Laporan ke polisi tidak segera dibuat. Mereka menunggu Aiden agar lebih baik dulu, agar bisa menceritakan dengan lebih baik. Lagi pula, jadwal Aju masih cukup padat
Tapi siapa yang sangka di hari ketiga, kamar rumah sakit Aiden didatangi pengacara. Itu pun bertepatan dengan Aju yang memang sedang lowong, akibat Reina yang masih merajuk. “Loh? Rupanya ada tamu ya?” Aju yang hendak melepas masker, membatalkan niatannya. “Iya, Kak. Kenalkan, ini pengacara yang aku sewa.” Aiden tak segan memperkenalkan. “Hah? Pengacara?” Kira yang terkaget mendengar itu. “Untuk apa?” “Kan mau melapor ke polisi?” Kening Aiden berkerut dengan pertanyaan dengan nada terkejut itu. “Biar Kak Angel gak kelihatan ke kantor polisi, biar diwakili saja. Sekalian bisa diuruskan agar ini bisa jadi rahasia.” Aju mengangguk paham. Dia kini menjadi lebih lega karena tidak perlu lagi terla“Jadi kita akan tinggal di mana?” Untuk yang kesekian kalinya, Aju bertanya. “Aku sudah mengajakmu ke rumahku, tapi kau yang tidak mau.” Kira jelas saja akan menegur rekan kerjanya itu. “Kau kan tinggal dengan adikmu. Takutnya aku mengganggu kalian gitu loh. Lagian Aiden nanti gimana?” “Kau tidak perlu memikirkan Aiden,” tegur Kira dengan nada sebal. “Bukannya kau bilang dia anak orang kaya? Minta saja dia pergi ke keluarganya.” Aju langsung meringis mendengar hal itu. Yang dikatakan Kira memang tidak salah, tapi entah kenapa Aju tidak rela. Terutama setelah perempuan itu, melihat betapa tidak akrabnya Aiden dengan keluarganya. Memang Aju belum melihat semua, tapi yang dilihat saat pesta kali lalu sudah cukup. “Apa kau masih merasa bersalah karena kakinya?” “Bukan hanya karena itu,” jawab Aju tanpa perlu berpikir. “Dia kan juga terluka karena rumahku di r
Aju mendesah ketika melihat rumah besar di depannya, lebih tepatnya baru bagian pagar dari rumah itu yang terlihat. Pagarnya menjulang tinggi dan terlihat begitu kokoh, walau sudah lama sejak pertama kali dipasang. “Kau yakin sudah menghubungi satpam yang bertugas?” Kira bertanya pada rekannya. “Sudah tadi pagi.” Aju mengangguk yakin. “Ini aku telepon dan chat, tapi belum diangkat dan dibalas.” Hari ini, kebetulan saja jadwal Aju kosong. Bukan lagi soal Reina yang ngembek, tapi bagiannya memang sudah selesai. Belum benar-benar selesai karena masih ada sesi pemotretan, tapi mereka dibiarkan istirahat lebih dulu. Karen itulah mereka memutuskan untuk mengecek rumah Aju dan di sinilah mereka. Kira yang kesal, sudah keluar dari dalam mobil untuk menengok pos satpam. Sementara Aju, dia lebih memilih menatap rumah lamanya dari dalam mobil. Lebih nyaman karena cuaca musim panas begitu menyengat. Selain itu,
“Aju.” Kira menepuk pipi teman tidurnya. Bukannya terbangun, Aju malah terlihat semakin histeris. Perempuan cantik berambut panjang itu, memberontak dengan nyaris seluruh tubuh bergerak. Dia tampak seperti orang yang sedang kesurupan saja. “Tidak. Jangan,” pekik Aju dengan suara bergetar dan keringat membasahi wajahnya. “Hei, Aju.” Sang manajer yang enggan menyerah, menampar wajah perempuan yang tengah mengigau itu lebih keras. Untungnya, kali ini cukup berhasil.“Ada apa denganmu?” Sang manajer bertanya dengan kening berkerut dan tatapan mata khawatir. “Mimpi buruk?” Aju tidak langsung menjawab. Dia masih tampak linglung, dengan mata liar menatap sekitarnya. Tangan ramping Aju pun meraba lehernya yang mulus, tampak ingin memeriksa kalau semuanya baik-baik saja. Cukup lama dan akhirnya perempuan itu pun mendesah lega. “Aju?” Kira kembali memanggil, masih dengan nada cemas. “Mau kuambilkan air?” Tentu
“Kenapa aku tidak boleh menginap?” Aju menggeram marah. “Karena di sini tidak nyaman, Kakak Malaikat,” jawab Aiden setengah menggombal. “Lagi pula, nanti Ray bakal datang kok.” “Tapi aku mau di sini.” Sayang sekali, sang selebriti tidak mau mengalah. Dia enggan pulang ke rumahnya. “Kali ini saja. Aku mohon dengarkan aku.” Aiden benar-benar memohon. Bukan tanpa alasan lelaki muda itu memohon. Dia hanya takut kalau Damian akan benar-benar melakukan hal nekat, selagi ada Aju di sekitarnya. Bagi Aiden, lelaki blasteran itu tampak begitu tega. Dia juga yakin kalau Damian yang menjadi dalang dirinya terluka seperti sekarang. “Sayang tidak ada bukti,” gumam Aiden tanpa sadar. “Apa yang tidak ada bukti?” Tentu saja Aju akan langsung bertanya. “Aku sedang memikirkan kasus kita,” jawab Aiden yang masih enggan memberitahu kecurigaannya pada sang kekasih. Dia tidak ingin Aju makin khawatir atau terlibat terlal
