“Dia belum bangun ya?” Itulah yang digumamkan Aju, ketika dia terbangun keesokan harinya dan menatap pintu kamar tamu.
“Kalau belum emang kenapa?” tanya Kira yang baru keluar dari kamar, menyusul yang empunya rumah. “Mau dibangunin emang?” “Gak usah deh.” Adelia dengan cepat menggeleng. “Dia kan lagi sakit, biar istirahat saja. Lagian baru jam lima subuh.” Walau agak kesal dengan kelakuan lelaki muda itu kemarin sore, tapi tidak bisa ditampik kalau Aju khawatir. Dia masih merasa sangat bersalah dengan keadaan Aiden yang terluka. Cukup aneh karena ini pertama kalinya sang selebriti khawatir pada lawan jenis. Saat pacaran dulu, dia bahkan tidak begitu. “Astaga!” Keluhan Kira membuyarkan lamunan yang empunya rumah. “Dia itu cuma patah kaki saja, Ju. Bukan sakit parah yang perlu tidur seharian.” Aju sudah ingin membantah, tapi suara pintu yang terbuka menghentikannya. Bukan suara daMata Aiden menjelajah ke sekitar rumah alias unit apartemen yang dia tempati. Entah kenapa, dia sangat kepikiran dengan ancaman yang beberapa jam lalu dilontarkan Damian. Terutama kalimat yang menyatakan lelaki itu akan mengawasi. “Kenapa kedengarannya dia bakal beneran mengawasi ya?” gumam Aiden merasa ada sesuatu yang salah. Oke. Katakanlah Aiden memang terlalu kepikiran, tapi Damian juga terlihat aneh. Lelaki itu tampak menyeramkan walau dia tersenyum dengan ramah. Aiden yakin ada yang tidak beres dengan lelaki itu, tapi entah apa. “Sudahlah.” Lelaki muda pengangguran dan terluka itu pada akhirnya menggeleng. “Sepertinya aku yang terlalu banyak nonton drama Korea deh. Pikiranku jadi aneh.” “Mending cari teman ngobrol saja.” Baru saja Aiden memikirkan hal itu, ponselnya sudah berdenting. Nama Ray terpampang di sana, beserta sebagian besar isi pesannya. [R
“AKU LAPAR.” Suara anak kecil yang berteriak terdengar begitu nyaring, pun dengan isak tangis yang juga mengikuti. “Sebaiknya kau diam, Bocah.” Seorang lelaki penuh tato, menghardik anak kecil yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan itu. “Atau aku akan membunuhmu.” “Hei, jangan kasar padanya.” Seorang pria sangar lain menegur. “Dia itu sandera kita loh. Satu-satunya pangeran dari keluarga Nugraha. Kau harus hati-hati, agar mereka mau membayar uang tebusan.” Pria bertato yang pertama langsung meludah mendengar ucapan temannya. “Mana mungkin mereka mau menebus anak haram ini. Lagi pula, keluarga Nugraha yang lain masih ada. Mereka masih bisa menghasilkan keturunan lain.” “Ya, tapi jangan dibunuh juga dong. Kita kan bisa menjualnya saja. Baru lima tahun sih, tapi harganya pasti lumayan.” Pria kedua kembali berbicara. Ingin sekali Aiden kecil mengoreksi kalau umurnya sekarang sudah tujuh tahun, tapi dia terlalu takut. Apal
“Sori.” Tiba-tiba saja Aiden ingin meminta maaf. “Bisa ulang apa yang baru kau katakan?” “Kau itu kenapa sih? Padahal omonganku sudah sangat jelas, tapi kau malah meminta untuk mengulang sampai tiga kali?” “Maaf.” Aiden langsung meringis. “Aku berjanji ini yang terakhir, jadi bisa jelaskan ulang?” Walau menggerutu, Ray kembali menjelaskan. Sudah tidak ada kuliah dan sejenisnya, tapi mereka sedang mencoba untuk membuka usaha yang sudah lama mereka pikirkan. Itu yang didiskusikan sekarang. “Mungkin lebih baik coba bisnis makanan saja gak sih?” Ray kembali bicara. “Maksudku, prospek ke depannya lebih bagus yang penting rasanya enak dan marketingnya bagus.” “Iya sih ....” Entah kenapa, Aiden terlihat ragu. “Apa kau punya ide yang lain?” Ray langsung bertanya. “Bisa diusahakan, asal tidak butuh modal terlalu banyak.” “Ada sih, tapi butuh modal banyak.” Aiden jelas saja akan meringis. “Lagi pula, ini
“Kenapa kau melihatku terus?” tanya Aju nyaris saja tergagap. “Pengen saja,” jawab Aiden terlihat begitu santai. “Lanjut saja sarapannya.” Mendengar hal itu, Aju meringis pelan. Setelah kecanggungan semalam, mana mungkin dia bisa sarapan dengan tenang? Terutama ketika Aiden menatapnya dengan sangat intens. Padahal, rasanya kemarin baik-baik saja. Sebagai perempuan, tentu saja Aju bisa merasakan perubahan sikap Aiden beberapa waktu terakhir. Lelaki yang jauh lebih muda darinya itu, terlihat lebih sering memandang dirinya. Pun terlihat marah ketika ada lelaki lain, seperti ketika ada Damian. Aju tahu, tapi rasanya tetap canggung ketika Aiden mulai makin menunjukkan perasaannya. “Apa kau benar-benar hanya akan makan itu?” tanya Aiden dengan kening berkerut, ketika menatap mangkuk berisi sarapan yang empunya rumah. “Hari ini aku makan lebih banyak dari biasa.” Aju tak segan memberi tahu. “Aku butuh sedikit tenaga, makanya aku
“Mbak Aju.” Seseorang memanggil dengan senyum terkulum. “Ada yang cariin tuh.” “Hah? Siapa?” Aju yang baru selesai melakukan proses syuting tahap pertama, jelas merasa bingung. “Itu, ada cowok yang ngaku asistennya Mbak Aju. Dia bilang gantiin Mbak Kira, tapi kakinya digips. Mana bisa kerja.” Aju langsung mendesah mendengar hal itu. Dia tahu siapa yang datang dan jujur saja merasa tidak nyaman dan tidak enak hati. Kini Aju menyesal memberitahu lokasi syutingnya. “Kita masih istirahat kan?” tanya Aju basa-basi saja karena dia sudah berdiri. “Aku akan pergi menemuinya dulu.” Tentu saja tidak ada yang akan menghalangi sang selebriti pergi untuk menemui asistennya. Kala Aju berjalan cepat pun, tak ada yang protes. Mereka mengerti dengan keadaan Aiden. “Kak Aju.” Lelaki muda itu melambai dengan riang. “Kenapa kau ada di sini?” desis yang dipanggil terlihat agak kesal. “Aku hanya ingin mengantar makan siang.” Aiden memamerkan kantongan yang dia pegang. “Ya, tapi kau membuatk
“Mbak Aju.” Dua orang perempuan menghampiri. “Itu tadi asistennya umur berapa?” “Masih kuliah,” jawab Aju terlihat agak ragu. “Dua puluh kalau tidak salah. Memang kenapa?” “Yah, masih muda banget ya. Padahal ganteng.” Orang kedua yang berbicara. “Umur hanyalah angka.” Orang pertama kembali bicara. “Lagian, aku juga baru dua lima. Beda lima rasanya gak masalah.” “Tunggu dulu.” Aju mengernyit tidak senang. “Ini maksudnya apa ya?” “Ah, Mbak Aju ini gimana sih?” Salah satu dari dua orang staf yang tadi mendekat tertawa. “Pastinya kita pengen PDKT dengan si Mas Asisten. Kalau boleh tahu namanya siapa?” Kedua alis Aju terangkat mendengar pengakuan terang-terangan itu. Dia sebenarnya enggan menjawab dan tertolong karena dirinya dipanggil untuk melakukan rekaman. Bergantian dengan salah seorang aktris yang sedang naik daun. “Sepertinya Aju kewalahan ya mengurus para staf yang cerewet itu.” Reina, si aktris yang bisa dibilang pendatang baru dan sudah mulai naik daun yang bertanya. “Ti
“Ada apa denganmu?” Aju bertanya ketika dia kembali ke tempatnya dan menemukan pintu terbuka dan Aiden dengan wajah tertekuk. “Kenapa rekan kerjamu mengesalkan sekali?” Lelaki muda itu tampak tidak keberatan menumpahkan isi hatinya. “Siapa? Reina ya?” Aju hanya menebak saja karena perempuan itulah yang paling sering membuat staf di sana kesal. “Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?” Aiden yang kesal dan tidak bisa banyak bergerak, membuat lelaki itu jadi lebih sensitif. “Aku bahkan tidak tahu apa tujuannya datang ke sini.” “Kurasa dia penasaran denganmu. Soalnya, semua orang di sini membicarakanmu.” Aju membereskan barang-barangnya yang tadi berserakan di depan meja rias. “Lebih tepatnya, kau jadi pembicaraan di kaum perempuan.” “Kenapa bisa begitu?” Aiden bertanya karena dia memang tidak tahu. Entah karena terlalu cuek atau memang polos. Yang jelas kini dia t
“Astaga! Kalian tidak apa-apa?” Kira memekik ketika melihat kondisi rumah Aju yang berantakan, lewat layar ponsel. “Tidak apa-apa. Kebetulan saja kami berdua ada di lokasi tadi,” jawab Aiden yang hanya bisa duduk memegang ponsel dan membersihkan yang ringan-ringan saja. Tadi begitu membuka pintu, rumah Aju sudah berantakan. Ada pecahan vas bunga dan barang-barang berantakan. Sofa pun terbalik dan hanya menyisakan lampu yang tetap berdiri tegak. “Tapi kok bisa ya?” gumam Kira yang terlihat sedang menyetir di layar ponsel. “Di sana kan apartemen, tidak mungkin ada rampok yang bisa melenggang masuk begitu saja dan membuka pintu rumah yang dipasangi pin kan?” “Nah, itu dia.” Aju langsung memekik, menghentikan pekerjaannya. “Bagaimana bisa ada pencuri masuk ke apartemen yang terkunci, tanpa merusak gagang pintunya.” “Kalian sudah lapor manajemen kan?” “Tentu saj