“CUT!”
Aju tersentak mendengar teriakan bernada kesal itu. Dia yang sejak tadi lebih banyak melamun, langsung meringis melihat wajah sutradaranya. Pasti ada yang salah lagi. “Kau itu kenapa sih?” tanya si sutradara yang mengarahkan. “Dari tadi gak fokus terus.” “Biasalah. Orang gak profesional.” Bukan Aju yang mengatakannya, tapi Reina yang tengah jadi penonton. Dia sudah mau dibujuk kerja lagi. “Tidak usah mengejek orang lain.” Sayangnya, sutradara malah balas menghardik. “Kau lebih parah dari pada Aju.” “Aku ....” Baru juga Reina ingin membantah, tapi manajernya melarang lewat sentuhan tangan. Itu jelas saja membuat perempuan muda itu geram, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Soalnya, selain dibujuk, Reina juga diancam akan dikeluarkan dari tim kalau banyak tingkah. “Maaf, Pak. Saya kurang fokus karena sedang banyak pikiran.” Karena sudah mendapat kesempatan bicara, Aju akhirnya mengucapk“Apa tidak sebaiknya aku pindah rumah?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika mereka sudah agak jauh. “Aku rasa dia memasang CCTV di dalam unitku.” “Siapa? Damian?” Kira mengerutkan kening dengan bingung. Setelah Aju mengangguk, barulah si manajer melanjutkan, “Aku mengerti kalau Damian aneh, tapi masa iya?” “Bukannya aku tidak percaya padamu. Damian memang mencurigakan, tapi emang di dunia nyata ada yang seperti itu?” tambah Kira dengan hati-hati. “Apa kau lupa kalau beberapa waktu lalu, kau pernah menemukan kamera tersembunyi di kamar mandi hotel?” Aju tentu saja tidak keberatan untuk mengingatkan manajernya. Kira langsung mengumpat, saat mengingat momen dia tidak sengaja menjatuhkan jam meja hingga hancur berantakan. Ada kamera kecil di sana dan jelas saja membuatnya mengamuk. Hal yang sama mungkin terjadi pada Aju, tapi bagaimana. “Oke.” Kini Kira mengangguk dengan cukup yakin. “Tapi bagaimana caranya dia
Aju berlarian keluar dari mobil, bahkan tanpa menutup pintu. Kira sampai mendesis dan mengumpat kesal, tapi pada akhirnya dia juga ikut lari. Biar bagaimana, ada kemungkinan Aiden sedang dirawat. “Pasien atas nama Aiden?” tanya Aju dengan nafas tersengal. “Aiden ada dua, Bu,” jawab resepsionis yang berseragam hitam. “Ada yang baru saja masuk ke IGD dan ....” “Terima kasih.” Aju memotong dengan ucapan terima kasih karena dia sudah tahu harus ke mana. “Eh, Bu. Administrasinya belum lengkap ini.” Padahal resepsionisnya belum selesai bicara. Sayang sekali, Aju tidak mendengar. Dia lebih peduli pada Aiden dan baru akan lega ketika menemukan lelaki muda itu dalam keadaan selamat. Awalnya tadi Aju dan Kira berpikir kalau mereka kena prank lagi. Tapi pada akhirnya, sang selebriti memutuskan untuk pergi mengecek dulu. Lebih baik dicek, dari pada nanti menyesal. “Aiden?” Akhirnya Aju berhasil menemukan
Laporan ke polisi tidak segera dibuat. Mereka menunggu Aiden agar lebih baik dulu, agar bisa menceritakan dengan lebih baik. Lagi pula, jadwal Aju masih cukup padat Tapi siapa yang sangka di hari ketiga, kamar rumah sakit Aiden didatangi pengacara. Itu pun bertepatan dengan Aju yang memang sedang lowong, akibat Reina yang masih merajuk. “Loh? Rupanya ada tamu ya?” Aju yang hendak melepas masker, membatalkan niatannya. “Iya, Kak. Kenalkan, ini pengacara yang aku sewa.” Aiden tak segan memperkenalkan. “Hah? Pengacara?” Kira yang terkaget mendengar itu. “Untuk apa?” “Kan mau melapor ke polisi?” Kening Aiden berkerut dengan pertanyaan dengan nada terkejut itu. “Biar Kak Angel gak kelihatan ke kantor polisi, biar diwakili saja. Sekalian bisa diuruskan agar ini bisa jadi rahasia.” Aju mengangguk paham. Dia kini menjadi lebih lega karena tidak perlu lagi terla
“Jadi kita akan tinggal di mana?” Untuk yang kesekian kalinya, Aju bertanya. “Aku sudah mengajakmu ke rumahku, tapi kau yang tidak mau.” Kira jelas saja akan menegur rekan kerjanya itu. “Kau kan tinggal dengan adikmu. Takutnya aku mengganggu kalian gitu loh. Lagian Aiden nanti gimana?” “Kau tidak perlu memikirkan Aiden,” tegur Kira dengan nada sebal. “Bukannya kau bilang dia anak orang kaya? Minta saja dia pergi ke keluarganya.” Aju langsung meringis mendengar hal itu. Yang dikatakan Kira memang tidak salah, tapi entah kenapa Aju tidak rela. Terutama setelah perempuan itu, melihat betapa tidak akrabnya Aiden dengan keluarganya. Memang Aju belum melihat semua, tapi yang dilihat saat pesta kali lalu sudah cukup. “Apa kau masih merasa bersalah karena kakinya?” “Bukan hanya karena itu,” jawab Aju tanpa perlu berpikir. “Dia kan juga terluka karena rumahku di r
Aju mendesah ketika melihat rumah besar di depannya, lebih tepatnya baru bagian pagar dari rumah itu yang terlihat. Pagarnya menjulang tinggi dan terlihat begitu kokoh, walau sudah lama sejak pertama kali dipasang. “Kau yakin sudah menghubungi satpam yang bertugas?” Kira bertanya pada rekannya. “Sudah tadi pagi.” Aju mengangguk yakin. “Ini aku telepon dan chat, tapi belum diangkat dan dibalas.” Hari ini, kebetulan saja jadwal Aju kosong. Bukan lagi soal Reina yang ngembek, tapi bagiannya memang sudah selesai. Belum benar-benar selesai karena masih ada sesi pemotretan, tapi mereka dibiarkan istirahat lebih dulu. Karen itulah mereka memutuskan untuk mengecek rumah Aju dan di sinilah mereka. Kira yang kesal, sudah keluar dari dalam mobil untuk menengok pos satpam. Sementara Aju, dia lebih memilih menatap rumah lamanya dari dalam mobil. Lebih nyaman karena cuaca musim panas begitu menyengat. Selain itu,
“Aju.” Kira menepuk pipi teman tidurnya. Bukannya terbangun, Aju malah terlihat semakin histeris. Perempuan cantik berambut panjang itu, memberontak dengan nyaris seluruh tubuh bergerak. Dia tampak seperti orang yang sedang kesurupan saja. “Tidak. Jangan,” pekik Aju dengan suara bergetar dan keringat membasahi wajahnya. “Hei, Aju.” Sang manajer yang enggan menyerah, menampar wajah perempuan yang tengah mengigau itu lebih keras. Untungnya, kali ini cukup berhasil.“Ada apa denganmu?” Sang manajer bertanya dengan kening berkerut dan tatapan mata khawatir. “Mimpi buruk?” Aju tidak langsung menjawab. Dia masih tampak linglung, dengan mata liar menatap sekitarnya. Tangan ramping Aju pun meraba lehernya yang mulus, tampak ingin memeriksa kalau semuanya baik-baik saja. Cukup lama dan akhirnya perempuan itu pun mendesah lega. “Aju?” Kira kembali memanggil, masih dengan nada cemas. “Mau kuambilkan air?” Tentu
“Kenapa aku tidak boleh menginap?” Aju menggeram marah. “Karena di sini tidak nyaman, Kakak Malaikat,” jawab Aiden setengah menggombal. “Lagi pula, nanti Ray bakal datang kok.” “Tapi aku mau di sini.” Sayang sekali, sang selebriti tidak mau mengalah. Dia enggan pulang ke rumahnya. “Kali ini saja. Aku mohon dengarkan aku.” Aiden benar-benar memohon. Bukan tanpa alasan lelaki muda itu memohon. Dia hanya takut kalau Damian akan benar-benar melakukan hal nekat, selagi ada Aju di sekitarnya. Bagi Aiden, lelaki blasteran itu tampak begitu tega. Dia juga yakin kalau Damian yang menjadi dalang dirinya terluka seperti sekarang. “Sayang tidak ada bukti,” gumam Aiden tanpa sadar. “Apa yang tidak ada bukti?” Tentu saja Aju akan langsung bertanya. “Aku sedang memikirkan kasus kita,” jawab Aiden yang masih enggan memberitahu kecurigaannya pada sang kekasih. Dia tidak ingin Aju makin khawatir atau terlibat terlal
“Eh? Kebakaran?” tanya Aju dengan kedua alis terangkat. “Di mana kebakaran?” Aiden yang masih belum lelap langsung bertanya. “Rumahku,” jawab sang selebriti dengan raut wajah panik. “Katanya ada puntung rokok yang masih menyala tidak sengaja terkena bantalan sofa pintu belakang.” “Kalau begitu, kita pulang?” Kira bertanya dengan hati-hati. “Atau mau gimana?” “Kau tidak apa-apa kutinggal sebentar?” Alih-alih menjawab sang manajer, aju malah menoleh dan bertanya pada pasien yang ada di kamar. “Aku tidak apa-apa.” Tentu saja Aiden akan mengangguk dengan tegas. “Sebentar lagi Ray juga akan datang kok.” Walau sudah diberi jawaban seperti itu, Aju tetap merasa cemas. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dan berpikir, namun kedatangan Ray membuatnya bergegas. Walau sudah pernah berkenalan, sahabat Aiden itu belum pernah benar-benar melihat wajah Aju. Masker jadi