“Mbak Aju.” Dua orang perempuan menghampiri. “Itu tadi asistennya umur berapa?” “Masih kuliah,” jawab Aju terlihat agak ragu. “Dua puluh kalau tidak salah. Memang kenapa?” “Yah, masih muda banget ya. Padahal ganteng.” Orang kedua yang berbicara. “Umur hanyalah angka.” Orang pertama kembali bicara. “Lagian, aku juga baru dua lima. Beda lima rasanya gak masalah.” “Tunggu dulu.” Aju mengernyit tidak senang. “Ini maksudnya apa ya?” “Ah, Mbak Aju ini gimana sih?” Salah satu dari dua orang staf yang tadi mendekat tertawa. “Pastinya kita pengen PDKT dengan si Mas Asisten. Kalau boleh tahu namanya siapa?” Kedua alis Aju terangkat mendengar pengakuan terang-terangan itu. Dia sebenarnya enggan menjawab dan tertolong karena dirinya dipanggil untuk melakukan rekaman. Bergantian dengan salah seorang aktris yang sedang naik daun. “Sepertinya Aju kewalahan ya mengurus para staf yang cerewet itu.” Reina, si aktris yang bisa dibilang pendatang baru dan sudah mulai naik daun yang bertanya. “Ti
“Ada apa denganmu?” Aju bertanya ketika dia kembali ke tempatnya dan menemukan pintu terbuka dan Aiden dengan wajah tertekuk. “Kenapa rekan kerjamu mengesalkan sekali?” Lelaki muda itu tampak tidak keberatan menumpahkan isi hatinya. “Siapa? Reina ya?” Aju hanya menebak saja karena perempuan itulah yang paling sering membuat staf di sana kesal. “Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?” Aiden yang kesal dan tidak bisa banyak bergerak, membuat lelaki itu jadi lebih sensitif. “Aku bahkan tidak tahu apa tujuannya datang ke sini.” “Kurasa dia penasaran denganmu. Soalnya, semua orang di sini membicarakanmu.” Aju membereskan barang-barangnya yang tadi berserakan di depan meja rias. “Lebih tepatnya, kau jadi pembicaraan di kaum perempuan.” “Kenapa bisa begitu?” Aiden bertanya karena dia memang tidak tahu. Entah karena terlalu cuek atau memang polos. Yang jelas kini dia t
“Astaga! Kalian tidak apa-apa?” Kira memekik ketika melihat kondisi rumah Aju yang berantakan, lewat layar ponsel. “Tidak apa-apa. Kebetulan saja kami berdua ada di lokasi tadi,” jawab Aiden yang hanya bisa duduk memegang ponsel dan membersihkan yang ringan-ringan saja. Tadi begitu membuka pintu, rumah Aju sudah berantakan. Ada pecahan vas bunga dan barang-barang berantakan. Sofa pun terbalik dan hanya menyisakan lampu yang tetap berdiri tegak. “Tapi kok bisa ya?” gumam Kira yang terlihat sedang menyetir di layar ponsel. “Di sana kan apartemen, tidak mungkin ada rampok yang bisa melenggang masuk begitu saja dan membuka pintu rumah yang dipasangi pin kan?” “Nah, itu dia.” Aju langsung memekik, menghentikan pekerjaannya. “Bagaimana bisa ada pencuri masuk ke apartemen yang terkunci, tanpa merusak gagang pintunya.” “Kalian sudah lapor manajemen kan?” “Tentu saj
“Ada apa sih dengan kakek sialanmu itu?” tanya Aju dengan mata yang memancarkan kemarahan. “Kau sedang terluka dan dia memaksa pergi?” Aiden langsung meringis mendengar kalimat bernada marah itu. Tidak ada yang bisa Aiden katakan karena memang apa yang dikatakan Aju benar. Padahal dirinya sudah mengatakan sedang terluka, tapi tetap saja disuruh pergi. Aiden jadi kewalahan mencari pakaian yang bisa dia pakai. Kesulitan Aiden tentu saja didasarkan pada cedera kakinya dan gips yang dia pakai. Kata dokternya, gips itu perlu dan menutupi bagian dari atas lutut, sampai bagian bawah kaki. Itu jelas membuat ukuran kaki Aiden jadi lebih besar dan kesulitan menggunakan celana panjang. Tidak mungkin dia menggunakan celana pendek ke acara pesta kan? “Bagaimana rasanya?” Setelah meluapkan amarah, Aju pada akhirnya menatap kaki rekannya malam ini. “Apa celananya nyaman?” “Terasa sedikit sempit, tapi tidak masalah.” Aiden menjawab dengan senyum tipi
Aju bisa merasakan pegangan Aiden pada pergelangan tangannya menguat. Tidak sakit, tapi itu menunjukkan kalau Aiden sedang tidak baik-baik saja dan mungkin sudah siap meledak. “Aiden.” Sang selebriti mengelus lengan yang empunya nama, agar lebih tenang. Biar bagaimana, ini acara keluarga. Aiden tidak boleh terlihat seperti orang biadab dan mengamuk seenaknya. “Ini apa-apaan sih?” Belum juga ada yang bereaksi, suara lain terdengar lagi. Kali ini suara yang dikenali Aiden. “Kenapa kalian saling melotot?” “Sisilia?” Aiden terlihat begitu bingung melihat teman kuliahnya itu. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Tentu saja aku di sini untuk menghadiri pesta,” jawab Sisil terlihat cuek, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis. “Kau datang sendiri?” “Dia datang dengan perempuan tidak jelas.” Atlas yang menjawab. “Angelina bukan perempuan tidak jelas,” desis Aiden terlihat begitu marah.