“Eh? Kebakaran?” tanya Aju dengan kedua alis terangkat. “Di mana kebakaran?” Aiden yang masih belum lelap langsung bertanya. “Rumahku,” jawab sang selebriti dengan raut wajah panik. “Katanya ada puntung rokok yang masih menyala tidak sengaja terkena bantalan sofa pintu belakang.” “Kalau begitu, kita pulang?” Kira bertanya dengan hati-hati. “Atau mau gimana?” “Kau tidak apa-apa kutinggal sebentar?” Alih-alih menjawab sang manajer, aju malah menoleh dan bertanya pada pasien yang ada di kamar. “Aku tidak apa-apa.” Tentu saja Aiden akan mengangguk dengan tegas. “Sebentar lagi Ray juga akan datang kok.” Walau sudah diberi jawaban seperti itu, Aju tetap merasa cemas. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dan berpikir, namun kedatangan Ray membuatnya bergegas. Walau sudah pernah berkenalan, sahabat Aiden itu belum pernah benar-benar melihat wajah Aju. Masker jadi
“Bagaimana bisa?” Aju bertanya pada dua satpam rumahnya. Salah satunya Pak Udin. “Saya juga bingung, Neng.” Pak Udin yang menjawab. “Padahal tidak ada yang merokok di rumah dan lokasinya juga jauh dari dinding halaman belakang. Rasanya gak mungkin ada puntung rokok yang terbang.” “Kalau begitu kenapa bisa terbakar? Sebagian dapur juga ikut terbakar loh, Pak.” Kali ini Kira yang mengomel. Kira tahu dirinya tidak punya hak untuk berkomentar, tapi rumah sahabatnya hampir hangus terbakar. Ada banyak barang pribadinya di rumah besar ini dan juga beberapa barang Aju yang digunakan untuk bekerja. Setidaknya, Kira pantas marah untuk hal ini karena ada yang lalai. “Itu, Bu.” Satpam yang lebih muda berbicara. “Mungkin memang ada anak-anak yang sengaja lempar petasan ke dalam rumah dan kena sofa.” “Tapi itu jaraknya jauh loh, Pak Joko. Lagian, tembok belakang itu juga tinggi loh. Rasanya a
Demi apa pun, Aiden tidak pernah menyangka akan memakai ilmu karate yang dia pelajari saat remaja. Bahkan Ray pun sempat ikut belajar karena dirinya. Walau jelas dia akan sangat kesulitan karena sebelah kakinya cedera. Setidaknya, itu yang dipikirkan Aiden. “Ayo maju.” Belum juga apa-apa, Ray sudah menantang. Lelaki muda itu malah menggerakkan dua jarinya untuk meminta penjahatnya maju. “Tidak usah macam-macam.” Yang perempuan berdecih pelan untuk mengejek. “Sudah sakit, tidak usah sok jadi jagoan.” “Maaf, tapi bukan aku yang sok.” Jelas saja Aiden akan membantah karena memang itulah yang sebenarnya. “Dia yang sok jadi jagoan.” Sang pasien tidak segan menunjuk sahabatnya. “Sudahlah.” Penjahat yang lelaki akhirnya melepas maskernya juga. “Kita punya tugas yang harus cepat diselesaikan, jadi hajar saja mereka. Kau urus yang terluka itu.” Dengan mata berputar karena kesal, yang per
“Halo.” Damian muncul keesokan harinya dengan senyum lebar, bahkan ketika dia tidak disambut. “Wah, sepertinya aku datang saat yang tidak tepat ya,” lanjut lelaki blasteran itu dengan senyum yang belum luntur. “Kau sudah mau pulang?” “Kalau kau punya mata, pasti sudah tahu jawabannya,” jawab Aiden dengan raut wajah kesal yang tidak dia tutupi sama sekali. Ya. Harusnya dalam sekali lihat saja Damian sudah tahu kalau pasien yang menempati kamar mewah itu akan pulang. Ada tas besar di atas ranjang dan Aiden sudah tidak menggunakan baju pasien lagi. “Bagaimana hadiahku yang semalam?” Tanpa diduga, Damian langsung mengakui kejahatannya. “Luar biasa kan?” “Biasa aja tuh,” jawab Aiden dengan sombongnya. “Buktinya aku masih hidup kan?” Sudut bibir Damian berkedut. Bukan karena tawa, tapi karena sedang berusaha menahan umpatan yang sudah siap keluar dari bibirnya. Lelaki itu jelas terlihat tidak senang sama sekali.