“Aiden. Apa kau bisa membantu Tante menelepon Aju?” Tiara menanyakan itu, ketika sahabat putranya kebetulan berkunjung ke rumah.
“Memangnya kenapa, Tan? Ada yang penting?” Tentu saja Aiden merasa bingung dengan permintaan yang baginya terdengar aneh itu. “Soalnya dari tadi Tante telepon tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca, padahal ada yang mau dibicarakan. Dia juga sudah terlambat ke lokasi pemotretan.” Penjelasan dari Tiara, tentu saja membuat Aiden bingung. Tidak biasanya Aju menghilang tanpa kabar seperti itu. Sekali pun sang selebriti tidak punya waktu menghubungi, ada Kira yang akan melakukannya. Tapi kalau sang manajer juga tidak memberi kabar, kemungkinan terjadi sesuatu. “Tapi kalau aku menelepon, memangnya dia mau angkat?” gumam Aiden dalam hati, sambil menatap ponsel yang sudah dia genggam dan sudah menampakkan nomor telepon Aju. “Bagaimana? Apa dia angkat teleponnya?” Tiara yang tadi pergi sebentar, kini kemb“Aku tidak yakin ini akan berhasil.” Kira menggeleng pelan. “Aku yakin ini akan berhasil.” Sayang sekali, Mey tidak mau kalah. “Mungkin lebih baik dicoba saja dulu.” Tiara menyela pertengkaran dua orang itu. “Tidak ada salahnya mencoba kan? Lagi pula, itu bukan sesuatu yang berbahaya.” Merasa mendapat dukungan, Mey tersenyum puas. Dia sudah sangat yakin dengan metode yang baru saja terpikirkan, ketika melihat langsung reaksinya, saat kedatangan Damian semalam. Kedatangan lelaki itu, ternyata ada gunanya juga. “Jadi, aku akan mencoba untuk menyebut nama Aiden.” Mey baru menjelaskan, tapi bisa dilihat kalau Aju memberikan reaksi. Sang pasien terlihat tersentak pelan. “Lihat, dia bereaksi kan?” Mey makin tersenyum penuh kemenangan. “Apaan sih,” gerutu sang manajer dengan raut wajah kesal. “Dia hanya bereaksi sedikit, bukan sadar dari lamunannya.” Mey berdecak pelan karena idenya tidak diterima, tapi di
“Berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Setelah nyaris seharian melihat sahabatnya, akhirnya Ray protes juga. “Tentu saja tidak bisa,” hardik Aiden dengan rasa kesal maksimal. “Kemarin aku terpaksa pulang karena kebetulan sudah punya janji, tapi hari ini aku harus tahu kabar Kak Aju,” lanjutnya dengan raut cemas. “Kau kan bisa menelepon atau mengirim pesan pada mamaku. Tidak harus menunggunya datang.” Ray tentu saja masih mengeluh. “Gunakan teknologi.” “Kau pikir aku bodoh?” tanya Aiden dengan mata melotot. “Aku sudah melakukannya dan tidak ada yang kudapatkan, selain kalimat baik-baik saja.” Ray perlu memundurkan kepalanya karena sang sahabat memperlihatkan ponsel dalam jarak yang terlalu dekat. Saking dekatnya, Ray sampai tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Pesan yang rupanya dari ibunya sendiri. [Tante Tiara: Aju baik-baik saja. Tidak perlu khawatir.] “Kau tinggal menanyakan dengan lebih jelas atau
“BERITA MACAM APA INI?” Suara teriakan, terdengar beriringan dengan suara pukulan di meja. Itu membuat orang-orang yang ada di dalam ruang rapat terkejut dan menatap pria tua yang duduk di ujung meja. Terlihat jelas kalau saat ini, Rajendra Nugraha sedang tidak dalam mood yang baik. “Pak.” Asisten pria tua itu berbisik untuk menegur. “Kita sedang rapat.” Rahang lelaki tua itu mengeras. Dia jelas sekali sedang marah, tapi tidak menampik kalau asistennya itu benar. Mereka sedang rapat dan tidak baik menunjukkan amarah seperti ini. “Lanjutkan saja rapatnya.” Pada akhirnya, Rajendra mengatakan itu dengan suara yang bergetar marah. “Lalu kau,” lanjutnya dalam bisikan, untuk sang asisten. “Pastikan kebenaran berita ini.” Rajendra menyerahkan ponsel yang tadi dia pegang dengan kasar. “Dan panggil Aiden sekarang juga.” *** “INI GILA.” Kira tidak tahan untuk tidak berteriak. “BAGAIMANA BISA BEGINI?”
“Maaf Aiden, tapi tidak bisa.” Kira dengan berat hati. “Aju sedang istirahat dan dia juga tidak mau bertemu denganmu.” “Wah, Kak Kira jujur sekali ya.” Ray yang membalas. “Setidaknya, cobalah untuk sedikit memperhalus kalimatmu. Bagaimana kalau sahabatku jadi sakit hati?” “Ray.” Aiden langsung menyikut sang sahabat agar bisa berhenti bicara. Hari ini, Aiden memutuskan untuk pergi menjenguk Aju. Situasi memang sedang tidak kondusif saat ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam saja. Setidaknya dia ingin melihat wajah perempuan itu dan melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Aju baik-baik saja, walau sudah tahu kemungkinan ditolak. Ray pun ikut atas kemauan sendiri. Dia juga merasa mereka akan ditolak dan datang untuk membantu temannya (atau mungkin menghibur). “Kalau Aju khawatir tentang berita yang tersebar, katakan kalau tidak akan ada masalah.” Aiden mencoba untuk meyakinkan sang manajer. “Aku akan mengurus masalah ini.”
“Sungguh?” Sisilia tidak kuasa menahan pekikannya. “Aku benar-benar akan bertunangan dengan Aiden?” “Papa tidak tahu apa yang merasuki Aiden. Yang jelas, Papa harap kau tidak membuat keributan apa pun lagi. Mengerti?” Tentu saja Sisilia tidak mendengar apa yang papanya katakan karena dia sudah terlalu senang. Tapi rupanya, kesenangan itu tidak ingin dia simpan sendiri. Sisilia ingin membaginya dengan seseorang yang selama beberapa waktu ini membantunya. “Aku akan bertunangan dengan Aiden,” pekik Sisilia dengan ponsel menempel di telinga. “Selamat, tapi apakah kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” tanya Damian di seberang sambungan telepon. “Tentu saja tidak,” jawab Sisilia dengan santainya. “Aku sama sekali tidak ingin mengatakan hal lain, selain tentang pertunanganku.” “Wah, benar-benar tidak tahu diri ya.” Damian terkekeh pelan. “Padahal aku loh yang memberikan informasi soal surat kontrak itu pada wart
“Sudah dengar soal si Angelina Julie?” Seorang perawat berbicara. “Yang katanya pelihara lelaki muda itu?” tanya perawat yang lain. “Iya. Heran aja sih. Kenapa perempuan secantik itu sampai harus pelihara laki-laki, maksudku memangnya dia tidak laku sampai segitunya?” “Atau bisa saja dia perempuan yang gila melakukan itu kan? Walau mungkin punya pacar, tapi dia tidak cukup dengan satu lelaki.” Aju mendesah pelan mendengar bisikan yang tidak terdengar seperti bisikan itu. Suaranya cukup keras, sampai dirinya yang melintas saja bisa mendengar. Atau mungkin telinganya saja yang terlalu sensitif? Melihat Mey dan Kira tampak baik-baik saja, pasti begitu kan? “Kau kenapa?” Mey yang menanyakan itu karena sang manajer sudah menghilang. Kira berjalan lebih dulu untuk mengambil mobil. “Aku tidak tahu kau tuli atau apa, tapi di sekitar kita sangat berisik.” Suara Aju tidak terdengar jelas karena menggunakan masker, tapi
“Coba lihat dia. Kenapa dia masih ada di sini sih? Memangnya Nyonya Tiara tidak mengganti modelnya?” Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Aju, ketika akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Hari ini dia sudah mendapat jadwal untuk melanjutkan pemotretan dengan Fleur, tapi sepertinya tidak disambut dengan baik. “Aju, kau kenapa?” Tiara yang juga ikut datang hari ini, menyapa perempuan yang menjadi modelnya itu. “Apa masih kurang sehat?” “Tidak kok, Tante.” Tentu saja, Aju akan menggeleng. “Hanya agak canggung saja setelah lama tidur di rumah sakit.” “Coba lihat itu.” Suara bisik-bisik yang terlalu keras, kembali terdengar. “Dia sepertinya dekat dengan Nyonya Tiara. Jangan-jangan, anaknya Nyonya Tiara juga jadi korban.” “KALIAN INI.” Tiara yang mendengar percakapan pegawainya, langsung berteriak untuk menegur. “Apa kalian segitu senggangnya ya? Tidakkah kalian harus bekerja?” Walau tidak semua orang yang ada d
“Hai, Aiden.” Yang empunya nama langsung mengernyit mendengar suara manja yang bergema di rumahnya. Lebih tepatnya, rumah sang kakek. Jujur saja, itu membuat Aiden sangat kesal. “Kau mau ke mana pagi-pagi begini?” Sisilia bertanya dengan raut wajah ceria. “Kantor.” Aiden menjawab singkat, hanya demi kesopanan. “Ini kan masih libur. Kenapa malah ke kantor?” Jelas saja Sisilia merasa bingung. “Yang libur itu kampus. Bukan kantor.” Aiden menghindar dengan berjalan cepat ke teras. Dia sudah rapi untuk pergi bersama sang kakek ke kantor, untuk belajar beberapa hal. Setelahnya mungkin dia akan berguru pada ayahnya Sisilia. Lalu sekarang, sang kakek sudah menunggu di dalam mobil. “Kenapa kau?” tanya Raja pada cucunya, lewat jendela yang terbuka. “Bukannya kita akan ke kantor?” tanya Aiden dengan wajah bingung. “Apa kau buta?” tanya pria tua yang duduk di dalam mobil itu denga