Demi apa pun, Aiden tidak pernah menyangka akan memakai ilmu karate yang dia pelajari saat remaja. Bahkan Ray pun sempat ikut belajar karena dirinya. Walau jelas dia akan sangat kesulitan karena sebelah kakinya cedera. Setidaknya, itu yang dipikirkan Aiden.
“Ayo maju.” Belum juga apa-apa, Ray sudah menantang. Lelaki muda itu malah menggerakkan dua jarinya untuk meminta penjahatnya maju. “Tidak usah macam-macam.” Yang perempuan berdecih pelan untuk mengejek. “Sudah sakit, tidak usah sok jadi jagoan.” “Maaf, tapi bukan aku yang sok.” Jelas saja Aiden akan membantah karena memang itulah yang sebenarnya. “Dia yang sok jadi jagoan.” Sang pasien tidak segan menunjuk sahabatnya. “Sudahlah.” Penjahat yang lelaki akhirnya melepas maskernya juga. “Kita punya tugas yang harus cepat diselesaikan, jadi hajar saja mereka. Kau urus yang terluka itu.” Dengan mata berputar karena kesal, yang per“Halo.” Damian muncul keesokan harinya dengan senyum lebar, bahkan ketika dia tidak disambut. “Wah, sepertinya aku datang saat yang tidak tepat ya,” lanjut lelaki blasteran itu dengan senyum yang belum luntur. “Kau sudah mau pulang?” “Kalau kau punya mata, pasti sudah tahu jawabannya,” jawab Aiden dengan raut wajah kesal yang tidak dia tutupi sama sekali. Ya. Harusnya dalam sekali lihat saja Damian sudah tahu kalau pasien yang menempati kamar mewah itu akan pulang. Ada tas besar di atas ranjang dan Aiden sudah tidak menggunakan baju pasien lagi. “Bagaimana hadiahku yang semalam?” Tanpa diduga, Damian langsung mengakui kejahatannya. “Luar biasa kan?” “Biasa aja tuh,” jawab Aiden dengan sombongnya. “Buktinya aku masih hidup kan?” Sudut bibir Damian berkedut. Bukan karena tawa, tapi karena sedang berusaha menahan umpatan yang sudah siap keluar dari bibirnya. Lelaki itu jelas terlihat tidak senang sama sekali.
“Tunggu dulu!” Aiden memekik, ketika taksinya berhenti di depan pagar tinggi. “Ini rumahmu?” “Rumah orang tuaku, lebih tepatnya.” Ray menjawab, setelah dia menyapa satpam. “Iya ... maksudku itu.” Aiden makin berkerut saja mendengarnya. “Aku tidak tahu kalau kau ternyata orang kaya.” “Maksudku .... Aku tahu kau kaya, tapi kupikir tidak sekaya ini.” Aiden menunjuk rumah besar yang kini terpampang nyata di depannya. Rumah Ray memang tidak sebesar rumah keluarga Aiden, tapi tetap saja. Hanya orang yang benar-benar kaya yang bisa punya rumah megah bergaya Eropa seperti ini. Aiden langsung tahu hanya dengan sekali lihat. “Rasanya biasa saja,” jawab Ray yang menggaruk kepalanya dengan bingung. “Lagi pula yang kaya itu kan orang tuaku.” “Wah, pemikiran yang luar biasa.” Mau tidak mau, Aiden merasa kagum pada sahabatnya itu. “Tidak usah memu
“Astaga!” Pekikan langsung terdengar ketika Tiara memasuki ruang VIP sebuah restoran. “Ini benar-benar Angelina Julie?” “Halo, Tante.” Begitu mendengar namanya dipanggil, Aju langsung berdiri dan mengulurkan tangan untuk menjabat. Tapi alih-alih menjabat tangan, Tiara malah menarik sang selebriti ke dalam pelukan. Itu membuat Aju sangat terkejut, sampai dia lupa untuk membalas pelukan hangat itu. Untung saja Tiara tidak terlihat marah. “Apa kau tidak sibuk?” Tiara bertanya setelah pelukannya terlepas. “Permintaan tiba-tibaku tidak membuatmu harus mengatur jadwal ulang kan?” “Tidak kok, Tante.” Aju melebarkan senyumnya demi kesopanan. “Tapi saya mengajak manajer saya. Tidak apa-apa kan?” Tiara menengok melewati bahu Aju dan melihat sang manajer menunduk hormat. Setelahnya, perempuan paruh baya itu tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa kok. Tante kan juga bawa dua pasukan.” Kini giliran Aju dan Kira yang menat
“Kau dapat pekerjaan gara-gara Aiden.” Tiba-tiba saja Kira mengatakan hal itu, saat mereka perjalanan pulang.“Ya.” Tentu saja Aju akan mengangguk. “Sudah kubilang kalau dia itu jimat keberuntunganku.”“Jimat keberuntungan yang selalu dapat sial.” Sang manajer meringis pelan. “Dia sudah beberapa kali dapat masalah sejak bersama denganmu.”“Apa jangan-jangan ... aku bawa sial untuk Aiden?” Tiba-tiba saja Aju jadi kepikiran.Pada dasarnya, sang selebriti cukup suka dengan sesuatu yang bernama ramalan. Perempuan cantik berambut panjang itu, jadi mudah mencocokkan segala kebetulan yang terjadi di sekitarnya. Kejadian dengan Aiden salah satunya.“Entah.” Kira hanya bisa mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu yang seperti itu, tapi yang jelas kasus kalian jadi makin
“Kok rasanya aku tidak senang dengan apa yang dikatakan Damian ya?” Setelah dua hari berlalu, Kira tiba-tiba saja mengatakan hal itu. “Yang mana?” Aju yang sedang berdandan, balas bertanya. “Yang kemarin itu loh. Yang soal menyingkirkan sepupumu atau apalah itu yang dia bilang kemarin.” Aju hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Sejujurnya, dia senang kalau Beni Utomo-sepupunya bisa dijauhkan dari dirinya. Tapi entah kenapa, apa yang dikatakan Damian kemarin membuatnya merinding. Lelaki itu terkesan akan melenyapkan dengan cara yang jahat. “Sekarang aku jadi berpikir kalau Damian itu jahat,” lanjut Kira karena tidak mendapat respon dari rekannya. “Kan dari awal aku sudah bilang dia jahat.” Tentu saja Aju akan mengeluh, seraya meneruskan menggambar alisnya. “Ya, tapi baru kemarin terasa. Entah cuma perasaanku saja atau apa.” “Tapi omong-omong, untuk apa sih orang tua Ray mengundang kita lagi?” Setela
“Eh? Ini serius?” tanya Aju dengan mata membulat. Bukan hanya dia, tapi Kira pun terkejut. “Amat sangat serius.” Galaksi mengangguk dengan yakin dan tegas. “Itu semua untukmu.” Aju dan Kira tercengang melihat apa yang tertera di tablet yang sedang mereka baca. Ada terlalu banyak rincian yang akan didapatkan oleh Aju. Saking banyaknya, dia tak bisa membaca sampai habis. “Tapi ini berlebihan,” gumam Aju masih tidak percaya. “Masa semua koleksi diberikan padaku? Lemariku saja belum tentu muat loh, Pak.” “Belum ditambah dengan fasilitas pengawal dan mobil antar jemput?” Kira melanjutkan, setelah menemukan kata itu di berkas. “Ya.” Galaksi kembali mengangguk. “Fasilitas itu diberikan untuk kalian berdua, ditambah dengan tempat tinggal. Itu pun kalau kalian mau menerima.” Jujur saja, Aju merasa sangat tergiur. Dia bekerja sama dengan brand yang luar biasa dan dengan fasilitas yang sama luar biasanya. Bohong kalau Aju tidak tergiur, tapi ini rasanya berlebihan. Dia jadi merasa tid
“Halo?” Dengan wajah mengantuk, Aju remaja mengangkat ponsel dengan bentuk kotak kecil yang baru saja dia beli. “Mama?” Kening Aju berkerut karena tidak mendengar apa pun selain suara rintihan pelan. “Apaan sih.” Aju remaja yang merasa kesal, langsung mematikan panggilan ponselnya. “Mau mesum kok pegang hp, jadinya kan tertekan.” Aju saat itu baru lima belas tahun, tapi dia sudah mengerti tentang reproduksi. Baru saja diajarkan beberapa hari lalu di kelas biologi. Apalagi ada temannya yang terang-terangan mengajak untuk nonton film biru. Alhasil, pikirannya melayang ke mana-mana ketika mendengar suara rintihan di ponsel. Untung saja remaja Aju masih berpikiran lurus. Dia menonton hanya untuk sekedar ingin tahu, jadi ketika pikirannya menyimpang, Aju dengan mudah menyingkirkannya. Lagi pula, lebih baik tidur dibanding berpikiran aneh. Apalagi sang mama tadi berpesan agar dia cepat tidur dan tidak beranjak dari kamar. “Angel
“Wah, rupanya Aiden berkeluarga dengan artis terkenal ya.” Sisilia tertawa pelan ketika mengatakan hal itu. “Padahal kemarin itu aku sudah berburuk sangka loh.”“Apa mau kalian?” Alih-alih meluruskan kalimat Sisilia, Aiden malah bertanya. “Bagaimana kalian bisa tahu Aju tinggal di sini? Lebih tepatnya, bagaimana kau tahu?”Damian tersenyum melihat reaksi saingannya. Dia cukup senang karena Aiden sangat mudah terpancing amarahnya. Sejauh ini, semua sesuai dengan apa yang diinginkan Damian. “Tentu saja aku tahu.” Damian menjawab dengan senyum lebar. “Biar bagaimana, Aju kan dekat denganku.”Kening Aiden berkerut karena tidak senang. Dia jelas sekali sedang cemburu, tapi sayang sekali yang empunya enggan bekerja sama. Aju yang juga terlihat kesal, malah meminta kedua tamunya untuk masuk.“Apa kalian berdua tidak mau masuk? Tidak baik mengobrol sambil berdiri, apalagi di teras.” Permintaan sang kekasih membuat Ai