“Coba ulangi sekali lagi?”
“Mamanya Aiden kabur.” Kedua alis Rajendra terangkat, ketika mendengar apa yang dikatakan putra sulungnya. Padahal tadi dia pikir salah dengar, tapi rupanya tidak. Menantu kesayangan pilihannya benar-benar kabur, bahkan meninggalkan gugatan cerai. “Kau ini bagaimana sih?” Bukannya menghibur, Rajendra malah menghardik putranya. “Sudah susah payah dicarikan jodoh artis terkenal, tapi malah seperti ini jadinya.” “Itu kan pilihan Ayah, bukan pilihanku.” “DELON.” Rajendra berteriak dengan cukup keras. “Harusnya kau bersyukur masih ada yang peduli denganmu,” lanjut Rajendra masih terlihat sangat kesal. “Menurutmu, siapa yang mau peduli dengan kisah romantismu yang menyedihkan itu.” “Memang menyedihkan, tapi aku tidak menyesalinya.” Di luar dugaan, Delon Nugraha terlihat sedikit marah. “Walau dia dirampas dariku, setidaknya aku berhubungan dengan dia karena perasaan kami sama. Bu“Halo.” Sudut bibir Aju berkedut mendengar sapaan itu. Dia bukan ingin tersenyum, tapi sedang berusaha untuk tidak marah dan berteriak. Padahal dia datang ke rumah besar ini untuk bertemu Aiden (tanpa Kira), sekalian untuk bekerja dengan Tiara. Siapa sangka dia disambut oleh orang lain. Sisilia. “Kau sepertinya sangat akrab dengan Ray ya?” tanya Aju berusaha untuk tersenyum, hanya demi kesopanan. “Kau sampai berkunjung kemari.” “Aku datang ke sini untuk bertemu Aiden,” jawab Sisilia dengan sombongnya, bahkan sambil mengibaskan rambut. “Biar bagaimana, dia tunanganku.” “Calon tunangan,” desis Aju dengan tidak rela. “Aiden sama sekali tidak mengakuimu.” “Memangnya kau punya niatan untuk menikah dengan Aiden?” Sisilia bertanya dengan senyum sinisnya. “Aku tidak yakin kau mau menunggu dia selesai kuliah, jadi kemungkinan aku yang menjadi istrinya masih jauh lebih besar.” Aju menggeram kesal mendengarnya. Bukan se
“Ada apa ini?” Kira yang datang belakangan, mengerutkan kening melihat pemandangan yang dia lihat sekarang. “Kenapa kalian semua terlihat tegang?” “Aku sama sekali tidak tegang, tapi dia.” Ray yang menjawab, sembari menunjuk temannya menggunakan jempol. Kira menoleh dan menatap Aiden yang memang terlihat sangat tegang. Dia seolah sedang menunggu untuk dipanggil sidang proposal. Padahal hal itu masih sangat lama baru terjadi dan rasanya dulu Kira tidak setegang itu. “Jadi apa yang membuat temanmu tegang?” tanya Kira yang memilih duduk di antara dua lelaki yang tengah menunggu. “Kau tunggu dan lihat saja.” Sayangnya, Ray tidak mau menjawab. Lelaki muda itu malah tersenyum penuh arti. Untungnya, tidak lama dari itu Aju yang sedang berganti pakaian akhirnya keluar. Kali ini, dia bukan menggunakan pakaian kasual atau gaun malam, tapi gaun pengantin yang tadi mereka bicarakan. Gaun putih seperti yang ada di dalam kartun. Mengemb
“Hei, apa kau pernah memikirkan soal pernikahan?” Tiba-tiba saja, Aju menanyakan hal itu pada manajernya. “Kenapa kau menanyakan itu?” Kira jelas saja akan mengerutkan keningnya. “Apa gara-gara mencoba gaun pengantin, kau jadi ingin menikahi Aiden.” “APA-APAAN ITU?” Aju memekik karena dia ketahuan. “Aku tidak seperti itu.” “Ya. Ya.” Kira mengangguk sok mengerti. “Kau mungkin tidak, tapi Aiden sudah memikirkannya. Bahkan mungkin sudah memikirkan mau berapa anak.” “Dasar gila.” Walau memaki, tapi wajah Aju memerah karenanya. “Padahal dia baru umur dua puluh satu.” “Dan kau akan berumur dua sembilan dalam beberapa bulan lagi,” lanjut Kira, seolah itu bukan apa-apa. “Kalau kau ingin menikah, sebaiknya kau harus cepat-cepat menjadi terkenal.” “Industri hiburan kita memang tidak seketat di luar negeri, tapi akan lebih baik kalau kau sukses dulu sebelum menikah. Popularitasmu bisa turun setelah menikah, apalagi punya
“APA-APAAN INI?” Aiden tidak tahan untuk tidak berteriak pada Damian. “Kau kan sudah menjanjikan bertemu dengan pemilik kantor manajemen artis, tapi kenapa ada Sisilia?” “Loh? Kau tidak pernah lihat biodataku?” tanya perempuan yang sedang dibicarakan itu dengan penuh percaya diri. “Keluargaku kan punya perusahaan seperti itu.” “Tapi bukan kau kan yang menjalankan perusahaannya?” “Iya sih,” jawab Sisilia dengan pelan. “Tapi aku tahu sedikit kok.” “Tahu sedikit tidak akan membantu.” Aiden yang marah, akhirnya memukul meja. “Kalau seperti ini, aku tidak jadi meminta bantuanmu. Lebih baik aku pulang saja.” Padahal setelah menanti hampir dua minggu, akhirnya hari yang ditunggu Aiden datang. Damian menjanjikan untuk bertemu dengan salah seorang yang mengurusi kantor manajemen artis, tapi yang datang malah Sisilia. “Hei, jangan begitu dong.” Damian yang sejak tadi hanya duduk dan tersenyum, akhirnya angkat bicara. “Ak
