“Hai, sepupu.” Mau tidak mau, Aju menyapa orang yang baru saja mengejeknya itu. “Mulutmu masih saja seperti sampah ya.”
“Setidaknya aku bukan manusia sampah sepertimu,” desis perempuan yang jadi lawan bicara Aju. Aiden yang berada di antara dua perempuan itu tertegun. Padahal mereka baru saja tiba dan belum ada lima menit di dalam tempat acara, tapi sudah ada saja yang menyerang. Makin terkejut karena yang menyerang dengan ejakan itu adalah sepupu Aju dan tampak tidak bersahabat. “Berhentilah membuat kegaduhan.” Baru juga Aju ingin membalas, seseorang lain datang. “Kalian itu bukan anak TK yang harus berkelahi karena mainan.” “Bukan aku yang mulai, Ma. Aju yang duluan.” Perempuan muda tadi tidak segan menunjuk. “Bianca.” Perempuan yang lebih tua menegur. “Ini adalah pernikahan kakakmu, jadi bersikaplah dengan baik.” “Menyebalkan.” Hanya itu yang dikatakan Bianca, sebelum berbalik pergi. “Maafkan“Menjijikkan sejali.” Aiden berkomentar, ketika sudah duduk cantik di dalam mobil. “Masa di depan istrinya dia menggoda perempuan lain yang adalah sepupu.” “Ya.” Aju mengangguk dengan tatapan takjub, pada lelaki muda di sebelahnya. “Memang menjijikkan.” “Apa dia selalu seperti itu?” Aiden kembali bertanya, sembari menyalakan mesin mobil. “Maksudku, selalu mata keranjang dan menjijikkan.” “Aku tidak tahu kalau pada perempuan lain, tapi ... sepertinya sua selalu seperti itu padaku,” jawab Aju dengan kedikan bahu, tanda tidak begitu yakin. “Yang benar saja. Jangan bilang dia suka padamu atau mungkin terobsesi?” Aiden bergidik membayangkan hal itu. “Kalau pun iya, memang apa masalahnya?” Tentu saja Aju bingung dengan penolakan sugar baby-nya. “Dia itu sepupumu loh, Kak.” Aiden tanpa sadar menyebut kata kak. “Di negara kita memang diizinkan, tapi itu tidak baik untuk keturunan.” “Kenapa pemikiranmu jauh sekali?” tanya Aju, sambil menahan tawa. Dia merasa kalau lelaki muda di
“Wih.” Ray langsung berdecak kagum ketika melihat sahabatnya datang. “Motor baru dari Mommy nih.” “Tidak bisakah mulutmu dikunci?” tanya Aiden dalam desisan. “Suaramu keras sekali.” “Ops.” Ray menatap ke sekitarnya, sebelum berakhir mengucapkan maaf. Untung saja tidak ada orang yang terlalu dekat dengan mereka. “Kau bawa barang yang kuminta kan?” Aiden yang baru saja merapikan rambut, kini mengulurkan tangan pada sang sahabat. “Aku sudah mencarikan kemeja yang sekiranya cocok untukmu.” Ray merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan kemeja kusut. “Setidaknya itu bisa jadi outer karena kau sedikit lebih besar dariku.” Aiden berdecak pelan mendengar itu. Dia juga tahu fakta yang diungkapkan oleh sahabatnya, tapi tidak punya pilihan lain. Tempat kos yang Aiden tinggali, terlalu jauh dan dia bisa terlambat kalau pulang dulu. “Kenapa kau tidak meminta Si Dia untuk menjadikanmu model?” Ray tiba-tiba saja bertanya, sembari membantu sahabatnya memegang ransel pinjaman dari Aju. “Kau tah
“Bagaimana ini?” Aju mondar mandir di ruang tamu apartemennya, dengan kedua tangan di kepala. “Apanya yang bagaimana?” Kira terlihat bingung melihat sang selebriti yang terlihat bingung. “Soal yang diminta Damian itu loh.” Aju masih terlihat sangat panik. “Nanti bagaimana dengan Aiden? Dia kan jimat keberuntunganku.” “Berhentilah berpikir dia jimatmu.” Kira memutar bola mata dengan gemas. “Dia jelas saja hanya manusia biasa.” “Ya, tapi ....” “Begini saja.” Gemas sekali dengan Aju, sang manajer memotong kalimat perempuan itu. “Kita uji coba saja dulu. Untuk sementara, kau tidak perlu berdekatan dengan Aiden,” lanjut Kira dengan sesuatu yang sekiranya masuk akal bagi semua orang. “Mungkin selama sebulan atau sampai proyeknya selesai. Kita nanti bisa lihat apakah pekerjaanmu berkurang atau malah bertambah.” “Sebulan
“Kenapa sih dengan perempuan-perempuan sialan itu?” tanya Aiden menaikkan tudung pada jaket hoodie yang dia gunakan hari ini. “Itu tanda kalau kau makin terkenal, Bung.” Ray menepuk pundak sahabatnya, seraya menatap ke sekeliling. Banyak orang yang menatap mereka atau lebih tepatnya menatap Aiden. Sudah beberapa hari sejak kejadian bertengkar Sofia dan Sisilia, tapi keadaan tidak bertambah baik. Entah bagaimana, lebih banyak lagi perempuan yang berusaha mendekati Aiden dan membuat lelaki itu kesulitan. Bahkan mereka makin terang-terangan sekarang. “Padahal kau sedang absen menemui Mommy-mu, tapi gaya berpakaianmu makin keren saja. Ini jaket incaranku dan harganya mahal.” Kali ini Ray berbisik, sambil menarik jaket yang sahabatnya pakai. “Aku sempat dikirimkan beberapa barang, sebelumnya. Sepertinya, dia membeli lewat online dan mengirim langsung ke alamat kos yang memang sempat kuberikan padanya,” j
“Aku tidak mau pergi!” Aju merajuk selayaknya anak kecil. “Tapi, Aju. Ini jelas kesempatan yang sangat langka.” Kira menarik sang selebriti dari ranjang tempatnya berbaring. “Kau bisa mendapatkan pekerjaan lagi, setelah beberapa minggu.” “Ah, benar juga.” Tiba-tiba saja, Aju bangun sendiri dari posisi tidurnya. Itu membuat Kira yang menarik sekuat tenaga, kehilangan keseimbangan dan nyaris membawa Aju jatuh bersama dengannya. “Bisa jangan tiba-tiba bangun?” desis Kira agak kesal juga. “Ini sudah tiga minggu.” Aju tidak peduli dengan keluhan manajernya. “Kapan aku bisa bertemu dengan Aiden? Janjinya kan selama tiga minggu saja?” “Masalahnya, pemotretan kita belum selesai. Lusa masih ada pemotretan berkelompok. Setelah itu, mungkin baru kau bisa pergi bertemu dengannya, tapi ....” Kira sengaja menjeda untuk melirik sang selebriti. "Itu kalau kau tidak dapat pekerjaan dari Damian.” “Kenapa kau seperti itu sih?” Ke
“Aku tidak mau.” Aiden menolak dengan sangat tegas. “Tidak bisakah kau menolongku sekali saja?” tanya Sofia dengan mata berkaca-kaca. “Aku benar-benar butuh tumpangan.” “Aku bisa memberimu tumpangan.” Sisilia langsung menghadang. “Aku dijemput sopir dengan mobil dan jelas punya banyak tempat lowong.” “Maaf, tapi aku tidak mau kena macet.” Sofia dengan cepat menolak. “Aku punya janji penting dan pasti terlambat kalau naik mobil.” “Kau bisa naik ojol.” Sisilia masih tidak mau kalah. “Itu sama saja. Aku harus menunggu ojolnya datang dulu dan dia bisa saja jauh. Makanya berhentilah menghalangiku atau aku akan menuntutmu karena terlambat.” “BAIKLAH.” Tidak tahan dengan pertengkaran yang makin sering terjadi itu, akhirnya Aiden mengalah. “Hanya kali ini saja aku membantu dan ini juga yang terakhir kalinya kalian berdua duduk di dekatku. Tid
“KENAPA KAU BISA ADA DI SINI?” Aiden jelas saja akan berteriak dengan kehadiran Aju yang tiba-tiba itu. “Maaf.” Perempuan cantik yang sudah melepas penyamarannya itu menunduk. “Kau pikir ini rumahmu?” Aiden masih marah karena dia ditemukan dalam keadaan tak pantas. Bukan sesuatu yang diluar nalar. Lelaki muda itu hanya dipergoki sedang menonton film biru saja. Suara desahan yang didengar Aju pun berasal dari sana. Aiden hanya menonton saja, tapi tetap terasa memalukan. “Aku kan sudah minta maaf,” keluh Aju yang mulai kesal dimarahi terus. “Lagi pula, salahmu sendiri karena tidak menutup pintu dengan baik.” “Bukan aku yang tidak tutup pintu dengan baik.” Aiden mendesah kesal ketika mengingat siapa yang terakhir keluar dari kamar kos miliknya. “Sudahlah.” Pada akhirnya, Aiden malas bertengkar dan mengibaskan tangan. “Ada perlu apa tiba-tiba datang ke sin
“Jadi bagaimana malam panas kalian berdua?” “Tidak ada yang seperti itu,” geram Aiden, berusaha melepaskan rangkulan sang sahabat dari pundaknya. “Oh, ayolah.” Ray memutar bola matanya dengan gemas. “Waktu aku memergoki kalian semalam, jelas sekali kalau kalian dalam posisi ingin melakukan sesuatu.” “Apalagi kau juga habis nonton film kan?” lanjut Ray yang menaik turunkan alisnya untuk menggoda. Geraman Aiden makin terdengar jelas. Dia jadi menyesal membiarkan sang sahabat memiliki kunci cadangan kos. Harusnya, walau Ray memaksa pun, Aiden tidak memberikan. Sekarang, lebih tepatnya kemarin malam, Ray malah melihat yang tidak seharusnya. Ray yang sempat pamit untuk belanja camilan, malah masuk ke kamar di saat yang tidak tepat dan membuat semuanya kacau. Untung saja teriakan histeris lelaki itu tidak sampai membuat seisi kos mendatangi kamar Aiden. “Demi