“Hai.” Damian tersenyum ketika melihat pintu di depannya terbuka. “Syukurlah aku tidak salah unit, ternyata ingatanku masih cukup bagus.”
“Apa aku pernah bilang tinggal di unit berapa?” Alih-alih menyapa, Aju justru bertanya. “Pernah.” Damian mengangguk dengan sangat yakin. “Waktu aku bilang kalau aku tinggal di lantai lebih atas, kau menyebut tinggal di unit ini.” “Oh, begitukah?” Walau masih merasa bingung, Aju hanya bisa mengangguk saja. Ingatan Aju memang kurang bagus. Itu yang membuatnya enggan untuk menjadi aktris karena dia akan susah menghafal dialog. Jadi ketika Damian berkata demikian, Aju sama sekali tidak peduli. Perempuan itu berpikir kalau dia memang mengatakannya, tapi sudah lupa. “Jadi ... bisakah aku masuk ke dalam?” tanya Damian dengan senyum cerah. “Belum terlalu malam untuk menerima tamu untuk sebentar saja kan?” Aju tidak langsung menjaw“Kenapa ujian kali ini susah sekali sih?” gerutu Aiden, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tumben sekali kau bilang susah. Masih mikirin acara keluarga pasti.” Ray yang terlihat lesu langsung mengejek. “Ya.” Lagi dan lagi, Aiden mendesah pelan. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan itu.” “Aku merasa heran.” Ray yang tadinya lesu setelah ujian, kini berkerut bingung. “Kenapa harus kau pikirkan sampai seperti itu? Aku kan jadi berpikir kalau keluargamu itu menyeramkan, kaku dan kolot.” “Itu memang kenyataannya,” gumam Aiden sangat lirih, sampai sahabatnya harus bertanya ulang. “Bukan apa-apa.” Sayangnya, Aiden tidak bersedia memberi tahu dan hanya menggeleng saja. “Lebih baik kau pulang dan istirahat saja. Aku juga mau pulang.” “Kau tidak mau kencan dengan Mommy-mu?” tanya Ray yang sengaja ingin menggoda karena agak kesal dengan Aiden yang terlalu
“Ssh. Udah, jangan nangis lagi.” Kira hanya bisa mengatakan itu, sembari memeluk Aju. Inginnya sih Aju berhenti menangis, tapi dia tidak bisa. Selain karena khawatir dengan kakinya yang sedikit memar karena rupanya terbentur mobil yang berjalan maju akibat ditabrak, dia juga mengkhawatirkan Aiden. Aju tidak sadar tentang kakinya karena lebih memperhatikan Aiden yang jelas saja lebih parah. “Aiden akan baik-baik saja.” Kira kembali mencoba menenangkan. “Aku tidak akan bisa tenang kalau belum melihat Aiden.” Alih-alih menjawab dengan tenang, Aju malah berteriak. “Aju, jangan berteriak di rumah sakit.” Kira dengan terpaksa mendesis. “Kau tidak ingin menarik perhatian orang lain kan?” Mendengar itu, Aju menunduk. Tadi sudah ada seorang perawat yang mengenalinya dan itu berarti, dia tidak bisa bertindak sembarangan. Image-nya sebagai selebriti harus lebih diperhatikan, agar tidak tersebar gosip aneh. Menyebalkan, tapi harus dilakukan. “Maaf.” Tiba-tiba saja, seorang perawat data
“Jadi ... ini siapa?” Damian kembali bertanya, setelah mereka semua duduk di dalam ruang tamu Aju. “Bukankah seharusnya saya yang bertanya?” Aiden tidak bisa menghentikan mulutnya untuk tidak bicara. “Lagi pula, sebelum bertanya, bukankah kamu harus memperkenalkan diri dulu?” “Aiden.” Kira yang paling pertama berdesis karena merasa lelaki itu agak kurang sopan. Sayang sekali, dua orang lelaki yang ada di ruangan itu tidak peduli. Aiden dan Damian saling menatap, seolah mereka sedang melakukan perlombaan. Untungnya, Damian cukup dewasa untuk mengalah duluan. “Namaku Damian,” gumam lelaki yang hanya berbeda beberapa tahun dari Aiden itu, dengan nada santau. “Aku pernah bekerja sama dengan Angelina dan kami masih berteman sampai sekarang.” Aiden menipiskan bibirnya. Dia jelas tidak suka dengan apa yang dikatakan Damian, terutama karena lelaki itu bicara santai dan menatap Aju dengan cukup intens. Tapi Aiden juga sadar diri. Dia tidak boleh protes dengan bahasa santai itu karen
“Dia belum bangun ya?” Itulah yang digumamkan Aju, ketika dia terbangun keesokan harinya dan menatap pintu kamar tamu. “Kalau belum emang kenapa?” tanya Kira yang baru keluar dari kamar, menyusul yang empunya rumah. “Mau dibangunin emang?” “Gak usah deh.” Adelia dengan cepat menggeleng. “Dia kan lagi sakit, biar istirahat saja. Lagian baru jam lima subuh.” Walau agak kesal dengan kelakuan lelaki muda itu kemarin sore, tapi tidak bisa ditampik kalau Aju khawatir. Dia masih merasa sangat bersalah dengan keadaan Aiden yang terluka. Cukup aneh karena ini pertama kalinya sang selebriti khawatir pada lawan jenis. Saat pacaran dulu, dia bahkan tidak begitu. “Astaga!” Keluhan Kira membuyarkan lamunan yang empunya rumah. “Dia itu cuma patah kaki saja, Ju. Bukan sakit parah yang perlu tidur seharian.” Aju sudah ingin membantah, tapi suara pintu yang terbuka menghentikannya. Bukan suara da
Mata Aiden menjelajah ke sekitar rumah alias unit apartemen yang dia tempati. Entah kenapa, dia sangat kepikiran dengan ancaman yang beberapa jam lalu dilontarkan Damian. Terutama kalimat yang menyatakan lelaki itu akan mengawasi. “Kenapa kedengarannya dia bakal beneran mengawasi ya?” gumam Aiden merasa ada sesuatu yang salah. Oke. Katakanlah Aiden memang terlalu kepikiran, tapi Damian juga terlihat aneh. Lelaki itu tampak menyeramkan walau dia tersenyum dengan ramah. Aiden yakin ada yang tidak beres dengan lelaki itu, tapi entah apa. “Sudahlah.” Lelaki muda pengangguran dan terluka itu pada akhirnya menggeleng. “Sepertinya aku yang terlalu banyak nonton drama Korea deh. Pikiranku jadi aneh.” “Mending cari teman ngobrol saja.” Baru saja Aiden memikirkan hal itu, ponselnya sudah berdenting. Nama Ray terpampang di sana, beserta sebagian besar isi pesannya. [R
“AKU LAPAR.” Suara anak kecil yang berteriak terdengar begitu nyaring, pun dengan isak tangis yang juga mengikuti. “Sebaiknya kau diam, Bocah.” Seorang lelaki penuh tato, menghardik anak kecil yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan itu. “Atau aku akan membunuhmu.” “Hei, jangan kasar padanya.” Seorang pria sangar lain menegur. “Dia itu sandera kita loh. Satu-satunya pangeran dari keluarga Nugraha. Kau harus hati-hati, agar mereka mau membayar uang tebusan.” Pria bertato yang pertama langsung meludah mendengar ucapan temannya. “Mana mungkin mereka mau menebus anak haram ini. Lagi pula, keluarga Nugraha yang lain masih ada. Mereka masih bisa menghasilkan keturunan lain.” “Ya, tapi jangan dibunuh juga dong. Kita kan bisa menjualnya saja. Baru lima tahun sih, tapi harganya pasti lumayan.” Pria kedua kembali berbicara. Ingin sekali Aiden kecil mengoreksi kalau umurnya sekarang sudah tujuh tahun, tapi dia terlalu takut. Apal
“Sori.” Tiba-tiba saja Aiden ingin meminta maaf. “Bisa ulang apa yang baru kau katakan?” “Kau itu kenapa sih? Padahal omonganku sudah sangat jelas, tapi kau malah meminta untuk mengulang sampai tiga kali?” “Maaf.” Aiden langsung meringis. “Aku berjanji ini yang terakhir, jadi bisa jelaskan ulang?” Walau menggerutu, Ray kembali menjelaskan. Sudah tidak ada kuliah dan sejenisnya, tapi mereka sedang mencoba untuk membuka usaha yang sudah lama mereka pikirkan. Itu yang didiskusikan sekarang. “Mungkin lebih baik coba bisnis makanan saja gak sih?” Ray kembali bicara. “Maksudku, prospek ke depannya lebih bagus yang penting rasanya enak dan marketingnya bagus.” “Iya sih ....” Entah kenapa, Aiden terlihat ragu. “Apa kau punya ide yang lain?” Ray langsung bertanya. “Bisa diusahakan, asal tidak butuh modal terlalu banyak.” “Ada sih, tapi butuh modal banyak.” Aiden jelas saja akan meringis. “Lagi pula, ini
“Kenapa kau melihatku terus?” tanya Aju nyaris saja tergagap. “Pengen saja,” jawab Aiden terlihat begitu santai. “Lanjut saja sarapannya.” Mendengar hal itu, Aju meringis pelan. Setelah kecanggungan semalam, mana mungkin dia bisa sarapan dengan tenang? Terutama ketika Aiden menatapnya dengan sangat intens. Padahal, rasanya kemarin baik-baik saja. Sebagai perempuan, tentu saja Aju bisa merasakan perubahan sikap Aiden beberapa waktu terakhir. Lelaki yang jauh lebih muda darinya itu, terlihat lebih sering memandang dirinya. Pun terlihat marah ketika ada lelaki lain, seperti ketika ada Damian. Aju tahu, tapi rasanya tetap canggung ketika Aiden mulai makin menunjukkan perasaannya. “Apa kau benar-benar hanya akan makan itu?” tanya Aiden dengan kening berkerut, ketika menatap mangkuk berisi sarapan yang empunya rumah. “Hari ini aku makan lebih banyak dari biasa.” Aju tak segan memberi tahu. “Aku butuh sedikit tenaga, makanya aku
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa