“Halo.”
Sudut bibir Aju berkedut mendengar sapaan itu. Dia bukan ingin tersenyum, tapi sedang berusaha untuk tidak marah dan berteriak. Padahal dia datang ke rumah besar ini untuk bertemu Aiden (tanpa Kira), sekalian untuk bekerja dengan Tiara. Siapa sangka dia disambut oleh orang lain. Sisilia. “Kau sepertinya sangat akrab dengan Ray ya?” tanya Aju berusaha untuk tersenyum, hanya demi kesopanan. “Kau sampai berkunjung kemari.” “Aku datang ke sini untuk bertemu Aiden,” jawab Sisilia dengan sombongnya, bahkan sambil mengibaskan rambut. “Biar bagaimana, dia tunanganku.” “Calon tunangan,” desis Aju dengan tidak rela. “Aiden sama sekali tidak mengakuimu.” “Memangnya kau punya niatan untuk menikah dengan Aiden?” Sisilia bertanya dengan senyum sinisnya. “Aku tidak yakin kau mau menunggu dia selesai kuliah, jadi kemungkinan aku yang menjadi istrinya masih jauh lebih besar.” Aju menggeram kesal mendengarnya. Bukan se“Ada apa ini?” Kira yang datang belakangan, mengerutkan kening melihat pemandangan yang dia lihat sekarang. “Kenapa kalian semua terlihat tegang?” “Aku sama sekali tidak tegang, tapi dia.” Ray yang menjawab, sembari menunjuk temannya menggunakan jempol. Kira menoleh dan menatap Aiden yang memang terlihat sangat tegang. Dia seolah sedang menunggu untuk dipanggil sidang proposal. Padahal hal itu masih sangat lama baru terjadi dan rasanya dulu Kira tidak setegang itu. “Jadi apa yang membuat temanmu tegang?” tanya Kira yang memilih duduk di antara dua lelaki yang tengah menunggu. “Kau tunggu dan lihat saja.” Sayangnya, Ray tidak mau menjawab. Lelaki muda itu malah tersenyum penuh arti. Untungnya, tidak lama dari itu Aju yang sedang berganti pakaian akhirnya keluar. Kali ini, dia bukan menggunakan pakaian kasual atau gaun malam, tapi gaun pengantin yang tadi mereka bicarakan. Gaun putih seperti yang ada di dalam kartun. Mengemb
“Hei, apa kau pernah memikirkan soal pernikahan?” Tiba-tiba saja, Aju menanyakan hal itu pada manajernya. “Kenapa kau menanyakan itu?” Kira jelas saja akan mengerutkan keningnya. “Apa gara-gara mencoba gaun pengantin, kau jadi ingin menikahi Aiden.” “APA-APAAN ITU?” Aju memekik karena dia ketahuan. “Aku tidak seperti itu.” “Ya. Ya.” Kira mengangguk sok mengerti. “Kau mungkin tidak, tapi Aiden sudah memikirkannya. Bahkan mungkin sudah memikirkan mau berapa anak.” “Dasar gila.” Walau memaki, tapi wajah Aju memerah karenanya. “Padahal dia baru umur dua puluh satu.” “Dan kau akan berumur dua sembilan dalam beberapa bulan lagi,” lanjut Kira, seolah itu bukan apa-apa. “Kalau kau ingin menikah, sebaiknya kau harus cepat-cepat menjadi terkenal.” “Industri hiburan kita memang tidak seketat di luar negeri, tapi akan lebih baik kalau kau sukses dulu sebelum menikah. Popularitasmu bisa turun setelah menikah, apalagi punya
“APA-APAAN INI?” Aiden tidak tahan untuk tidak berteriak pada Damian. “Kau kan sudah menjanjikan bertemu dengan pemilik kantor manajemen artis, tapi kenapa ada Sisilia?” “Loh? Kau tidak pernah lihat biodataku?” tanya perempuan yang sedang dibicarakan itu dengan penuh percaya diri. “Keluargaku kan punya perusahaan seperti itu.” “Tapi bukan kau kan yang menjalankan perusahaannya?” “Iya sih,” jawab Sisilia dengan pelan. “Tapi aku tahu sedikit kok.” “Tahu sedikit tidak akan membantu.” Aiden yang marah, akhirnya memukul meja. “Kalau seperti ini, aku tidak jadi meminta bantuanmu. Lebih baik aku pulang saja.” Padahal setelah menanti hampir dua minggu, akhirnya hari yang ditunggu Aiden datang. Damian menjanjikan untuk bertemu dengan salah seorang yang mengurusi kantor manajemen artis, tapi yang datang malah Sisilia. “Hei, jangan begitu dong.” Damian yang sejak tadi hanya duduk dan tersenyum, akhirnya angkat bicara. “Ak
“Coba kau ulangi sekali lagi?” Aju melotot ketika mengatakan hal itu. “Aku tadi menemui papanya Sisilia dan bersedia untuk menerima anaknya,” jawab Aiden tanpa ada keraguan sedikit pun. “Jadi sekarang kau datang padaku untuk minta putus?” Mata yang tadi terlihat marah itu, kini berubah sendu dengan sangat cepat. “Tentu saja tidak. Kenapa juga kau tiba-tiba mengatakan putus?” Aiden malah bertanya balik dengan raut bingung. “Kita masih dan akan terus pacaran, sampai ... begitulah.” “Lalu apa maksudmu dengan menerima Sisilia?” Tentu saja Aju akan marah karena merasa sang kekasih terlalu plin-plan. Penjelasannya selalu berubah-ubah. “Aku memang menerima, tapi menerima sebagai teman saja. Toh, pertanyaannya apakah aku mau menerima Sisilia. Bukan apakah aku mau bertunangan dan menikah dengan Sisilia.” Jawaban sang kekasih, membuat Aju menggeram. Dia merasa lega, tapi juga kesal karena penjelasan Aiden yang setengah-s
