“Apa yang Kakek katakan pada Kakak Malaikatku?”
Kening Rajendra berkerut mendengar pertanyaan itu dari mulut cucunya. Itu jelas bukan hal yang ingin dia dengarkan. Apalagi ketika mereka berdua memang jarang bertemu. “Apa begitu caramu menyapa orang tua?” Alih-alih menjawab, Rajendra malah bertanya balik. “Selamat siang, Kakek Rajendra.” Dengan terpaksa, Aiden mengatakannya. “Sekarang sudah aku sapa kan? Jadi apa bisa Kakek menjawab pertanyaanku?” lanjutnya dengan nada kesal. “Tapi masalahnya, siapa yang kau sebut Kakak Malaikat?” Rajendra kembali bertanya dengan kening berkerut bingung. Aiden memutar bola matanya dengan gemas. Dia kesal sekali karena merasa yakin kalau sang kakek hanya pura-pura tidak tahu, tapi untuk saat ini Aiden akan mencoba untuk menahan diri. “Angelina Julie. Dia pacarku yang sudah aku kenalkan pada Kakek.” “Kau memanggilnya Kakak Malaikat?” Kening Rajendra makin berkerut. “T“Coba ulangi sekali lagi?” “Mamanya Aiden kabur.” Kedua alis Rajendra terangkat, ketika mendengar apa yang dikatakan putra sulungnya. Padahal tadi dia pikir salah dengar, tapi rupanya tidak. Menantu kesayangan pilihannya benar-benar kabur, bahkan meninggalkan gugatan cerai. “Kau ini bagaimana sih?” Bukannya menghibur, Rajendra malah menghardik putranya. “Sudah susah payah dicarikan jodoh artis terkenal, tapi malah seperti ini jadinya.” “Itu kan pilihan Ayah, bukan pilihanku.” “DELON.” Rajendra berteriak dengan cukup keras. “Harusnya kau bersyukur masih ada yang peduli denganmu,” lanjut Rajendra masih terlihat sangat kesal. “Menurutmu, siapa yang mau peduli dengan kisah romantismu yang menyedihkan itu.” “Memang menyedihkan, tapi aku tidak menyesalinya.” Di luar dugaan, Delon Nugraha terlihat sedikit marah. “Walau dia dirampas dariku, setidaknya aku berhubungan dengan dia karena perasaan kami sama. Bu
“Halo.” Sudut bibir Aju berkedut mendengar sapaan itu. Dia bukan ingin tersenyum, tapi sedang berusaha untuk tidak marah dan berteriak. Padahal dia datang ke rumah besar ini untuk bertemu Aiden (tanpa Kira), sekalian untuk bekerja dengan Tiara. Siapa sangka dia disambut oleh orang lain. Sisilia. “Kau sepertinya sangat akrab dengan Ray ya?” tanya Aju berusaha untuk tersenyum, hanya demi kesopanan. “Kau sampai berkunjung kemari.” “Aku datang ke sini untuk bertemu Aiden,” jawab Sisilia dengan sombongnya, bahkan sambil mengibaskan rambut. “Biar bagaimana, dia tunanganku.” “Calon tunangan,” desis Aju dengan tidak rela. “Aiden sama sekali tidak mengakuimu.” “Memangnya kau punya niatan untuk menikah dengan Aiden?” Sisilia bertanya dengan senyum sinisnya. “Aku tidak yakin kau mau menunggu dia selesai kuliah, jadi kemungkinan aku yang menjadi istrinya masih jauh lebih besar.” Aju menggeram kesal mendengarnya. Bukan se
“Ada apa ini?” Kira yang datang belakangan, mengerutkan kening melihat pemandangan yang dia lihat sekarang. “Kenapa kalian semua terlihat tegang?” “Aku sama sekali tidak tegang, tapi dia.” Ray yang menjawab, sembari menunjuk temannya menggunakan jempol. Kira menoleh dan menatap Aiden yang memang terlihat sangat tegang. Dia seolah sedang menunggu untuk dipanggil sidang proposal. Padahal hal itu masih sangat lama baru terjadi dan rasanya dulu Kira tidak setegang itu. “Jadi apa yang membuat temanmu tegang?” tanya Kira yang memilih duduk di antara dua lelaki yang tengah menunggu. “Kau tunggu dan lihat saja.” Sayangnya, Ray tidak mau menjawab. Lelaki muda itu malah tersenyum penuh arti. Untungnya, tidak lama dari itu Aju yang sedang berganti pakaian akhirnya keluar. Kali ini, dia bukan menggunakan pakaian kasual atau gaun malam, tapi gaun pengantin yang tadi mereka bicarakan. Gaun putih seperti yang ada di dalam kartun. Mengemb
“Hei, apa kau pernah memikirkan soal pernikahan?” Tiba-tiba saja, Aju menanyakan hal itu pada manajernya. “Kenapa kau menanyakan itu?” Kira jelas saja akan mengerutkan keningnya. “Apa gara-gara mencoba gaun pengantin, kau jadi ingin menikahi Aiden.” “APA-APAAN ITU?” Aju memekik karena dia ketahuan. “Aku tidak seperti itu.” “Ya. Ya.” Kira mengangguk sok mengerti. “Kau mungkin tidak, tapi Aiden sudah memikirkannya. Bahkan mungkin sudah memikirkan mau berapa anak.” “Dasar gila.” Walau memaki, tapi wajah Aju memerah karenanya. “Padahal dia baru umur dua puluh satu.” “Dan kau akan berumur dua sembilan dalam beberapa bulan lagi,” lanjut Kira, seolah itu bukan apa-apa. “Kalau kau ingin menikah, sebaiknya kau harus cepat-cepat menjadi terkenal.” “Industri hiburan kita memang tidak seketat di luar negeri, tapi akan lebih baik kalau kau sukses dulu sebelum menikah. Popularitasmu bisa turun setelah menikah, apalagi punya
“APA-APAAN INI?” Aiden tidak tahan untuk tidak berteriak pada Damian. “Kau kan sudah menjanjikan bertemu dengan pemilik kantor manajemen artis, tapi kenapa ada Sisilia?” “Loh? Kau tidak pernah lihat biodataku?” tanya perempuan yang sedang dibicarakan itu dengan penuh percaya diri. “Keluargaku kan punya perusahaan seperti itu.” “Tapi bukan kau kan yang menjalankan perusahaannya?” “Iya sih,” jawab Sisilia dengan pelan. “Tapi aku tahu sedikit kok.” “Tahu sedikit tidak akan membantu.” Aiden yang marah, akhirnya memukul meja. “Kalau seperti ini, aku tidak jadi meminta bantuanmu. Lebih baik aku pulang saja.” Padahal setelah menanti hampir dua minggu, akhirnya hari yang ditunggu Aiden datang. Damian menjanjikan untuk bertemu dengan salah seorang yang mengurusi kantor manajemen artis, tapi yang datang malah Sisilia. “Hei, jangan begitu dong.” Damian yang sejak tadi hanya duduk dan tersenyum, akhirnya angkat bicara. “Ak
“Coba kau ulangi sekali lagi?” Aju melotot ketika mengatakan hal itu. “Aku tadi menemui papanya Sisilia dan bersedia untuk menerima anaknya,” jawab Aiden tanpa ada keraguan sedikit pun. “Jadi sekarang kau datang padaku untuk minta putus?” Mata yang tadi terlihat marah itu, kini berubah sendu dengan sangat cepat. “Tentu saja tidak. Kenapa juga kau tiba-tiba mengatakan putus?” Aiden malah bertanya balik dengan raut bingung. “Kita masih dan akan terus pacaran, sampai ... begitulah.” “Lalu apa maksudmu dengan menerima Sisilia?” Tentu saja Aju akan marah karena merasa sang kekasih terlalu plin-plan. Penjelasannya selalu berubah-ubah. “Aku memang menerima, tapi menerima sebagai teman saja. Toh, pertanyaannya apakah aku mau menerima Sisilia. Bukan apakah aku mau bertunangan dan menikah dengan Sisilia.” Jawaban sang kekasih, membuat Aju menggeram. Dia merasa lega, tapi juga kesal karena penjelasan Aiden yang setengah-s
“Rasanya aku mau mati saja,” gumam Aiden, dengan salah satu sisi wajah yang menempel di atas meja. “Kenapa lagi denganmu?” Ray bertanya dengan nada malas. “Bertengkar dengan yayang ya?” Kapala Aiden yang terkulai lesu, kini terangkat. Matanya menatap sang sahabat dengan sengit, tidak senang mendengar apa yang barusan Ray katakan. Kenyataan, tapi mengesalkan baginya. “Padahal waktu kemarin kau terlihat riang.” Jujur Ray agak terkejut. “Aku pikir kau mau kembali ke kos karena ingin mengurung diri berdua saja dengan Kak Aju. Melakukan hal yang sangat ingin dilakukan.” “Terdengar menyenangkan, tapi otakku bukan otak selangkangan.” Aiden mendelik kesal pada sahabatnya. Sudah lebih dari dua puluh empat jam setelah keputusan break yang sangat mendadak itu. Rasanya Aiden bahkan masih bisa mendengar gema suara Aju yang terdengar sedikit putus asa, tapi nyatanya sudah sehari berlalu dan kini dia hanya bisa meratapi nasib bersama Ray
“Aku yakin ini pasti kerjaan Aiden.” Kira tidak segan untuk menuduh. “Dia di rumah sendirian.” “Tapi masa Aiden yang pasang kamera CCTV juga?” Sayangnya, Aju tidak terlalu setuju. “Tidak mungkin juga Aiden menyerang dirinya sendiri.” “Kenapa tidak? Bisa saja Aiden itu psikopat atau masokis kan? Yah, untuk CCTV itu memang agak tidak masuk akal sih.” Aju mendesah pelan mendengar apa yang dikatakan sang manajer. Bukan tidak mungkin kalau Aiden punya kelainan mental, tapi rasanya tidak mungkin juga. Aiden terlihat amat sangat normal, setidaknya di mata Aju. “Motifnya juga jelas kan? Dia mau menghancurkan kontraknya.” Kira mengangguk yakin. “Entahlah.” Aju kembali mendesah. “Aku tidak berpikir itu Aiden, tapi kurasa kami memang harus bicara.” Kini giliran Kira yang mendesah. Dia merasa heran ketika Aju selalu berpihak pada Aiden, padahal biasanya mereka satu suara. Hanya soal Aiden Dirgantara Nugraha saja mereka ber