“Bisa jelaskan apa yang tadi itu?” Aiden tak mau membuang waktu dan langsung bertanya. Sayangnya, tidak ada yang bersedia menjelaskan. Lebih tepatnya, hanya Sisilia yang seperti itu. Sementara Raja, dia tiba-tiba jadi sibuk dengan tamu yang datang secara rombongan. “Aku cari makan dulu ya.” Di tengah suasana yang canggung itu, Aju bersuara. “Aku lapar.” “Kak Aju.” Jelas saja Aiden akan mencegah, tapi dia terlambat. Kakinya yang terluka menjadi penyebabnya. “Kau memanggil dia kakak?” Sebelum Aiden sempat beranjak, Sisilia menahan lelaki itu. “Itu bukan urusanmu,” desis Aiden begitu marah. “Tentu saja urusanku karena aku tunanganmu,” balas Sisilia penuh percaya diri. “Kau harusnya datang ke pesta ini bersamaku.” “Sejak kapan aku menerimamu jadi calon istri?” tanya Aiden yang makin marah saja. “Aku juga tidak ingat pernah bertunangan denganmu.” “Tapi kakekmu sudah memutuskan seperti it
“CUT!” Aju tersentak mendengar teriakan bernada kesal itu. Dia yang sejak tadi lebih banyak melamun, langsung meringis melihat wajah sutradaranya. Pasti ada yang salah lagi. “Kau itu kenapa sih?” tanya si sutradara yang mengarahkan. “Dari tadi gak fokus terus.” “Biasalah. Orang gak profesional.” Bukan Aju yang mengatakannya, tapi Reina yang tengah jadi penonton. Dia sudah mau dibujuk kerja lagi. “Tidak usah mengejek orang lain.” Sayangnya, sutradara malah balas menghardik. “Kau lebih parah dari pada Aju.” “Aku ....” Baru juga Reina ingin membantah, tapi manajernya melarang lewat sentuhan tangan. Itu jelas saja membuat perempuan muda itu geram, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Soalnya, selain dibujuk, Reina juga diancam akan dikeluarkan dari tim kalau banyak tingkah. “Maaf, Pak. Saya kurang fokus karena sedang banyak pikiran.” Karena sudah mendapat kesempatan bicara, Aju akhirnya mengucapk
“Apa tidak sebaiknya aku pindah rumah?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika mereka sudah agak jauh. “Aku rasa dia memasang CCTV di dalam unitku.” “Siapa? Damian?” Kira mengerutkan kening dengan bingung. Setelah Aju mengangguk, barulah si manajer melanjutkan, “Aku mengerti kalau Damian aneh, tapi masa iya?” “Bukannya aku tidak percaya padamu. Damian memang mencurigakan, tapi emang di dunia nyata ada yang seperti itu?” tambah Kira dengan hati-hati. “Apa kau lupa kalau beberapa waktu lalu, kau pernah menemukan kamera tersembunyi di kamar mandi hotel?” Aju tentu saja tidak keberatan untuk mengingatkan manajernya. Kira langsung mengumpat, saat mengingat momen dia tidak sengaja menjatuhkan jam meja hingga hancur berantakan. Ada kamera kecil di sana dan jelas saja membuatnya mengamuk. Hal yang sama mungkin terjadi pada Aju, tapi bagaimana. “Oke.” Kini Kira mengangguk dengan cukup yakin. “Tapi bagaimana caranya dia