“AJU. AKU SUDAH MENEMUKANNYA. AKU SUDAH TAHU SIAPA ANAK ITU.”
Suara yang terdengar dari ponsel itu begitu nyaring, sampai Aju harus menjauhkan benda pipih yang dia sempat tempelkan ke telinga. Padahal dia masih ada di tempat pemotretan dan ini pembicaraan rahasia, tapi orang yang menelepon malah berteriak. “Mey.” Setelah sepupunya cukup tenang, barulah Aju mendesis kesal. “Tidak bisakah kau pelan-pelan saja? Aku masih di lokasi pemotretan. Banyak orang di sini.” “Oh, kau masih kerja?” Terdengar suara terkejut. “Aku pikir sudah selesai karena ini sudah jam sembilan malam.” “Pekerjaanku bisa selesai kapan saja. Kalau memang perlu, aku bahkan bisa selesai jam sebelas malam, bahkan lebih.” Aju mengatakan itu, sembari berjalan untuk mencari tempat berbicara yang lebih sepi. Di tengah jalan, dia kadang perlu tersenyum dan sedikit menunduk hormat untuk menyapa kru. Lalu Aju berakhir duduk di batu pembatas yang ada di taman. Walau“Wah, ada apa ini?” Seorang lelaki paruh baya dengan tangan terborgol, menerbitkan senyum lebar. “Tumben sekali putri kesayanganku datang menjenguk. Kangen sama papa ya?” Baru mendengar suara serak itu saja, Aju sudah merasa gemetaran. Pegangannya pada obat berbentuk seperti tabung kecil di tangannya mengerat. Genggaman itu begitu erat, sampai Mey merasa kalau sepupunya akan menghancurkan apa pun yang dia pegang. “Tidak apa-apa, Aju.” Mey menggenggam tangan sepupunya dengan lembut dan berbisik pelan. “Aku ada di sini menemanimu dan ada penjaga yang bisa dimintai bantuan.” Mata Aju yang semula tidak fokus, kini sudah bisa melihat sekitarnya dengan lebih jelas. Telapak tangannya masih berkeringat, tapi setidaknya deru nafas sang selebriti sudah jadi lebih baik. Dengan susah payah, Aju berusaha melihat pria paruh baya di depannya. Lelaki yang sejak kecil dia panggil papa itu, hanya sekali saja menyapa. Selebihnya, lelaki dengan banyak ke
“AJU!” Mey berteriak ketika mereka sudah tinggal berdua saja. Dia terlihat begitu panik karena tubuh sang sepupu tiba-tiba saja bergetar hebat. Bukan hanya tangan atau kaki, tapi sekujur tubuh Aju bergetar dan bahkan berkeringat dingin. “Hei, Aju.” Kali ini Mey berjongkok karena sepupunya itu menunduk. Kening Aju bahkan sudah menyentuh lutut. “Aju dengarkan aku.” Dengan paksaan, Mey membuat sang sepupu menatap dirinya. “Dengarkan aku!” Wajah panik tergambar jelas di wajah perempuan dengan wajah oriental itu. “Tarik nafas yang dalam dan hembuskan dengan pelan. Kalau sulit dengan hidung, lakukan dengan mulut!” Sayang sekali, perintah itu tidak bisa didengar dengan baik oleh Aju. Perempuan itu sudah terlalu kalut dengan pikirannya sendiri, sehingga apa pun yang ada di sekitarnya terasa kosong. Mau tidak mau, Mey merebut obat pelega pernafasan yang sepupunya pegang dan memaksakan corongnya di mulut Aju. “Breath, A
“Aiden. Apa kau bisa membantu Tante menelepon Aju?” Tiara menanyakan itu, ketika sahabat putranya kebetulan berkunjung ke rumah. “Memangnya kenapa, Tan? Ada yang penting?” Tentu saja Aiden merasa bingung dengan permintaan yang baginya terdengar aneh itu. “Soalnya dari tadi Tante telepon tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca, padahal ada yang mau dibicarakan. Dia juga sudah terlambat ke lokasi pemotretan.” Penjelasan dari Tiara, tentu saja membuat Aiden bingung. Tidak biasanya Aju menghilang tanpa kabar seperti itu. Sekali pun sang selebriti tidak punya waktu menghubungi, ada Kira yang akan melakukannya. Tapi kalau sang manajer juga tidak memberi kabar, kemungkinan terjadi sesuatu. “Tapi kalau aku menelepon, memangnya dia mau angkat?” gumam Aiden dalam hati, sambil menatap ponsel yang sudah dia genggam dan sudah menampakkan nomor telepon Aju. “Bagaimana? Apa dia angkat teleponnya?” Tiara yang tadi pergi sebentar, kini kemb
“Aku tidak yakin ini akan berhasil.” Kira menggeleng pelan. “Aku yakin ini akan berhasil.” Sayang sekali, Mey tidak mau kalah. “Mungkin lebih baik dicoba saja dulu.” Tiara menyela pertengkaran dua orang itu. “Tidak ada salahnya mencoba kan? Lagi pula, itu bukan sesuatu yang berbahaya.” Merasa mendapat dukungan, Mey tersenyum puas. Dia sudah sangat yakin dengan metode yang baru saja terpikirkan, ketika melihat langsung reaksinya, saat kedatangan Damian semalam. Kedatangan lelaki itu, ternyata ada gunanya juga. “Jadi, aku akan mencoba untuk menyebut nama Aiden.” Mey baru menjelaskan, tapi bisa dilihat kalau Aju memberikan reaksi. Sang pasien terlihat tersentak pelan. “Lihat, dia bereaksi kan?” Mey makin tersenyum penuh kemenangan. “Apaan sih,” gerutu sang manajer dengan raut wajah kesal. “Dia hanya bereaksi sedikit, bukan sadar dari lamunannya.” Mey berdecak pelan karena idenya tidak diterima, tapi di
“Berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Setelah nyaris seharian melihat sahabatnya, akhirnya Ray protes juga. “Tentu saja tidak bisa,” hardik Aiden dengan rasa kesal maksimal. “Kemarin aku terpaksa pulang karena kebetulan sudah punya janji, tapi hari ini aku harus tahu kabar Kak Aju,” lanjutnya dengan raut cemas. “Kau kan bisa menelepon atau mengirim pesan pada mamaku. Tidak harus menunggunya datang.” Ray tentu saja masih mengeluh. “Gunakan teknologi.” “Kau pikir aku bodoh?” tanya Aiden dengan mata melotot. “Aku sudah melakukannya dan tidak ada yang kudapatkan, selain kalimat baik-baik saja.” Ray perlu memundurkan kepalanya karena sang sahabat memperlihatkan ponsel dalam jarak yang terlalu dekat. Saking dekatnya, Ray sampai tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Pesan yang rupanya dari ibunya sendiri. [Tante Tiara: Aju baik-baik saja. Tidak perlu khawatir.] “Kau tinggal menanyakan dengan lebih jelas atau
“BERITA MACAM APA INI?” Suara teriakan, terdengar beriringan dengan suara pukulan di meja. Itu membuat orang-orang yang ada di dalam ruang rapat terkejut dan menatap pria tua yang duduk di ujung meja. Terlihat jelas kalau saat ini, Rajendra Nugraha sedang tidak dalam mood yang baik. “Pak.” Asisten pria tua itu berbisik untuk menegur. “Kita sedang rapat.” Rahang lelaki tua itu mengeras. Dia jelas sekali sedang marah, tapi tidak menampik kalau asistennya itu benar. Mereka sedang rapat dan tidak baik menunjukkan amarah seperti ini. “Lanjutkan saja rapatnya.” Pada akhirnya, Rajendra mengatakan itu dengan suara yang bergetar marah. “Lalu kau,” lanjutnya dalam bisikan, untuk sang asisten. “Pastikan kebenaran berita ini.” Rajendra menyerahkan ponsel yang tadi dia pegang dengan kasar. “Dan panggil Aiden sekarang juga.” *** “INI GILA.” Kira tidak tahan untuk tidak berteriak. “BAGAIMANA BISA BEGINI?”
“Maaf Aiden, tapi tidak bisa.” Kira dengan berat hati. “Aju sedang istirahat dan dia juga tidak mau bertemu denganmu.” “Wah, Kak Kira jujur sekali ya.” Ray yang membalas. “Setidaknya, cobalah untuk sedikit memperhalus kalimatmu. Bagaimana kalau sahabatku jadi sakit hati?” “Ray.” Aiden langsung menyikut sang sahabat agar bisa berhenti bicara. Hari ini, Aiden memutuskan untuk pergi menjenguk Aju. Situasi memang sedang tidak kondusif saat ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam saja. Setidaknya dia ingin melihat wajah perempuan itu dan melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Aju baik-baik saja, walau sudah tahu kemungkinan ditolak. Ray pun ikut atas kemauan sendiri. Dia juga merasa mereka akan ditolak dan datang untuk membantu temannya (atau mungkin menghibur). “Kalau Aju khawatir tentang berita yang tersebar, katakan kalau tidak akan ada masalah.” Aiden mencoba untuk meyakinkan sang manajer. “Aku akan mengurus masalah ini.”
“Sungguh?” Sisilia tidak kuasa menahan pekikannya. “Aku benar-benar akan bertunangan dengan Aiden?” “Papa tidak tahu apa yang merasuki Aiden. Yang jelas, Papa harap kau tidak membuat keributan apa pun lagi. Mengerti?” Tentu saja Sisilia tidak mendengar apa yang papanya katakan karena dia sudah terlalu senang. Tapi rupanya, kesenangan itu tidak ingin dia simpan sendiri. Sisilia ingin membaginya dengan seseorang yang selama beberapa waktu ini membantunya. “Aku akan bertunangan dengan Aiden,” pekik Sisilia dengan ponsel menempel di telinga. “Selamat, tapi apakah kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” tanya Damian di seberang sambungan telepon. “Tentu saja tidak,” jawab Sisilia dengan santainya. “Aku sama sekali tidak ingin mengatakan hal lain, selain tentang pertunanganku.” “Wah, benar-benar tidak tahu diri ya.” Damian terkekeh pelan. “Padahal aku loh yang memberikan informasi soal surat kontrak itu pada wart
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa