“Eh? Kebakaran?” tanya Aju dengan kedua alis terangkat.
“Di mana kebakaran?” Aiden yang masih belum lelap langsung bertanya. “Rumahku,” jawab sang selebriti dengan raut wajah panik. “Katanya ada puntung rokok yang masih menyala tidak sengaja terkena bantalan sofa pintu belakang.” “Kalau begitu, kita pulang?” Kira bertanya dengan hati-hati. “Atau mau gimana?” “Kau tidak apa-apa kutinggal sebentar?” Alih-alih menjawab sang manajer, aju malah menoleh dan bertanya pada pasien yang ada di kamar. “Aku tidak apa-apa.” Tentu saja Aiden akan mengangguk dengan tegas. “Sebentar lagi Ray juga akan datang kok.” Walau sudah diberi jawaban seperti itu, Aju tetap merasa cemas. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dan berpikir, namun kedatangan Ray membuatnya bergegas. Walau sudah pernah berkenalan, sahabat Aiden itu belum pernah benar-benar melihat wajah Aju. Masker jadi“Bagaimana bisa?” Aju bertanya pada dua satpam rumahnya. Salah satunya Pak Udin. “Saya juga bingung, Neng.” Pak Udin yang menjawab. “Padahal tidak ada yang merokok di rumah dan lokasinya juga jauh dari dinding halaman belakang. Rasanya gak mungkin ada puntung rokok yang terbang.” “Kalau begitu kenapa bisa terbakar? Sebagian dapur juga ikut terbakar loh, Pak.” Kali ini Kira yang mengomel. Kira tahu dirinya tidak punya hak untuk berkomentar, tapi rumah sahabatnya hampir hangus terbakar. Ada banyak barang pribadinya di rumah besar ini dan juga beberapa barang Aju yang digunakan untuk bekerja. Setidaknya, Kira pantas marah untuk hal ini karena ada yang lalai. “Itu, Bu.” Satpam yang lebih muda berbicara. “Mungkin memang ada anak-anak yang sengaja lempar petasan ke dalam rumah dan kena sofa.” “Tapi itu jaraknya jauh loh, Pak Joko. Lagian, tembok belakang itu juga tinggi loh. Rasanya a
Demi apa pun, Aiden tidak pernah menyangka akan memakai ilmu karate yang dia pelajari saat remaja. Bahkan Ray pun sempat ikut belajar karena dirinya. Walau jelas dia akan sangat kesulitan karena sebelah kakinya cedera. Setidaknya, itu yang dipikirkan Aiden. “Ayo maju.” Belum juga apa-apa, Ray sudah menantang. Lelaki muda itu malah menggerakkan dua jarinya untuk meminta penjahatnya maju. “Tidak usah macam-macam.” Yang perempuan berdecih pelan untuk mengejek. “Sudah sakit, tidak usah sok jadi jagoan.” “Maaf, tapi bukan aku yang sok.” Jelas saja Aiden akan membantah karena memang itulah yang sebenarnya. “Dia yang sok jadi jagoan.” Sang pasien tidak segan menunjuk sahabatnya. “Sudahlah.” Penjahat yang lelaki akhirnya melepas maskernya juga. “Kita punya tugas yang harus cepat diselesaikan, jadi hajar saja mereka. Kau urus yang terluka itu.” Dengan mata berputar karena kesal, yang per
“Halo.” Damian muncul keesokan harinya dengan senyum lebar, bahkan ketika dia tidak disambut. “Wah, sepertinya aku datang saat yang tidak tepat ya,” lanjut lelaki blasteran itu dengan senyum yang belum luntur. “Kau sudah mau pulang?” “Kalau kau punya mata, pasti sudah tahu jawabannya,” jawab Aiden dengan raut wajah kesal yang tidak dia tutupi sama sekali. Ya. Harusnya dalam sekali lihat saja Damian sudah tahu kalau pasien yang menempati kamar mewah itu akan pulang. Ada tas besar di atas ranjang dan Aiden sudah tidak menggunakan baju pasien lagi. “Bagaimana hadiahku yang semalam?” Tanpa diduga, Damian langsung mengakui kejahatannya. “Luar biasa kan?” “Biasa aja tuh,” jawab Aiden dengan sombongnya. “Buktinya aku masih hidup kan?” Sudut bibir Damian berkedut. Bukan karena tawa, tapi karena sedang berusaha menahan umpatan yang sudah siap keluar dari bibirnya. Lelaki itu jelas terlihat tidak senang sama sekali.