“Coba kau ulangi sekali lagi?” Aju melotot ketika mengatakan hal itu. “Aku tadi menemui papanya Sisilia dan bersedia untuk menerima anaknya,” jawab Aiden tanpa ada keraguan sedikit pun. “Jadi sekarang kau datang padaku untuk minta putus?” Mata yang tadi terlihat marah itu, kini berubah sendu dengan sangat cepat. “Tentu saja tidak. Kenapa juga kau tiba-tiba mengatakan putus?” Aiden malah bertanya balik dengan raut bingung. “Kita masih dan akan terus pacaran, sampai ... begitulah.” “Lalu apa maksudmu dengan menerima Sisilia?” Tentu saja Aju akan marah karena merasa sang kekasih terlalu plin-plan. Penjelasannya selalu berubah-ubah. “Aku memang menerima, tapi menerima sebagai teman saja. Toh, pertanyaannya apakah aku mau menerima Sisilia. Bukan apakah aku mau bertunangan dan menikah dengan Sisilia.” Jawaban sang kekasih, membuat Aju menggeram. Dia merasa lega, tapi juga kesal karena penjelasan Aiden yang setengah-s
“Rasanya aku mau mati saja,” gumam Aiden, dengan salah satu sisi wajah yang menempel di atas meja. “Kenapa lagi denganmu?” Ray bertanya dengan nada malas. “Bertengkar dengan yayang ya?” Kapala Aiden yang terkulai lesu, kini terangkat. Matanya menatap sang sahabat dengan sengit, tidak senang mendengar apa yang barusan Ray katakan. Kenyataan, tapi mengesalkan baginya. “Padahal waktu kemarin kau terlihat riang.” Jujur Ray agak terkejut. “Aku pikir kau mau kembali ke kos karena ingin mengurung diri berdua saja dengan Kak Aju. Melakukan hal yang sangat ingin dilakukan.” “Terdengar menyenangkan, tapi otakku bukan otak selangkangan.” Aiden mendelik kesal pada sahabatnya. Sudah lebih dari dua puluh empat jam setelah keputusan break yang sangat mendadak itu. Rasanya Aiden bahkan masih bisa mendengar gema suara Aju yang terdengar sedikit putus asa, tapi nyatanya sudah sehari berlalu dan kini dia hanya bisa meratapi nasib bersama Ray
“Aku yakin ini pasti kerjaan Aiden.” Kira tidak segan untuk menuduh. “Dia di rumah sendirian.” “Tapi masa Aiden yang pasang kamera CCTV juga?” Sayangnya, Aju tidak terlalu setuju. “Tidak mungkin juga Aiden menyerang dirinya sendiri.” “Kenapa tidak? Bisa saja Aiden itu psikopat atau masokis kan? Yah, untuk CCTV itu memang agak tidak masuk akal sih.” Aju mendesah pelan mendengar apa yang dikatakan sang manajer. Bukan tidak mungkin kalau Aiden punya kelainan mental, tapi rasanya tidak mungkin juga. Aiden terlihat amat sangat normal, setidaknya di mata Aju. “Motifnya juga jelas kan? Dia mau menghancurkan kontraknya.” Kira mengangguk yakin. “Entahlah.” Aju kembali mendesah. “Aku tidak berpikir itu Aiden, tapi kurasa kami memang harus bicara.” Kini giliran Kira yang mendesah. Dia merasa heran ketika Aju selalu berpihak pada Aiden, padahal biasanya mereka satu suara. Hanya soal Aiden Dirgantara Nugraha saja mereka ber
“AJU. AKU SUDAH MENEMUKANNYA. AKU SUDAH TAHU SIAPA ANAK ITU.” Suara yang terdengar dari ponsel itu begitu nyaring, sampai Aju harus menjauhkan benda pipih yang dia sempat tempelkan ke telinga. Padahal dia masih ada di tempat pemotretan dan ini pembicaraan rahasia, tapi orang yang menelepon malah berteriak. “Mey.” Setelah sepupunya cukup tenang, barulah Aju mendesis kesal. “Tidak bisakah kau pelan-pelan saja? Aku masih di lokasi pemotretan. Banyak orang di sini.” “Oh, kau masih kerja?” Terdengar suara terkejut. “Aku pikir sudah selesai karena ini sudah jam sembilan malam.” “Pekerjaanku bisa selesai kapan saja. Kalau memang perlu, aku bahkan bisa selesai jam sebelas malam, bahkan lebih.” Aju mengatakan itu, sembari berjalan untuk mencari tempat berbicara yang lebih sepi. Di tengah jalan, dia kadang perlu tersenyum dan sedikit menunduk hormat untuk menyapa kru. Lalu Aju berakhir duduk di batu pembatas yang ada di taman. Walau
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa