“Aku mau sun di bibir.” Bibir Aju sudah maju, bahkan tubuhnya sudah mendekat ke arah Aiden.
“Jangan gila.” Sayang sekali, lelaki yang duduk di belakang kemudi itu hanya memberikan telapak tangannya saja. “Teman-teman kampusku bisa melihat.” “Kaca mobilku hitam dan kau harus mematuhiku kan?” Aju mengatakan itu, dengan nada tanya dan senyum lebar di wajahnya. “Ya, tapi bukan berarti kita tidak akan terlihat. Setidaknya, tunggu sampai di tempat yang lebih sepi.” Mau tidak mau, Aiden mengatakan itu. Sesungguhnya, lelaki muda itu ingin sekali menolak. Biar bagaimana, ciuman itu seharusnya dilakukan dengan perempuan yang dia sukai. Aiden tidak suka melakukannya sembarangan, tapi di kontrak sudah jelas dia harus apa. Lagi pula, itu memalukan. “Mukamu merah loh.” Aju terkikik geli, melihat wajah yang serius menatap jalan itu berubah jadi tomat. “Padahal sudah pernah yang lebih dari itu, tapi masih malu-malu.” Aiden men“Kau serius?” tanya Aju dengan kedua mata membulat besar. “Amat sangat serius, Angelina Juliana Utomo.” Kira bahkan sampai memanggil nama lengkap Aju saking seriusnya dia. “Tapi rasanya ini agak ....” “Mustahil.” Kira memotong dengan cepat. “Aku juga pikir seperti itu, tapi inilah kenyataannya, Sayang. Kau akan jadi bagian dari Beauty Lab secara resmi. Kau akan jadi ambasador mereka untuk negara kita tercinta ini.” Perempuan cantik yang baru saja sampai di rumah itu langsung melompat kegirangan karenanya. Kira-si manajer, ikut serta beberapa detik kemudian. Mereka bahkan berteriak keras untuk merayakan hal menggembirakan ini. Aju mendapatkan pekerjaan yang melebihi dari yang diberikan Damian. “Tapi bagaimana bisa?” Aju yang pertama kali tersadar, bertanya pada sang manajer. “Padahal portofolioku belum banyak juga.” “Kau lupa?” tanya Kira dengan kedua alis yang dinaik turunkan. “Kemarin itu UniLove sudah merilis
“Apa kau mau ke pesta denganku?” Tiba-tiba saja Sisilia datang menghampiri lelaki yang dia sukai dan menanyakan hal itu. “Maaf, tapi tidak bisa.” Tentu saja Aiden akan menolak dengan cepat. “Ujian sudah dekat dan aku mau belajar.” “Pestanya nanti sesudah ujian kok.” Sisilia dengan cepat memberitahu. “Lagi pula, kau tidak harus mendapat IPK sempurna kan? Toh, beasiswamu sudah dicabut juga. Tidak masalah kalau ada satu atau dua nilai c.” Aiden langsung mendelik ketika mendengar pernyataan yang baginya terdengar sangat merendahkan itu. Bahkan Ray saja sampai terkejut dan geleng-geleng kepala karenanya, apalagi Aiden yang memang selalu nyaris bernilai sempurna. “Apa kau meremehkanku?” tanya Aiden dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak suka. “Justru aku tahu kau pintar, makanya nyaris tidak mungkin mendapat nilai jelek. Aku hanya memberi tahu, agar kau tidak perlu belajar terlalu keras. Tidak ada lagi beasiswa yang mengharuskanmu bernilai sempurna.” Sisilia membela diri dengan ke
“Haruskah aku melakukan ini?” Aju menanyakan itu dengan nada lelah. “Aku tahu ini benar-benar tidak menyenangkan, tapi ... ini kesempatan besar,” balas Kira dengan nada memelas. “Tentu saja aku tidak akan memaksa kalau kau benar-benar tidak mau. Semua keputusan, ada di tanganmu, Aju.” Kira masih melanjutkan disusul dengan desahan pelan. “Kalau kau memang tertekan, kita tidak perlu melanjutkan ini semua.” “Tapi gimana dong?” tanya Aju yang kini berwajah cemberut. “Aku kan sudah tanda tangan kontraknya. Kalau batal, kita bisa kena denda.” “Makanya aku tadi memintamu untuk berpikir lagi.” Kira lagi-lagi mendesah. “Tapi kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencubit lidah berbisa mereka semua. Coba kalau aku yang dengar langsung. Kau terlalu baik.” Aju meringis mendengar sang manajer. Mungkin yang dikatakan Kira memang benar. Harusnya, tadi Aju keluar dari bilik toilet dan menegur mereka semua, alih-alih mengadu pada sang manaj
“Aku rasa ... aku salah dengar.” Setelah melamun sekian lama, akhirnya Aiden menyimpulkan. “Ya. Pasti aku salah dengar karena pakai helm dan di jalan tadi sangat bising.” “Kau itu kenapa sih?” Ray bertanya dengan kening berkerut dan suara berbisik. “Rasanya sejak tadi kau itu melamun dan tiba-tiba saja bicara sendiri.” Aiden menatap sahabat yang dia kenal sejak awal kuliah itu, kemudian melirik ke sekitarnya. Mereka sekarang sedang berada di perpustakaan dan tidak akan aneh kalau berbicara dalam bisikan. Yang jadi masalah sekarang ini adalah dirinya. Sejak kemarin, Aiden terus melamun karena mendengar apa yang dikatakan Aju. Dia berpikir keras dan berusaha mencari tahu, apakah telinganya salah dengar atau tidak dan berkesimpulan kalau dia salah. Itu sudah terjadi selama beberapa hari. “Aku rasa, aku hanya tertekan karena ujian sudah di depan mata.” Aiden mendesah ketika menjawab sahabatnya itu.
“Hai.” Damian tersenyum ketika melihat pintu di depannya terbuka. “Syukurlah aku tidak salah unit, ternyata ingatanku masih cukup bagus.” “Apa aku pernah bilang tinggal di unit berapa?” Alih-alih menyapa, Aju justru bertanya. “Pernah.” Damian mengangguk dengan sangat yakin. “Waktu aku bilang kalau aku tinggal di lantai lebih atas, kau menyebut tinggal di unit ini.” “Oh, begitukah?” Walau masih merasa bingung, Aju hanya bisa mengangguk saja. Ingatan Aju memang kurang bagus. Itu yang membuatnya enggan untuk menjadi aktris karena dia akan susah menghafal dialog. Jadi ketika Damian berkata demikian, Aju sama sekali tidak peduli. Perempuan itu berpikir kalau dia memang mengatakannya, tapi sudah lupa. “Jadi ... bisakah aku masuk ke dalam?” tanya Damian dengan senyum cerah. “Belum terlalu malam untuk menerima tamu untuk sebentar saja kan?” Aju tidak langsung menjaw
“Kenapa ujian kali ini susah sekali sih?” gerutu Aiden, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tumben sekali kau bilang susah. Masih mikirin acara keluarga pasti.” Ray yang terlihat lesu langsung mengejek. “Ya.” Lagi dan lagi, Aiden mendesah pelan. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan itu.” “Aku merasa heran.” Ray yang tadinya lesu setelah ujian, kini berkerut bingung. “Kenapa harus kau pikirkan sampai seperti itu? Aku kan jadi berpikir kalau keluargamu itu menyeramkan, kaku dan kolot.” “Itu memang kenyataannya,” gumam Aiden sangat lirih, sampai sahabatnya harus bertanya ulang. “Bukan apa-apa.” Sayangnya, Aiden tidak bersedia memberi tahu dan hanya menggeleng saja. “Lebih baik kau pulang dan istirahat saja. Aku juga mau pulang.” “Kau tidak mau kencan dengan Mommy-mu?” tanya Ray yang sengaja ingin menggoda karena agak kesal dengan Aiden yang terlalu
“Ssh. Udah, jangan nangis lagi.” Kira hanya bisa mengatakan itu, sembari memeluk Aju. Inginnya sih Aju berhenti menangis, tapi dia tidak bisa. Selain karena khawatir dengan kakinya yang sedikit memar karena rupanya terbentur mobil yang berjalan maju akibat ditabrak, dia juga mengkhawatirkan Aiden. Aju tidak sadar tentang kakinya karena lebih memperhatikan Aiden yang jelas saja lebih parah. “Aiden akan baik-baik saja.” Kira kembali mencoba menenangkan. “Aku tidak akan bisa tenang kalau belum melihat Aiden.” Alih-alih menjawab dengan tenang, Aju malah berteriak. “Aju, jangan berteriak di rumah sakit.” Kira dengan terpaksa mendesis. “Kau tidak ingin menarik perhatian orang lain kan?” Mendengar itu, Aju menunduk. Tadi sudah ada seorang perawat yang mengenalinya dan itu berarti, dia tidak bisa bertindak sembarangan. Image-nya sebagai selebriti harus lebih diperhatikan, agar tidak tersebar gosip aneh. Menyebalkan, tapi harus dilakukan. “Maaf.” Tiba-tiba saja, seorang perawat data
“Jadi ... ini siapa?” Damian kembali bertanya, setelah mereka semua duduk di dalam ruang tamu Aju. “Bukankah seharusnya saya yang bertanya?” Aiden tidak bisa menghentikan mulutnya untuk tidak bicara. “Lagi pula, sebelum bertanya, bukankah kamu harus memperkenalkan diri dulu?” “Aiden.” Kira yang paling pertama berdesis karena merasa lelaki itu agak kurang sopan. Sayang sekali, dua orang lelaki yang ada di ruangan itu tidak peduli. Aiden dan Damian saling menatap, seolah mereka sedang melakukan perlombaan. Untungnya, Damian cukup dewasa untuk mengalah duluan. “Namaku Damian,” gumam lelaki yang hanya berbeda beberapa tahun dari Aiden itu, dengan nada santau. “Aku pernah bekerja sama dengan Angelina dan kami masih berteman sampai sekarang.” Aiden menipiskan bibirnya. Dia jelas tidak suka dengan apa yang dikatakan Damian, terutama karena lelaki itu bicara santai dan menatap Aju dengan cukup intens. Tapi Aiden juga sadar diri. Dia tidak boleh protes dengan bahasa santai itu karen