“Sori.” Tiba-tiba saja Aiden ingin meminta maaf. “Bisa ulang apa yang baru kau katakan?”
“Kau itu kenapa sih? Padahal omonganku sudah sangat jelas, tapi kau malah meminta untuk mengulang sampai tiga kali?” “Maaf.” Aiden langsung meringis. “Aku berjanji ini yang terakhir, jadi bisa jelaskan ulang?” Walau menggerutu, Ray kembali menjelaskan. Sudah tidak ada kuliah dan sejenisnya, tapi mereka sedang mencoba untuk membuka usaha yang sudah lama mereka pikirkan. Itu yang didiskusikan sekarang. “Mungkin lebih baik coba bisnis makanan saja gak sih?” Ray kembali bicara. “Maksudku, prospek ke depannya lebih bagus yang penting rasanya enak dan marketingnya bagus.” “Iya sih ....” Entah kenapa, Aiden terlihat ragu. “Apa kau punya ide yang lain?” Ray langsung bertanya. “Bisa diusahakan, asal tidak butuh modal terlalu banyak.” “Ada sih, tapi butuh modal banyak.” Aiden jelas saja akan meringis. “Lagi pula, ini“Kenapa kau melihatku terus?” tanya Aju nyaris saja tergagap. “Pengen saja,” jawab Aiden terlihat begitu santai. “Lanjut saja sarapannya.” Mendengar hal itu, Aju meringis pelan. Setelah kecanggungan semalam, mana mungkin dia bisa sarapan dengan tenang? Terutama ketika Aiden menatapnya dengan sangat intens. Padahal, rasanya kemarin baik-baik saja. Sebagai perempuan, tentu saja Aju bisa merasakan perubahan sikap Aiden beberapa waktu terakhir. Lelaki yang jauh lebih muda darinya itu, terlihat lebih sering memandang dirinya. Pun terlihat marah ketika ada lelaki lain, seperti ketika ada Damian. Aju tahu, tapi rasanya tetap canggung ketika Aiden mulai makin menunjukkan perasaannya. “Apa kau benar-benar hanya akan makan itu?” tanya Aiden dengan kening berkerut, ketika menatap mangkuk berisi sarapan yang empunya rumah. “Hari ini aku makan lebih banyak dari biasa.” Aju tak segan memberi tahu. “Aku butuh sedikit tenaga, makanya aku
“Mbak Aju.” Seseorang memanggil dengan senyum terkulum. “Ada yang cariin tuh.” “Hah? Siapa?” Aju yang baru selesai melakukan proses syuting tahap pertama, jelas merasa bingung. “Itu, ada cowok yang ngaku asistennya Mbak Aju. Dia bilang gantiin Mbak Kira, tapi kakinya digips. Mana bisa kerja.” Aju langsung mendesah mendengar hal itu. Dia tahu siapa yang datang dan jujur saja merasa tidak nyaman dan tidak enak hati. Kini Aju menyesal memberitahu lokasi syutingnya. “Kita masih istirahat kan?” tanya Aju basa-basi saja karena dia sudah berdiri. “Aku akan pergi menemuinya dulu.” Tentu saja tidak ada yang akan menghalangi sang selebriti pergi untuk menemui asistennya. Kala Aju berjalan cepat pun, tak ada yang protes. Mereka mengerti dengan keadaan Aiden. “Kak Aju.” Lelaki muda itu melambai dengan riang. “Kenapa kau ada di sini?” desis yang dipanggil terlihat agak kesal. “Aku hanya ingin mengantar makan siang.” Aiden memamerkan kantongan yang dia pegang. “Ya, tapi kau membuatk
“Mbak Aju.” Dua orang perempuan menghampiri. “Itu tadi asistennya umur berapa?” “Masih kuliah,” jawab Aju terlihat agak ragu. “Dua puluh kalau tidak salah. Memang kenapa?” “Yah, masih muda banget ya. Padahal ganteng.” Orang kedua yang berbicara. “Umur hanyalah angka.” Orang pertama kembali bicara. “Lagian, aku juga baru dua lima. Beda lima rasanya gak masalah.” “Tunggu dulu.” Aju mengernyit tidak senang. “Ini maksudnya apa ya?” “Ah, Mbak Aju ini gimana sih?” Salah satu dari dua orang staf yang tadi mendekat tertawa. “Pastinya kita pengen PDKT dengan si Mas Asisten. Kalau boleh tahu namanya siapa?” Kedua alis Aju terangkat mendengar pengakuan terang-terangan itu. Dia sebenarnya enggan menjawab dan tertolong karena dirinya dipanggil untuk melakukan rekaman. Bergantian dengan salah seorang aktris yang sedang naik daun. “Sepertinya Aju kewalahan ya mengurus para staf yang cerewet itu.” Reina, si aktris yang bisa dibilang pendatang baru dan sudah mulai naik daun yang bertanya. “Ti