“Tunggu dulu!” Aiden memekik, ketika taksinya berhenti di depan pagar tinggi. “Ini rumahmu?” “Rumah orang tuaku, lebih tepatnya.” Ray menjawab, setelah dia menyapa satpam. “Iya ... maksudku itu.” Aiden makin berkerut saja mendengarnya. “Aku tidak tahu kalau kau ternyata orang kaya.” “Maksudku .... Aku tahu kau kaya, tapi kupikir tidak sekaya ini.” Aiden menunjuk rumah besar yang kini terpampang nyata di depannya. Rumah Ray memang tidak sebesar rumah keluarga Aiden, tapi tetap saja. Hanya orang yang benar-benar kaya yang bisa punya rumah megah bergaya Eropa seperti ini. Aiden langsung tahu hanya dengan sekali lihat. “Rasanya biasa saja,” jawab Ray yang menggaruk kepalanya dengan bingung. “Lagi pula yang kaya itu kan orang tuaku.” “Wah, pemikiran yang luar biasa.” Mau tidak mau, Aiden merasa kagum pada sahabatnya itu. “Tidak usah memu
“Astaga!” Pekikan langsung terdengar ketika Tiara memasuki ruang VIP sebuah restoran. “Ini benar-benar Angelina Julie?” “Halo, Tante.” Begitu mendengar namanya dipanggil, Aju langsung berdiri dan mengulurkan tangan untuk menjabat. Tapi alih-alih menjabat tangan, Tiara malah menarik sang selebriti ke dalam pelukan. Itu membuat Aju sangat terkejut, sampai dia lupa untuk membalas pelukan hangat itu. Untung saja Tiara tidak terlihat marah. “Apa kau tidak sibuk?” Tiara bertanya setelah pelukannya terlepas. “Permintaan tiba-tibaku tidak membuatmu harus mengatur jadwal ulang kan?” “Tidak kok, Tante.” Aju melebarkan senyumnya demi kesopanan. “Tapi saya mengajak manajer saya. Tidak apa-apa kan?” Tiara menengok melewati bahu Aju dan melihat sang manajer menunduk hormat. Setelahnya, perempuan paruh baya itu tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa kok. Tante kan juga bawa dua pasukan.” Kini giliran Aju dan Kira yang menat
“Kau dapat pekerjaan gara-gara Aiden.” Tiba-tiba saja Kira mengatakan hal itu, saat mereka perjalanan pulang.“Ya.” Tentu saja Aju akan mengangguk. “Sudah kubilang kalau dia itu jimat keberuntunganku.”“Jimat keberuntungan yang selalu dapat sial.” Sang manajer meringis pelan. “Dia sudah beberapa kali dapat masalah sejak bersama denganmu.”“Apa jangan-jangan ... aku bawa sial untuk Aiden?” Tiba-tiba saja Aju jadi kepikiran.Pada dasarnya, sang selebriti cukup suka dengan sesuatu yang bernama ramalan. Perempuan cantik berambut panjang itu, jadi mudah mencocokkan segala kebetulan yang terjadi di sekitarnya. Kejadian dengan Aiden salah satunya.“Entah.” Kira hanya bisa mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu yang seperti itu, tapi yang jelas kasus kalian jadi makin
“Kok rasanya aku tidak senang dengan apa yang dikatakan Damian ya?” Setelah dua hari berlalu, Kira tiba-tiba saja mengatakan hal itu. “Yang mana?” Aju yang sedang berdandan, balas bertanya. “Yang kemarin itu loh. Yang soal menyingkirkan sepupumu atau apalah itu yang dia bilang kemarin.” Aju hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Sejujurnya, dia senang kalau Beni Utomo-sepupunya bisa dijauhkan dari dirinya. Tapi entah kenapa, apa yang dikatakan Damian kemarin membuatnya merinding. Lelaki itu terkesan akan melenyapkan dengan cara yang jahat. “Sekarang aku jadi berpikir kalau Damian itu jahat,” lanjut Kira karena tidak mendapat respon dari rekannya. “Kan dari awal aku sudah bilang dia jahat.” Tentu saja Aju akan mengeluh, seraya meneruskan menggambar alisnya. “Ya, tapi baru kemarin terasa. Entah cuma perasaanku saja atau apa.” “Tapi omong-omong, untuk apa sih orang tua Ray mengundang kita lagi?” Setela
“Eh? Ini serius?” tanya Aju dengan mata membulat. Bukan hanya dia, tapi Kira pun terkejut. “Amat sangat serius.” Galaksi mengangguk dengan yakin dan tegas. “Itu semua untukmu.” Aju dan Kira tercengang melihat apa yang tertera di tablet yang sedang mereka baca. Ada terlalu banyak rincian yang akan didapatkan oleh Aju. Saking banyaknya, dia tak bisa membaca sampai habis. “Tapi ini berlebihan,” gumam Aju masih tidak percaya. “Masa semua koleksi diberikan padaku? Lemariku saja belum tentu muat loh, Pak.” “Belum ditambah dengan fasilitas pengawal dan mobil antar jemput?” Kira melanjutkan, setelah menemukan kata itu di berkas. “Ya.” Galaksi kembali mengangguk. “Fasilitas itu diberikan untuk kalian berdua, ditambah dengan tempat tinggal. Itu pun kalau kalian mau menerima.” Jujur saja, Aju merasa sangat tergiur. Dia bekerja sama dengan brand yang luar biasa dan dengan fasilitas yang sama luar biasanya. Bohong kalau Aju tidak tergiur, tapi ini rasanya berlebihan. Dia jadi merasa tid