“Ada apa denganmu?” Aju bertanya ketika dia kembali ke tempatnya dan menemukan pintu terbuka dan Aiden dengan wajah tertekuk. “Kenapa rekan kerjamu mengesalkan sekali?” Lelaki muda itu tampak tidak keberatan menumpahkan isi hatinya. “Siapa? Reina ya?” Aju hanya menebak saja karena perempuan itulah yang paling sering membuat staf di sana kesal. “Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?” Aiden yang kesal dan tidak bisa banyak bergerak, membuat lelaki itu jadi lebih sensitif. “Aku bahkan tidak tahu apa tujuannya datang ke sini.” “Kurasa dia penasaran denganmu. Soalnya, semua orang di sini membicarakanmu.” Aju membereskan barang-barangnya yang tadi berserakan di depan meja rias. “Lebih tepatnya, kau jadi pembicaraan di kaum perempuan.” “Kenapa bisa begitu?” Aiden bertanya karena dia memang tidak tahu. Entah karena terlalu cuek atau memang polos. Yang jelas kini dia t
“Astaga! Kalian tidak apa-apa?” Kira memekik ketika melihat kondisi rumah Aju yang berantakan, lewat layar ponsel. “Tidak apa-apa. Kebetulan saja kami berdua ada di lokasi tadi,” jawab Aiden yang hanya bisa duduk memegang ponsel dan membersihkan yang ringan-ringan saja. Tadi begitu membuka pintu, rumah Aju sudah berantakan. Ada pecahan vas bunga dan barang-barang berantakan. Sofa pun terbalik dan hanya menyisakan lampu yang tetap berdiri tegak. “Tapi kok bisa ya?” gumam Kira yang terlihat sedang menyetir di layar ponsel. “Di sana kan apartemen, tidak mungkin ada rampok yang bisa melenggang masuk begitu saja dan membuka pintu rumah yang dipasangi pin kan?” “Nah, itu dia.” Aju langsung memekik, menghentikan pekerjaannya. “Bagaimana bisa ada pencuri masuk ke apartemen yang terkunci, tanpa merusak gagang pintunya.” “Kalian sudah lapor manajemen kan?” “Tentu saj
“Ada apa sih dengan kakek sialanmu itu?” tanya Aju dengan mata yang memancarkan kemarahan. “Kau sedang terluka dan dia memaksa pergi?” Aiden langsung meringis mendengar kalimat bernada marah itu. Tidak ada yang bisa Aiden katakan karena memang apa yang dikatakan Aju benar. Padahal dirinya sudah mengatakan sedang terluka, tapi tetap saja disuruh pergi. Aiden jadi kewalahan mencari pakaian yang bisa dia pakai. Kesulitan Aiden tentu saja didasarkan pada cedera kakinya dan gips yang dia pakai. Kata dokternya, gips itu perlu dan menutupi bagian dari atas lutut, sampai bagian bawah kaki. Itu jelas membuat ukuran kaki Aiden jadi lebih besar dan kesulitan menggunakan celana panjang. Tidak mungkin dia menggunakan celana pendek ke acara pesta kan? “Bagaimana rasanya?” Setelah meluapkan amarah, Aju pada akhirnya menatap kaki rekannya malam ini. “Apa celananya nyaman?” “Terasa sedikit sempit, tapi tidak masalah.” Aiden menjawab dengan senyum tipi
Aju bisa merasakan pegangan Aiden pada pergelangan tangannya menguat. Tidak sakit, tapi itu menunjukkan kalau Aiden sedang tidak baik-baik saja dan mungkin sudah siap meledak. “Aiden.” Sang selebriti mengelus lengan yang empunya nama, agar lebih tenang. Biar bagaimana, ini acara keluarga. Aiden tidak boleh terlihat seperti orang biadab dan mengamuk seenaknya. “Ini apa-apaan sih?” Belum juga ada yang bereaksi, suara lain terdengar lagi. Kali ini suara yang dikenali Aiden. “Kenapa kalian saling melotot?” “Sisilia?” Aiden terlihat begitu bingung melihat teman kuliahnya itu. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Tentu saja aku di sini untuk menghadiri pesta,” jawab Sisil terlihat cuek, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis. “Kau datang sendiri?” “Dia datang dengan perempuan tidak jelas.” Atlas yang menjawab. “Angelina bukan perempuan tidak jelas,” desis Aiden terlihat begitu marah.
“Bisa jelaskan apa yang tadi itu?” Aiden tak mau membuang waktu dan langsung bertanya. Sayangnya, tidak ada yang bersedia menjelaskan. Lebih tepatnya, hanya Sisilia yang seperti itu. Sementara Raja, dia tiba-tiba jadi sibuk dengan tamu yang datang secara rombongan. “Aku cari makan dulu ya.” Di tengah suasana yang canggung itu, Aju bersuara. “Aku lapar.” “Kak Aju.” Jelas saja Aiden akan mencegah, tapi dia terlambat. Kakinya yang terluka menjadi penyebabnya. “Kau memanggil dia kakak?” Sebelum Aiden sempat beranjak, Sisilia menahan lelaki itu. “Itu bukan urusanmu,” desis Aiden begitu marah. “Tentu saja urusanku karena aku tunanganmu,” balas Sisilia penuh percaya diri. “Kau harusnya datang ke pesta ini bersamaku.” “Sejak kapan aku menerimamu jadi calon istri?” tanya Aiden yang makin marah saja. “Aku juga tidak ingat pernah bertunangan denganmu.” “Tapi kakekmu sudah memutuskan seperti it
“CUT!” Aju tersentak mendengar teriakan bernada kesal itu. Dia yang sejak tadi lebih banyak melamun, langsung meringis melihat wajah sutradaranya. Pasti ada yang salah lagi. “Kau itu kenapa sih?” tanya si sutradara yang mengarahkan. “Dari tadi gak fokus terus.” “Biasalah. Orang gak profesional.” Bukan Aju yang mengatakannya, tapi Reina yang tengah jadi penonton. Dia sudah mau dibujuk kerja lagi. “Tidak usah mengejek orang lain.” Sayangnya, sutradara malah balas menghardik. “Kau lebih parah dari pada Aju.” “Aku ....” Baru juga Reina ingin membantah, tapi manajernya melarang lewat sentuhan tangan. Itu jelas saja membuat perempuan muda itu geram, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Soalnya, selain dibujuk, Reina juga diancam akan dikeluarkan dari tim kalau banyak tingkah. “Maaf, Pak. Saya kurang fokus karena sedang banyak pikiran.” Karena sudah mendapat kesempatan bicara, Aju akhirnya mengucapk
“Apa tidak sebaiknya aku pindah rumah?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika mereka sudah agak jauh. “Aku rasa dia memasang CCTV di dalam unitku.” “Siapa? Damian?” Kira mengerutkan kening dengan bingung. Setelah Aju mengangguk, barulah si manajer melanjutkan, “Aku mengerti kalau Damian aneh, tapi masa iya?” “Bukannya aku tidak percaya padamu. Damian memang mencurigakan, tapi emang di dunia nyata ada yang seperti itu?” tambah Kira dengan hati-hati. “Apa kau lupa kalau beberapa waktu lalu, kau pernah menemukan kamera tersembunyi di kamar mandi hotel?” Aju tentu saja tidak keberatan untuk mengingatkan manajernya. Kira langsung mengumpat, saat mengingat momen dia tidak sengaja menjatuhkan jam meja hingga hancur berantakan. Ada kamera kecil di sana dan jelas saja membuatnya mengamuk. Hal yang sama mungkin terjadi pada Aju, tapi bagaimana. “Oke.” Kini Kira mengangguk dengan cukup yakin. “Tapi bagaimana caranya dia
Aju berlarian keluar dari mobil, bahkan tanpa menutup pintu. Kira sampai mendesis dan mengumpat kesal, tapi pada akhirnya dia juga ikut lari. Biar bagaimana, ada kemungkinan Aiden sedang dirawat. “Pasien atas nama Aiden?” tanya Aju dengan nafas tersengal. “Aiden ada dua, Bu,” jawab resepsionis yang berseragam hitam. “Ada yang baru saja masuk ke IGD dan ....” “Terima kasih.” Aju memotong dengan ucapan terima kasih karena dia sudah tahu harus ke mana. “Eh, Bu. Administrasinya belum lengkap ini.” Padahal resepsionisnya belum selesai bicara. Sayang sekali, Aju tidak mendengar. Dia lebih peduli pada Aiden dan baru akan lega ketika menemukan lelaki muda itu dalam keadaan selamat. Awalnya tadi Aju dan Kira berpikir kalau mereka kena prank lagi. Tapi pada akhirnya, sang selebriti memutuskan untuk pergi mengecek dulu. Lebih baik dicek, dari pada nanti menyesal. “Aiden?” Akhirnya Aju berhasil menemukan
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa