“Kok rasanya aku tidak senang dengan apa yang dikatakan Damian ya?” Setelah dua hari berlalu, Kira tiba-tiba saja mengatakan hal itu.
“Yang mana?” Aju yang sedang berdandan, balas bertanya. “Yang kemarin itu loh. Yang soal menyingkirkan sepupumu atau apalah itu yang dia bilang kemarin.” Aju hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Sejujurnya, dia senang kalau Beni Utomo-sepupunya bisa dijauhkan dari dirinya. Tapi entah kenapa, apa yang dikatakan Damian kemarin membuatnya merinding. Lelaki itu terkesan akan melenyapkan dengan cara yang jahat. “Sekarang aku jadi berpikir kalau Damian itu jahat,” lanjut Kira karena tidak mendapat respon dari rekannya. “Kan dari awal aku sudah bilang dia jahat.” Tentu saja Aju akan mengeluh, seraya meneruskan menggambar alisnya. “Ya, tapi baru kemarin terasa. Entah cuma perasaanku saja atau apa.” “Tapi omong-omong, untuk apa sih orang tua Ray mengundang kita lagi?” Setela“Eh? Ini serius?” tanya Aju dengan mata membulat. Bukan hanya dia, tapi Kira pun terkejut. “Amat sangat serius.” Galaksi mengangguk dengan yakin dan tegas. “Itu semua untukmu.” Aju dan Kira tercengang melihat apa yang tertera di tablet yang sedang mereka baca. Ada terlalu banyak rincian yang akan didapatkan oleh Aju. Saking banyaknya, dia tak bisa membaca sampai habis. “Tapi ini berlebihan,” gumam Aju masih tidak percaya. “Masa semua koleksi diberikan padaku? Lemariku saja belum tentu muat loh, Pak.” “Belum ditambah dengan fasilitas pengawal dan mobil antar jemput?” Kira melanjutkan, setelah menemukan kata itu di berkas. “Ya.” Galaksi kembali mengangguk. “Fasilitas itu diberikan untuk kalian berdua, ditambah dengan tempat tinggal. Itu pun kalau kalian mau menerima.” Jujur saja, Aju merasa sangat tergiur. Dia bekerja sama dengan brand yang luar biasa dan dengan fasilitas yang sama luar biasanya. Bohong kalau Aju tidak tergiur, tapi ini rasanya berlebihan. Dia jadi merasa tid
“Halo?” Dengan wajah mengantuk, Aju remaja mengangkat ponsel dengan bentuk kotak kecil yang baru saja dia beli. “Mama?” Kening Aju berkerut karena tidak mendengar apa pun selain suara rintihan pelan. “Apaan sih.” Aju remaja yang merasa kesal, langsung mematikan panggilan ponselnya. “Mau mesum kok pegang hp, jadinya kan tertekan.” Aju saat itu baru lima belas tahun, tapi dia sudah mengerti tentang reproduksi. Baru saja diajarkan beberapa hari lalu di kelas biologi. Apalagi ada temannya yang terang-terangan mengajak untuk nonton film biru. Alhasil, pikirannya melayang ke mana-mana ketika mendengar suara rintihan di ponsel. Untung saja remaja Aju masih berpikiran lurus. Dia menonton hanya untuk sekedar ingin tahu, jadi ketika pikirannya menyimpang, Aju dengan mudah menyingkirkannya. Lagi pula, lebih baik tidur dibanding berpikiran aneh. Apalagi sang mama tadi berpesan agar dia cepat tidur dan tidak beranjak dari kamar. “Angel
“Wah, rupanya Aiden berkeluarga dengan artis terkenal ya.” Sisilia tertawa pelan ketika mengatakan hal itu. “Padahal kemarin itu aku sudah berburuk sangka loh.”“Apa mau kalian?” Alih-alih meluruskan kalimat Sisilia, Aiden malah bertanya. “Bagaimana kalian bisa tahu Aju tinggal di sini? Lebih tepatnya, bagaimana kau tahu?”Damian tersenyum melihat reaksi saingannya. Dia cukup senang karena Aiden sangat mudah terpancing amarahnya. Sejauh ini, semua sesuai dengan apa yang diinginkan Damian. “Tentu saja aku tahu.” Damian menjawab dengan senyum lebar. “Biar bagaimana, Aju kan dekat denganku.”Kening Aiden berkerut karena tidak senang. Dia jelas sekali sedang cemburu, tapi sayang sekali yang empunya enggan bekerja sama. Aju yang juga terlihat kesal, malah meminta kedua tamunya untuk masuk.“Apa kalian berdua tidak mau masuk? Tidak baik mengobrol sambil berdiri, apalagi di teras.” Permintaan sang kekasih membuat Ai
“Kalau kau ingin itu, ambil saja.” Suara lembut yang terdengar dekat, membuat Aju tersentak. Dia meringis ketika melihat Tiara Purnomo berdiri menatapnya dengan senyum lembut yang seperti biasanya. Walau baru sebentar saling mengenal, tapi Aju tahu kalau perempuan paruh baya di depannya memang selalu lembut. “Itu dompet lelaki.” Tiara kembali bersuara. “Apa kau ingin memberikannya pada Aiden.” “Bagaimana ....” Aju nyaris saja keceplosan, tapi untung saja dia bisa mengerem mulutnya pada saat yang tepat. “Bagaimana mungkin Tante berpikiran seperti itu?” Aju cepat-cepat meralat perkataannya. “Aku melihatnya karena cantik, bukan untuk diberikan pada siapa pun.” “Benarkah?” Tiara terlihat sok bingung. “Padahal kudengar dari Ray, kalau Aju sama sekali belum memberikan hadiah ulang tahun pada Aiden. Apa kalian marahan?” Wajah Aju sontak saja memerah karena dia sudah ketahuan. Rasanya agak memalukan, tapi mau apa lagi?
“Melelahkan sekali.” Rajendra mengeluh, ketika dia sudah duduk di dalam mobil. “Anda mau ke mana, Tuan?” Sopir bertanya dengan sopan. “Pulang saja ke rumah.” Pria tua itu menjawab, setelah berpikir sejenak. “Beri tahu juga kalau aku batal bertemu dengan Atlas dan panggil Aiden ke rumah.” Kali ini dia memberi perintah pada asistennya. Tentu saja sang asisten akan langsung menurut dan membiarkan tuannya memejamkan mata. Rajendra tidak tidur, dia hanya ingin menenangkan pikirannya. Atau lebih tepatnya, memikirkan kembali apa yang baru saja dia dengar dari mulut seorang selebriti yang baru naik daun.“Kenapa pertanyaan Anda seperti itu?” ucap Aju beberapa saat yang lalu. “Apa Anda tidak setuju dengan hubungan kami? Dengan alasan apa?” “Tentu saja karena hubungan keluarga kita.” Itu yang dijawabkan Rajendra. “Memangnya kenapa dengan keluarga? Kalau keluarga kami tidak akur, bukan berarti kami tidak bisa akur. Lagi p
“Apa yang Kakek katakan pada Kakak Malaikatku?” Kening Rajendra berkerut mendengar pertanyaan itu dari mulut cucunya. Itu jelas bukan hal yang ingin dia dengarkan. Apalagi ketika mereka berdua memang jarang bertemu. “Apa begitu caramu menyapa orang tua?” Alih-alih menjawab, Rajendra malah bertanya balik. “Selamat siang, Kakek Rajendra.” Dengan terpaksa, Aiden mengatakannya. “Sekarang sudah aku sapa kan? Jadi apa bisa Kakek menjawab pertanyaanku?” lanjutnya dengan nada kesal. “Tapi masalahnya, siapa yang kau sebut Kakak Malaikat?” Rajendra kembali bertanya dengan kening berkerut bingung. Aiden memutar bola matanya dengan gemas. Dia kesal sekali karena merasa yakin kalau sang kakek hanya pura-pura tidak tahu, tapi untuk saat ini Aiden akan mencoba untuk menahan diri. “Angelina Julie. Dia pacarku yang sudah aku kenalkan pada Kakek.” “Kau memanggilnya Kakak Malaikat?” Kening Rajendra makin berkerut. “T
“Coba ulangi sekali lagi?” “Mamanya Aiden kabur.” Kedua alis Rajendra terangkat, ketika mendengar apa yang dikatakan putra sulungnya. Padahal tadi dia pikir salah dengar, tapi rupanya tidak. Menantu kesayangan pilihannya benar-benar kabur, bahkan meninggalkan gugatan cerai. “Kau ini bagaimana sih?” Bukannya menghibur, Rajendra malah menghardik putranya. “Sudah susah payah dicarikan jodoh artis terkenal, tapi malah seperti ini jadinya.” “Itu kan pilihan Ayah, bukan pilihanku.” “DELON.” Rajendra berteriak dengan cukup keras. “Harusnya kau bersyukur masih ada yang peduli denganmu,” lanjut Rajendra masih terlihat sangat kesal. “Menurutmu, siapa yang mau peduli dengan kisah romantismu yang menyedihkan itu.” “Memang menyedihkan, tapi aku tidak menyesalinya.” Di luar dugaan, Delon Nugraha terlihat sedikit marah. “Walau dia dirampas dariku, setidaknya aku berhubungan dengan dia karena perasaan kami sama. Bu
“Halo.” Sudut bibir Aju berkedut mendengar sapaan itu. Dia bukan ingin tersenyum, tapi sedang berusaha untuk tidak marah dan berteriak. Padahal dia datang ke rumah besar ini untuk bertemu Aiden (tanpa Kira), sekalian untuk bekerja dengan Tiara. Siapa sangka dia disambut oleh orang lain. Sisilia. “Kau sepertinya sangat akrab dengan Ray ya?” tanya Aju berusaha untuk tersenyum, hanya demi kesopanan. “Kau sampai berkunjung kemari.” “Aku datang ke sini untuk bertemu Aiden,” jawab Sisilia dengan sombongnya, bahkan sambil mengibaskan rambut. “Biar bagaimana, dia tunanganku.” “Calon tunangan,” desis Aju dengan tidak rela. “Aiden sama sekali tidak mengakuimu.” “Memangnya kau punya niatan untuk menikah dengan Aiden?” Sisilia bertanya dengan senyum sinisnya. “Aku tidak yakin kau mau menunggu dia selesai kuliah, jadi kemungkinan aku yang menjadi istrinya masih jauh lebih besar.” Aju menggeram kesal mendengarnya. Bukan se
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa