“Berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Setelah nyaris seharian melihat sahabatnya, akhirnya Ray protes juga.
“Tentu saja tidak bisa,” hardik Aiden dengan rasa kesal maksimal. “Kemarin aku terpaksa pulang karena kebetulan sudah punya janji, tapi hari ini aku harus tahu kabar Kak Aju,” lanjutnya dengan raut cemas. “Kau kan bisa menelepon atau mengirim pesan pada mamaku. Tidak harus menunggunya datang.” Ray tentu saja masih mengeluh. “Gunakan teknologi.” “Kau pikir aku bodoh?” tanya Aiden dengan mata melotot. “Aku sudah melakukannya dan tidak ada yang kudapatkan, selain kalimat baik-baik saja.” Ray perlu memundurkan kepalanya karena sang sahabat memperlihatkan ponsel dalam jarak yang terlalu dekat. Saking dekatnya, Ray sampai tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Pesan yang rupanya dari ibunya sendiri. [Tante Tiara: Aju baik-baik saja. Tidak perlu khawatir.] “Kau tinggal menanyakan dengan lebih jelas atau“BERITA MACAM APA INI?” Suara teriakan, terdengar beriringan dengan suara pukulan di meja. Itu membuat orang-orang yang ada di dalam ruang rapat terkejut dan menatap pria tua yang duduk di ujung meja. Terlihat jelas kalau saat ini, Rajendra Nugraha sedang tidak dalam mood yang baik. “Pak.” Asisten pria tua itu berbisik untuk menegur. “Kita sedang rapat.” Rahang lelaki tua itu mengeras. Dia jelas sekali sedang marah, tapi tidak menampik kalau asistennya itu benar. Mereka sedang rapat dan tidak baik menunjukkan amarah seperti ini. “Lanjutkan saja rapatnya.” Pada akhirnya, Rajendra mengatakan itu dengan suara yang bergetar marah. “Lalu kau,” lanjutnya dalam bisikan, untuk sang asisten. “Pastikan kebenaran berita ini.” Rajendra menyerahkan ponsel yang tadi dia pegang dengan kasar. “Dan panggil Aiden sekarang juga.” *** “INI GILA.” Kira tidak tahan untuk tidak berteriak. “BAGAIMANA BISA BEGINI?”
“Maaf Aiden, tapi tidak bisa.” Kira dengan berat hati. “Aju sedang istirahat dan dia juga tidak mau bertemu denganmu.” “Wah, Kak Kira jujur sekali ya.” Ray yang membalas. “Setidaknya, cobalah untuk sedikit memperhalus kalimatmu. Bagaimana kalau sahabatku jadi sakit hati?” “Ray.” Aiden langsung menyikut sang sahabat agar bisa berhenti bicara. Hari ini, Aiden memutuskan untuk pergi menjenguk Aju. Situasi memang sedang tidak kondusif saat ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam saja. Setidaknya dia ingin melihat wajah perempuan itu dan melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Aju baik-baik saja, walau sudah tahu kemungkinan ditolak. Ray pun ikut atas kemauan sendiri. Dia juga merasa mereka akan ditolak dan datang untuk membantu temannya (atau mungkin menghibur). “Kalau Aju khawatir tentang berita yang tersebar, katakan kalau tidak akan ada masalah.” Aiden mencoba untuk meyakinkan sang manajer. “Aku akan mengurus masalah ini.”
“Sungguh?” Sisilia tidak kuasa menahan pekikannya. “Aku benar-benar akan bertunangan dengan Aiden?” “Papa tidak tahu apa yang merasuki Aiden. Yang jelas, Papa harap kau tidak membuat keributan apa pun lagi. Mengerti?” Tentu saja Sisilia tidak mendengar apa yang papanya katakan karena dia sudah terlalu senang. Tapi rupanya, kesenangan itu tidak ingin dia simpan sendiri. Sisilia ingin membaginya dengan seseorang yang selama beberapa waktu ini membantunya. “Aku akan bertunangan dengan Aiden,” pekik Sisilia dengan ponsel menempel di telinga. “Selamat, tapi apakah kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” tanya Damian di seberang sambungan telepon. “Tentu saja tidak,” jawab Sisilia dengan santainya. “Aku sama sekali tidak ingin mengatakan hal lain, selain tentang pertunanganku.” “Wah, benar-benar tidak tahu diri ya.” Damian terkekeh pelan. “Padahal aku loh yang memberikan informasi soal surat kontrak itu pada wart
“Sudah dengar soal si Angelina Julie?” Seorang perawat berbicara. “Yang katanya pelihara lelaki muda itu?” tanya perawat yang lain. “Iya. Heran aja sih. Kenapa perempuan secantik itu sampai harus pelihara laki-laki, maksudku memangnya dia tidak laku sampai segitunya?” “Atau bisa saja dia perempuan yang gila melakukan itu kan? Walau mungkin punya pacar, tapi dia tidak cukup dengan satu lelaki.” Aju mendesah pelan mendengar bisikan yang tidak terdengar seperti bisikan itu. Suaranya cukup keras, sampai dirinya yang melintas saja bisa mendengar. Atau mungkin telinganya saja yang terlalu sensitif? Melihat Mey dan Kira tampak baik-baik saja, pasti begitu kan? “Kau kenapa?” Mey yang menanyakan itu karena sang manajer sudah menghilang. Kira berjalan lebih dulu untuk mengambil mobil. “Aku tidak tahu kau tuli atau apa, tapi di sekitar kita sangat berisik.” Suara Aju tidak terdengar jelas karena menggunakan masker, tapi
“Coba lihat dia. Kenapa dia masih ada di sini sih? Memangnya Nyonya Tiara tidak mengganti modelnya?” Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Aju, ketika akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Hari ini dia sudah mendapat jadwal untuk melanjutkan pemotretan dengan Fleur, tapi sepertinya tidak disambut dengan baik. “Aju, kau kenapa?” Tiara yang juga ikut datang hari ini, menyapa perempuan yang menjadi modelnya itu. “Apa masih kurang sehat?” “Tidak kok, Tante.” Tentu saja, Aju akan menggeleng. “Hanya agak canggung saja setelah lama tidur di rumah sakit.” “Coba lihat itu.” Suara bisik-bisik yang terlalu keras, kembali terdengar. “Dia sepertinya dekat dengan Nyonya Tiara. Jangan-jangan, anaknya Nyonya Tiara juga jadi korban.” “KALIAN INI.” Tiara yang mendengar percakapan pegawainya, langsung berteriak untuk menegur. “Apa kalian segitu senggangnya ya? Tidakkah kalian harus bekerja?” Walau tidak semua orang yang ada d
“Hai, Aiden.” Yang empunya nama langsung mengernyit mendengar suara manja yang bergema di rumahnya. Lebih tepatnya, rumah sang kakek. Jujur saja, itu membuat Aiden sangat kesal. “Kau mau ke mana pagi-pagi begini?” Sisilia bertanya dengan raut wajah ceria. “Kantor.” Aiden menjawab singkat, hanya demi kesopanan. “Ini kan masih libur. Kenapa malah ke kantor?” Jelas saja Sisilia merasa bingung. “Yang libur itu kampus. Bukan kantor.” Aiden menghindar dengan berjalan cepat ke teras. Dia sudah rapi untuk pergi bersama sang kakek ke kantor, untuk belajar beberapa hal. Setelahnya mungkin dia akan berguru pada ayahnya Sisilia. Lalu sekarang, sang kakek sudah menunggu di dalam mobil. “Kenapa kau?” tanya Raja pada cucunya, lewat jendela yang terbuka. “Bukannya kita akan ke kantor?” tanya Aiden dengan wajah bingung. “Apa kau buta?” tanya pria tua yang duduk di dalam mobil itu denga
“APA-APAAN INI.” Sisilia melempar ponsel tiga boba terbarunya ke atas sebuah meja. “Kenapa lagi dengan ponselmu?” Damian mengambil benda pipih yang berlayar hitam itu, kemudian membolak-baliknya untuk melihat ada apa dengan benda itu. “Apa ini rusak? Mau kubelikan yang baru? Memangnya kau tidak sanggup beli yang baru?” Lelaki blasteran itu memberi pertanyaan secara berurutan dan membuat tamunya kesal. “Bukan itu, Sialan.” Sisilia tampak makin geram. “Coba lihat apa yang baru saja diposting oleh Aiden di media sosialnya.” “Tapi aku tidak berteman dengan dia, aku juga tidak punya media sosial dan ponselmu juga terkunci. Aku harus melihat di mana?” Mendengar perkataan lelaki blasteran di depannya, Sisilia makin menggeram kesal. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain merebut ponselnya, membukanya dan memperlihatkan apa yang ingin dia perlihatkan. Sebenarnya, apa yang diunggah Aiden bukanlah hal spesial. Hanya s
“Haus banget sih.” Aju terbangun dari tidurnya dengan leher kering. Perempuan itu tentu saja akan meraih botol minum yang biasanya ada di atas nakas, dekat dengan ranjang. Namun kali ini, dia tidak menemukannya sama sekali. “Oh, iya. Kan ini di apartemen.” Perempuan dengan piama itu mendesah pelan ketika menyadari apartemennya tidak selengkap di rumah. Karena Kira juga masih tidur, alhasil Aju memilih untuk turun dari ranjang saja. Toh dia sudah terlanjur bangun dan perlu ke toilet juga. Sekalian saja mengambil air untuk diminum di dapur. “Hm? Kok ada suara sih?” Ketika mengambil air minum dalam botol kemasan yang tadi sempat dia beli dan ditaruh di area dapur. Aju berpikir kalau yang tadi didengarnya hanyalah khayalan saja. Siapa sangka kalau suara itu makin terdengar saja. Walau terdengar sangat samar, tapi bisa dipastikan itu adalah suara langkah kaki yang seperti diseret. “Siapa di sana?” tanya Aju yang menatap ke area ruang tamu yang memang agak gelap karena hanya area