“Rasanya aku mau mati saja,” gumam Aiden, dengan salah satu sisi wajah yang menempel di atas meja. “Kenapa lagi denganmu?” Ray bertanya dengan nada malas. “Bertengkar dengan yayang ya?” Kapala Aiden yang terkulai lesu, kini terangkat. Matanya menatap sang sahabat dengan sengit, tidak senang mendengar apa yang barusan Ray katakan. Kenyataan, tapi mengesalkan baginya. “Padahal waktu kemarin kau terlihat riang.” Jujur Ray agak terkejut. “Aku pikir kau mau kembali ke kos karena ingin mengurung diri berdua saja dengan Kak Aju. Melakukan hal yang sangat ingin dilakukan.” “Terdengar menyenangkan, tapi otakku bukan otak selangkangan.” Aiden mendelik kesal pada sahabatnya. Sudah lebih dari dua puluh empat jam setelah keputusan break yang sangat mendadak itu. Rasanya Aiden bahkan masih bisa mendengar gema suara Aju yang terdengar sedikit putus asa, tapi nyatanya sudah sehari berlalu dan kini dia hanya bisa meratapi nasib bersama Ray
“Aku yakin ini pasti kerjaan Aiden.” Kira tidak segan untuk menuduh. “Dia di rumah sendirian.” “Tapi masa Aiden yang pasang kamera CCTV juga?” Sayangnya, Aju tidak terlalu setuju. “Tidak mungkin juga Aiden menyerang dirinya sendiri.” “Kenapa tidak? Bisa saja Aiden itu psikopat atau masokis kan? Yah, untuk CCTV itu memang agak tidak masuk akal sih.” Aju mendesah pelan mendengar apa yang dikatakan sang manajer. Bukan tidak mungkin kalau Aiden punya kelainan mental, tapi rasanya tidak mungkin juga. Aiden terlihat amat sangat normal, setidaknya di mata Aju. “Motifnya juga jelas kan? Dia mau menghancurkan kontraknya.” Kira mengangguk yakin. “Entahlah.” Aju kembali mendesah. “Aku tidak berpikir itu Aiden, tapi kurasa kami memang harus bicara.” Kini giliran Kira yang mendesah. Dia merasa heran ketika Aju selalu berpihak pada Aiden, padahal biasanya mereka satu suara. Hanya soal Aiden Dirgantara Nugraha saja mereka ber
“AJU. AKU SUDAH MENEMUKANNYA. AKU SUDAH TAHU SIAPA ANAK ITU.” Suara yang terdengar dari ponsel itu begitu nyaring, sampai Aju harus menjauhkan benda pipih yang dia sempat tempelkan ke telinga. Padahal dia masih ada di tempat pemotretan dan ini pembicaraan rahasia, tapi orang yang menelepon malah berteriak. “Mey.” Setelah sepupunya cukup tenang, barulah Aju mendesis kesal. “Tidak bisakah kau pelan-pelan saja? Aku masih di lokasi pemotretan. Banyak orang di sini.” “Oh, kau masih kerja?” Terdengar suara terkejut. “Aku pikir sudah selesai karena ini sudah jam sembilan malam.” “Pekerjaanku bisa selesai kapan saja. Kalau memang perlu, aku bahkan bisa selesai jam sebelas malam, bahkan lebih.” Aju mengatakan itu, sembari berjalan untuk mencari tempat berbicara yang lebih sepi. Di tengah jalan, dia kadang perlu tersenyum dan sedikit menunduk hormat untuk menyapa kru. Lalu Aju berakhir duduk di batu pembatas yang ada di taman. Walau
“Wah, ada apa ini?” Seorang lelaki paruh baya dengan tangan terborgol, menerbitkan senyum lebar. “Tumben sekali putri kesayanganku datang menjenguk. Kangen sama papa ya?” Baru mendengar suara serak itu saja, Aju sudah merasa gemetaran. Pegangannya pada obat berbentuk seperti tabung kecil di tangannya mengerat. Genggaman itu begitu erat, sampai Mey merasa kalau sepupunya akan menghancurkan apa pun yang dia pegang. “Tidak apa-apa, Aju.” Mey menggenggam tangan sepupunya dengan lembut dan berbisik pelan. “Aku ada di sini menemanimu dan ada penjaga yang bisa dimintai bantuan.” Mata Aju yang semula tidak fokus, kini sudah bisa melihat sekitarnya dengan lebih jelas. Telapak tangannya masih berkeringat, tapi setidaknya deru nafas sang selebriti sudah jadi lebih baik. Dengan susah payah, Aju berusaha melihat pria paruh baya di depannya. Lelaki yang sejak kecil dia panggil papa itu, hanya sekali saja menyapa. Selebihnya, lelaki dengan banyak ke