleng saja. “Lebih baik kau pulang dan istirahat saja. Aku juga mau pulang.” “Kau tidak mau kencan dengan Mommy-mu?” tanya Ray yang sengaja ingin menggoda karena agak kesal dengan Aiden yang terlalu
“Ssh. Udah, jangan nangis lagi.” Kira hanya bisa mengatakan itu, sembari memeluk Aju. Inginnya sih Aju berhenti menangis, tapi dia tidak bisa. Selain karena khawatir dengan kakinya yang sedikit memar karena rupanya terbentur mobil yang berjalan maju akibat ditabrak, dia juga mengkhawatirkan Aiden. Aju tidak sadar tentang kakinya karena lebih memperhatikan Aiden yang jelas saja lebih parah. “Aiden akan baik-baik saja.” Kira kembali mencoba menenangkan. “Aku tidak akan bisa tenang kalau belum melihat Aiden.” Alih-alih menjawab dengan tenang, Aju malah berteriak. “Aju, jangan berteriak di rumah sakit.” Kira dengan terpaksa mendesis. “Kau tidak ingin menarik perhatian orang lain kan?” Mendengar itu, Aju menunduk. Tadi sudah ada seorang perawat yang mengenalinya dan itu berarti, dia tidak bisa bertindak sembarangan. Image-nya sebagai selebriti harus lebih diperhatikan, agar tidak tersebar gosip aneh. Menyebalkan, tapi harus dilakukan. “Maaf.” Tiba-tiba saja, seorang perawat data
“Jadi ... ini siapa?” Damian kembali bertanya, setelah mereka semua duduk di dalam ruang tamu Aju. “Bukankah seharusnya saya yang bertanya?” Aiden tidak bisa menghentikan mulutnya untuk tidak bicara. “Lagi pula, sebelum bertanya, bukankah kamu harus memperkenalkan diri dulu?” “Aiden.” Kira yang paling pertama berdesis karena merasa lelaki itu agak kurang sopan. Sayang sekali, dua orang lelaki yang ada di ruangan itu tidak peduli. Aiden dan Damian saling menatap, seolah mereka sedang melakukan perlombaan. Untungnya, Damian cukup dewasa untuk mengalah duluan. “Namaku Damian,” gumam lelaki yang hanya berbeda beberapa tahun dari Aiden itu, dengan nada santau. “Aku pernah bekerja sama dengan Angelina dan kami masih berteman sampai sekarang.” Aiden menipiskan bibirnya. Dia jelas tidak suka dengan apa yang dikatakan Damian, terutama karena lelaki itu bicara santai dan menatap Aju dengan cukup intens. Tapi Aiden juga sadar diri. Dia tidak boleh protes dengan bahasa santai itu karen
“Dia belum bangun ya?” Itulah yang digumamkan Aju, ketika dia terbangun keesokan harinya dan menatap pintu kamar tamu. “Kalau belum emang kenapa?” tanya Kira yang baru keluar dari kamar, menyusul yang empunya rumah. “Mau dibangunin emang?” “Gak usah deh.” Adelia dengan cepat menggeleng. “Dia kan lagi sakit, biar istirahat saja. Lagian baru jam lima subuh.” Walau agak kesal dengan kelakuan lelaki muda itu kemarin sore, tapi tidak bisa ditampik kalau Aju khawatir. Dia masih merasa sangat bersalah dengan keadaan Aiden yang terluka. Cukup aneh karena ini pertama kalinya sang selebriti khawatir pada lawan jenis. Saat pacaran dulu, dia bahkan tidak begitu. “Astaga!” Keluhan Kira membuyarkan lamunan yang empunya rumah. “Dia itu cuma patah kaki saja, Ju. Bukan sakit parah yang perlu tidur seharian.” Aju sudah ingin membantah, tapi suara pintu yang terbuka menghentikannya. Bukan suara da
Mata Aiden menjelajah ke sekitar rumah alias unit apartemen yang dia tempati. Entah kenapa, dia sangat kepikiran dengan ancaman yang beberapa jam lalu dilontarkan Damian. Terutama kalimat yang menyatakan lelaki itu akan mengawasi. “Kenapa kedengarannya dia bakal beneran mengawasi ya?” gumam Aiden merasa ada sesuatu yang salah. Oke. Katakanlah Aiden memang terlalu kepikiran, tapi Damian juga terlihat aneh. Lelaki itu tampak menyeramkan walau dia tersenyum dengan ramah. Aiden yakin ada yang tidak beres dengan lelaki itu, tapi entah apa. “Sudahlah.” Lelaki muda pengangguran dan terluka itu pada akhirnya menggeleng. “Sepertinya aku yang terlalu banyak nonton drama Korea deh. Pikiranku jadi aneh.” “Mending cari teman ngobrol saja.” Baru saja Aiden memikirkan hal itu, ponselnya sudah berdenting. Nama Ray terpampang di sana, beserta sebagian besar isi pesannya. [R