“Coba kau ulangi sekali lagi?” Aju melotot ketika mengatakan hal itu.
“Aku tadi menemui papanya Sisilia dan bersedia untuk menerima anaknya,” jawab Aiden tanpa ada keraguan sedikit pun. “Jadi sekarang kau datang padaku untuk minta putus?” Mata yang tadi terlihat marah itu, kini berubah sendu dengan sangat cepat. “Tentu saja tidak. Kenapa juga kau tiba-tiba mengatakan putus?” Aiden malah bertanya balik dengan raut bingung. “Kita masih dan akan terus pacaran, sampai ... begitulah.” “Lalu apa maksudmu dengan menerima Sisilia?” Tentu saja Aju akan marah karena merasa sang kekasih terlalu plin-plan. Penjelasannya selalu berubah-ubah. “Aku memang menerima, tapi menerima sebagai teman saja. Toh, pertanyaannya apakah aku mau menerima Sisilia. Bukan apakah aku mau bertunangan dan menikah dengan Sisilia.” Jawaban sang kekasih, membuat Aju menggeram. Dia merasa lega, tapi juga kesal karena penjelasan Aiden yang setengah-s“Rasanya aku mau mati saja,” gumam Aiden, dengan salah satu sisi wajah yang menempel di atas meja. “Kenapa lagi denganmu?” Ray bertanya dengan nada malas. “Bertengkar dengan yayang ya?” Kapala Aiden yang terkulai lesu, kini terangkat. Matanya menatap sang sahabat dengan sengit, tidak senang mendengar apa yang barusan Ray katakan. Kenyataan, tapi mengesalkan baginya. “Padahal waktu kemarin kau terlihat riang.” Jujur Ray agak terkejut. “Aku pikir kau mau kembali ke kos karena ingin mengurung diri berdua saja dengan Kak Aju. Melakukan hal yang sangat ingin dilakukan.” “Terdengar menyenangkan, tapi otakku bukan otak selangkangan.” Aiden mendelik kesal pada sahabatnya. Sudah lebih dari dua puluh empat jam setelah keputusan break yang sangat mendadak itu. Rasanya Aiden bahkan masih bisa mendengar gema suara Aju yang terdengar sedikit putus asa, tapi nyatanya sudah sehari berlalu dan kini dia hanya bisa meratapi nasib bersama Ray
“Aku yakin ini pasti kerjaan Aiden.” Kira tidak segan untuk menuduh. “Dia di rumah sendirian.” “Tapi masa Aiden yang pasang kamera CCTV juga?” Sayangnya, Aju tidak terlalu setuju. “Tidak mungkin juga Aiden menyerang dirinya sendiri.” “Kenapa tidak? Bisa saja Aiden itu psikopat atau masokis kan? Yah, untuk CCTV itu memang agak tidak masuk akal sih.” Aju mendesah pelan mendengar apa yang dikatakan sang manajer. Bukan tidak mungkin kalau Aiden punya kelainan mental, tapi rasanya tidak mungkin juga. Aiden terlihat amat sangat normal, setidaknya di mata Aju. “Motifnya juga jelas kan? Dia mau menghancurkan kontraknya.” Kira mengangguk yakin. “Entahlah.” Aju kembali mendesah. “Aku tidak berpikir itu Aiden, tapi kurasa kami memang harus bicara.” Kini giliran Kira yang mendesah. Dia merasa heran ketika Aju selalu berpihak pada Aiden, padahal biasanya mereka satu suara. Hanya soal Aiden Dirgantara Nugraha saja mereka ber
“AJU. AKU SUDAH MENEMUKANNYA. AKU SUDAH TAHU SIAPA ANAK ITU.” Suara yang terdengar dari ponsel itu begitu nyaring, sampai Aju harus menjauhkan benda pipih yang dia sempat tempelkan ke telinga. Padahal dia masih ada di tempat pemotretan dan ini pembicaraan rahasia, tapi orang yang menelepon malah berteriak. “Mey.” Setelah sepupunya cukup tenang, barulah Aju mendesis kesal. “Tidak bisakah kau pelan-pelan saja? Aku masih di lokasi pemotretan. Banyak orang di sini.” “Oh, kau masih kerja?” Terdengar suara terkejut. “Aku pikir sudah selesai karena ini sudah jam sembilan malam.” “Pekerjaanku bisa selesai kapan saja. Kalau memang perlu, aku bahkan bisa selesai jam sebelas malam, bahkan lebih.” Aju mengatakan itu, sembari berjalan untuk mencari tempat berbicara yang lebih sepi. Di tengah jalan, dia kadang perlu tersenyum dan sedikit menunduk hormat untuk menyapa kru. Lalu Aju berakhir duduk di batu pembatas yang ada di taman. Walau
“Wah, ada apa ini?” Seorang lelaki paruh baya dengan tangan terborgol, menerbitkan senyum lebar. “Tumben sekali putri kesayanganku datang menjenguk. Kangen sama papa ya?” Baru mendengar suara serak itu saja, Aju sudah merasa gemetaran. Pegangannya pada obat berbentuk seperti tabung kecil di tangannya mengerat. Genggaman itu begitu erat, sampai Mey merasa kalau sepupunya akan menghancurkan apa pun yang dia pegang. “Tidak apa-apa, Aju.” Mey menggenggam tangan sepupunya dengan lembut dan berbisik pelan. “Aku ada di sini menemanimu dan ada penjaga yang bisa dimintai bantuan.” Mata Aju yang semula tidak fokus, kini sudah bisa melihat sekitarnya dengan lebih jelas. Telapak tangannya masih berkeringat, tapi setidaknya deru nafas sang selebriti sudah jadi lebih baik. Dengan susah payah, Aju berusaha melihat pria paruh baya di depannya. Lelaki yang sejak kecil dia panggil papa itu, hanya sekali saja menyapa. Selebihnya, lelaki dengan banyak ke