“Ada apa denganmu?” Aju bertanya ketika dia kembali ke tempatnya dan menemukan pintu terbuka dan Aiden dengan wajah tertekuk. “Kenapa rekan kerjamu mengesalkan sekali?” Lelaki muda itu tampak tidak keberatan menumpahkan isi hatinya. “Siapa? Reina ya?” Aju hanya menebak saja karena perempuan itulah yang paling sering membuat staf di sana kesal. “Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?” Aiden yang kesal dan tidak bisa banyak bergerak, membuat lelaki itu jadi lebih sensitif. “Aku bahkan tidak tahu apa tujuannya datang ke sini.” “Kurasa dia penasaran denganmu. Soalnya, semua orang di sini membicarakanmu.” Aju membereskan barang-barangnya yang tadi berserakan di depan meja rias. “Lebih tepatnya, kau jadi pembicaraan di kaum perempuan.” “Kenapa bisa begitu?” Aiden bertanya karena dia memang tidak tahu. Entah karena terlalu cuek atau memang polos. Yang jelas kini dia t
“Astaga! Kalian tidak apa-apa?” Kira memekik ketika melihat kondisi rumah Aju yang berantakan, lewat layar ponsel. “Tidak apa-apa. Kebetulan saja kami berdua ada di lokasi tadi,” jawab Aiden yang hanya bisa duduk memegang ponsel dan membersihkan yang ringan-ringan saja. Tadi begitu membuka pintu, rumah Aju sudah berantakan. Ada pecahan vas bunga dan barang-barang berantakan. Sofa pun terbalik dan hanya menyisakan lampu yang tetap berdiri tegak. “Tapi kok bisa ya?” gumam Kira yang terlihat sedang menyetir di layar ponsel. “Di sana kan apartemen, tidak mungkin ada rampok yang bisa melenggang masuk begitu saja dan membuka pintu rumah yang dipasangi pin kan?” “Nah, itu dia.” Aju langsung memekik, menghentikan pekerjaannya. “Bagaimana bisa ada pencuri masuk ke apartemen yang terkunci, tanpa merusak gagang pintunya.” “Kalian sudah lapor manajemen kan?” “Tentu saj
“Ada apa sih dengan kakek sialanmu itu?” tanya Aju dengan mata yang memancarkan kemarahan. “Kau sedang terluka dan dia memaksa pergi?” Aiden langsung meringis mendengar kalimat bernada marah itu. Tidak ada yang bisa Aiden katakan karena memang apa yang dikatakan Aju benar. Padahal dirinya sudah mengatakan sedang terluka, tapi tetap saja disuruh pergi. Aiden jadi kewalahan mencari pakaian yang bisa dia pakai. Kesulitan Aiden tentu saja didasarkan pada cedera kakinya dan gips yang dia pakai. Kata dokternya, gips itu perlu dan menutupi bagian dari atas lutut, sampai bagian bawah kaki. Itu jelas membuat ukuran kaki Aiden jadi lebih besar dan kesulitan menggunakan celana panjang. Tidak mungkin dia menggunakan celana pendek ke acara pesta kan? “Bagaimana rasanya?” Setelah meluapkan amarah, Aju pada akhirnya menatap kaki rekannya malam ini. “Apa celananya nyaman?” “Terasa sedikit sempit, tapi tidak masalah.” Aiden menjawab dengan senyum tipi
Aju bisa merasakan pegangan Aiden pada pergelangan tangannya menguat. Tidak sakit, tapi itu menunjukkan kalau Aiden sedang tidak baik-baik saja dan mungkin sudah siap meledak. “Aiden.” Sang selebriti mengelus lengan yang empunya nama, agar lebih tenang. Biar bagaimana, ini acara keluarga. Aiden tidak boleh terlihat seperti orang biadab dan mengamuk seenaknya. “Ini apa-apaan sih?” Belum juga ada yang bereaksi, suara lain terdengar lagi. Kali ini suara yang dikenali Aiden. “Kenapa kalian saling melotot?” “Sisilia?” Aiden terlihat begitu bingung melihat teman kuliahnya itu. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Tentu saja aku di sini untuk menghadiri pesta,” jawab Sisil terlihat cuek, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis. “Kau datang sendiri?” “Dia datang dengan perempuan tidak jelas.” Atlas yang menjawab. “Angelina bukan perempuan tidak jelas,” desis Aiden terlihat begitu marah.
“Bisa jelaskan apa yang tadi itu?” Aiden tak mau membuang waktu dan langsung bertanya. Sayangnya, tidak ada yang bersedia menjelaskan. Lebih tepatnya, hanya Sisilia yang seperti itu. Sementara Raja, dia tiba-tiba jadi sibuk dengan tamu yang datang secara rombongan. “Aku cari makan dulu ya.” Di tengah suasana yang canggung itu, Aju bersuara. “Aku lapar.” “Kak Aju.” Jelas saja Aiden akan mencegah, tapi dia terlambat. Kakinya yang terluka menjadi penyebabnya. “Kau memanggil dia kakak?” Sebelum Aiden sempat beranjak, Sisilia menahan lelaki itu. “Itu bukan urusanmu,” desis Aiden begitu marah. “Tentu saja urusanku karena aku tunanganmu,” balas Sisilia penuh percaya diri. “Kau harusnya datang ke pesta ini bersamaku.” “Sejak kapan aku menerimamu jadi calon istri?” tanya Aiden yang makin marah saja. “Aku juga tidak ingat pernah bertunangan denganmu.” “Tapi kakekmu sudah memutuskan seperti it