“AJU!” Mey berteriak ketika mereka sudah tinggal berdua saja. Dia terlihat begitu panik karena tubuh sang sepupu tiba-tiba saja bergetar hebat. Bukan hanya tangan atau kaki, tapi sekujur tubuh Aju bergetar dan bahkan berkeringat dingin. “Hei, Aju.” Kali ini Mey berjongkok karena sepupunya itu menunduk. Kening Aju bahkan sudah menyentuh lutut. “Aju dengarkan aku.” Dengan paksaan, Mey membuat sang sepupu menatap dirinya. “Dengarkan aku!” Wajah panik tergambar jelas di wajah perempuan dengan wajah oriental itu. “Tarik nafas yang dalam dan hembuskan dengan pelan. Kalau sulit dengan hidung, lakukan dengan mulut!” Sayang sekali, perintah itu tidak bisa didengar dengan baik oleh Aju. Perempuan itu sudah terlalu kalut dengan pikirannya sendiri, sehingga apa pun yang ada di sekitarnya terasa kosong. Mau tidak mau, Mey merebut obat pelega pernafasan yang sepupunya pegang dan memaksakan corongnya di mulut Aju. “Breath, A
“Aiden. Apa kau bisa membantu Tante menelepon Aju?” Tiara menanyakan itu, ketika sahabat putranya kebetulan berkunjung ke rumah. “Memangnya kenapa, Tan? Ada yang penting?” Tentu saja Aiden merasa bingung dengan permintaan yang baginya terdengar aneh itu. “Soalnya dari tadi Tante telepon tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca, padahal ada yang mau dibicarakan. Dia juga sudah terlambat ke lokasi pemotretan.” Penjelasan dari Tiara, tentu saja membuat Aiden bingung. Tidak biasanya Aju menghilang tanpa kabar seperti itu. Sekali pun sang selebriti tidak punya waktu menghubungi, ada Kira yang akan melakukannya. Tapi kalau sang manajer juga tidak memberi kabar, kemungkinan terjadi sesuatu. “Tapi kalau aku menelepon, memangnya dia mau angkat?” gumam Aiden dalam hati, sambil menatap ponsel yang sudah dia genggam dan sudah menampakkan nomor telepon Aju. “Bagaimana? Apa dia angkat teleponnya?” Tiara yang tadi pergi sebentar, kini kemb
“Aku tidak yakin ini akan berhasil.” Kira menggeleng pelan. “Aku yakin ini akan berhasil.” Sayang sekali, Mey tidak mau kalah. “Mungkin lebih baik dicoba saja dulu.” Tiara menyela pertengkaran dua orang itu. “Tidak ada salahnya mencoba kan? Lagi pula, itu bukan sesuatu yang berbahaya.” Merasa mendapat dukungan, Mey tersenyum puas. Dia sudah sangat yakin dengan metode yang baru saja terpikirkan, ketika melihat langsung reaksinya, saat kedatangan Damian semalam. Kedatangan lelaki itu, ternyata ada gunanya juga. “Jadi, aku akan mencoba untuk menyebut nama Aiden.” Mey baru menjelaskan, tapi bisa dilihat kalau Aju memberikan reaksi. Sang pasien terlihat tersentak pelan. “Lihat, dia bereaksi kan?” Mey makin tersenyum penuh kemenangan. “Apaan sih,” gerutu sang manajer dengan raut wajah kesal. “Dia hanya bereaksi sedikit, bukan sadar dari lamunannya.” Mey berdecak pelan karena idenya tidak diterima, tapi di
“Berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Setelah nyaris seharian melihat sahabatnya, akhirnya Ray protes juga. “Tentu saja tidak bisa,” hardik Aiden dengan rasa kesal maksimal. “Kemarin aku terpaksa pulang karena kebetulan sudah punya janji, tapi hari ini aku harus tahu kabar Kak Aju,” lanjutnya dengan raut cemas. “Kau kan bisa menelepon atau mengirim pesan pada mamaku. Tidak harus menunggunya datang.” Ray tentu saja masih mengeluh. “Gunakan teknologi.” “Kau pikir aku bodoh?” tanya Aiden dengan mata melotot. “Aku sudah melakukannya dan tidak ada yang kudapatkan, selain kalimat baik-baik saja.” Ray perlu memundurkan kepalanya karena sang sahabat memperlihatkan ponsel dalam jarak yang terlalu dekat. Saking dekatnya, Ray sampai tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Pesan yang rupanya dari ibunya sendiri. [Tante Tiara: Aju baik-baik saja. Tidak perlu khawatir.] “Kau tinggal menanyakan dengan lebih jelas atau