“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya.
“Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden lagi-lagi meringis mendengar hal itu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena malu juga mengatakan yang sebenarnya. Aiden tidak mau ketahuan kalau dia sekarang punya sampingan jadi sugar baby seorang selebriti. “Sugar baby lelaki saja jarang. Mana mungkin aku mengatakannya pada orang,” gumam Aiden dalam hati, sembari menatap pesan yang ada di ponselnya. [AJUmma: Baby, makasih loh bantuannya kemarin. Mommy dah transfer lagi. Love you.] “Ini benar-benar gila,” ulang Aiden dalam bisikan pelan, sambil menyugar rambutnya. Tentu saja tidak terjadi apa-apa kemarin. Aiden hanya benar-benar pergi ke apartemen Aju untuk melihat lokasi dan mengambil PIN pintu. Setelah itu dia pulang, walau pikirannya malah berkelana ke mana-mana. “Aku bingung.” Ray menghampiri sahabatnya, ketika kelas sudah selesai. “Kenapa belakangan ini kau aneh sekali?” “Sudah kubilang. Aku hanya terlalu banyak pikiran.” Hanya jawaban itu yang bisa Aiden utarakan. “Aku tahu kau mungkin pusing karena beasiswa yang tiba-tiba dicabut, tapi tetap saja aneh.” Ray menggeleng tidak percaya. “Terlalu aneh, terutama kalau kau sampai berteriak.” “Aku hanya ....” Aiden sudah akan menceritakan semuanya, tapi pada akhirnya dia menutup mulut lagi. Sekali lagi, dia tidak ingin ada orang yang tahu soal keadaannya sekarang. “Pokoknya aku hanya sedang banyak pikiran.” Akhirnya hanya itu yang bisa keluar dari mulut seorang Aiden Dirgantara Nugraha.. “Kau itu mencurigakan sekali.” Ray tentu saja akan mencibir. Lelaki itu memutuskan untuk duduk di kursi depan Aiden. Dia duduk menghadap ke belakang, tentu saja dengan kaki mengangkang lebar. Mumpung kelas masih kosong dan belum akan diisi, setidaknya sampai lima belas menit ke depan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu diam, ketika hampir setiap hari kau terlihat seperti orang kesurupan?” tanya Ray dengan mata menyipit. “Aku tahu kau dalam masalah besar dan aku tidak akan menyerah, sebelum kau mengatakan sesuatu.” Aiden mendesah mendengar hal itu. Dia menatap sahabatnya dengan kening berkerut. Sedang menimbang apakah dia perlu mengatakan sesuatu atau tetap menjaga rahasianya. Tapi mengingat Ray yang memang pantang menyerah, Aiden sepertinya tidak punya pilihan lain. “Aku akan mengatakannya, tapi bersumpahlah kalau kau akan membawa hal ini sampai ke liang kuburmu,” desis Aiden dengan sangat pelan, walau tidak ada siapa pun di kelas yang kosong itu. “Aku bersumpah demi apa pun itu.” Ray menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf v. “Baiklah.” Aiden mengangguk dan menghela nafas untuk menguatkan dirinya. Biar bagaimana, ini bukan sesuatu yang baik. Dia pasti akan terdengar seperti gigolo. “Aku tidak bisa menjelaskan secara lengkap, tapi aku terjebak.” Aiden menjelaskan setengah-setengah karena bingung harus mengatakan dan memulai dari mana. “Terjebak bagaimana?” Tentu saja Ray akan makin penasaran mendengar itu. “Katakanlah ... aku ... tidak sengaja tidur dengan seseorang dan ....” “NO WAY.” Ray langsung memotong perkataan sahabatnya dengan suara keras dan mimik wajah yang terlihat sangat terkejut. “Aiden yang polos dan tidak pernah pacaran malah ....” “Tidak bisakah kau mengecilkan suaramu?” Kini giliran Aiden yang menyela kalimat sahabatnya. “Kita masih di kampus dan di sini angin pun bertelinga.” Mendengar itu, tentu saja Ray menutup mulutnya dengan kedua tangan. Gosip di kampus mereka memang sangat cepat tersebar, apalagi itu menyangkut aib seseorang dan di era digital seperti sekarang ini. “Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Ray yang akhirnya bisa berbicara sambil berbisik. “Intinya aku diserang seorang perempuan mabuk yang entah bagaimana, berhasil membuatku minum obat perangsang.” Kali ini Aiden menjawab dengan cukup detail, tentu saja tidak berniat menceritakan apa yang terjadi setelahnya. “Holly sh ....” Ray ingin mengumpat, tapi sahabatnya sudah melotot. “Tapi setidaknya aku bersyukur kau diserang perempuan dan bukan lelaki,” lanjut Ray mendesah lega. “Kau tahu sendiri bagaimana lelaki zaman sekarang. Kita bahkan tidak tahu mana yang lurus dan tidak.” Mendengar itu, Aiden refleks memegang bokongnya. Dia memang normal, tapi kalau dia diserang lelaki pastinya dia akan jadi pihak yang ‘dimasuki’ kan? Membayangkannya saja terasa menyakitkan dan sangat menjijikkan. “Intinya seperti itu.” Berusaha untuk membuang bayangan menyeramkan itu, Aiden memilih untuk kembali bercerita. “Aku dijebak dan keperjakaanku diambil begitu saja.” “Tapi itu jelas sesuatu yang menyenangkan. Kau tidak perlu merasa stres hanya karena hal seperti itu. Santai saja.” Ray yang tadi sempat tegang, kini jadi lebih rileks. Baginya, itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. “Menyenangkan kepalamu.” Aiden tak segan memukul kepala temannya dengan cukup keras. “Hei, kenapa memukul kepalaku.” Tentu saja Ray akan protes. “Lagi pula itu memang menyenangkan. Kalau kau merasa itu tidak menyenangkan, aku jelas akan mempertanyakan orientasi seksualmu.” “Ya, itu memang menyenangkan pada prosesnya.” Mau tidak mau, Aiden akhirnya mengakui juga. Tentu saja dengan suara berbisik “Tapi setelah itu sama sekali tidak. Bagaimana kalau dia hamil? Lagi pula, gara-gara itu juga aku terjebak dengan situasi tak menyenangkan lain.” “Oh, itu rupanya.” Kini Ray mengangguk mengerti. “Tapi apa situasi tak menyenangkan lain itu?” Aiden mendesah frustrasi mendengar pertanyaan sang sahabat. Ini adalah bagian yang paling tidak ingin dia ceritakan, tapi mau apa lagi? Dia sudah terlanjur berbicara dan merasa harus menyelesaikan ceritanya, tanpa perlu menjelaskan dengan terlalu detail. Tidak detail saja sudah membuat Ray terkejut setengah mati. Apalagi kalau misalnya Aiden menyebutkan siapa perempuan yang menjerangnya itu, pasti sang sahabat akan makin terkejut lagi. “Itu terdengar seperti sinetron.” Itu adalah komentar Ray yang membuat Aiden kembali mendesah. “Tidak maukah kau memperlihatkan bagaimana wajahnya?” Kini Ray malah jadi makin penasaran. “Tidak. Itu tidak bisa kulakukan karena pasti akan menjadi viral dengan cepat. Bisa dikatakan kalau dia ... public figure?” Aiden terdengar tidak yakin karena memang Aju tidak begitu terkenal. “Dan apakah kau memberi nama dia Ajumma di ponselmu?” Ray menanyakan itu, sambil menatap benda pipih yan sedang bergetar pelan di meja Aiden. Dengan gerakan cepat, Aiden menyambar benda pipih itu. Dia tidak ingin Ray melihat foto profil Aju yang mungkin menampakkan wajah perempuan itu. Syukurnya Aju hanya memasang foto yang berbentuk AI yang sama sekali tidak mirip, tapi menunjukkan ciri-ciri perempuan itu. “Wow. Ajakannya itu loh.” Ray tersenyum penuh arti ketika ikut melihat isi pesan yang diterima sahabatnya. [AJUmma: Apa sebentar malam kau bisa datang ke rumah? Aku butuh bantuan.]***To be ccontinued***“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan
“Tenanglah Aju. Kau harus tenang.” Sang selebriti, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini hanya pesta pernikahan biasa, bukan medan perang.” “Itu kau tahu.” Kira dengan cepat menimpali. “Jadi kenapa mukamu tegang begitu?” “Kau tahu kalau aku tidak begitu akur dengan keluarga besarku,” jawab Aju disertai dengan desahan nafas lelah. “Aku pasti hanya akan jadi badut di sana.” “Yang benar saja.” Kira langsung menghardik, mendengar apa yang dikatakan sang selebriti. “Kau cantik begini, mana mungkin jadi badut.” Kali ini, Aju memilih gaun berwarna biru langit dengan bahu yang terbuka. Lengan panjangnya yang transparan, memberikan sedikit kesan seksi. Ada belahan yang cukup panjang juga di bagian rok yang berbentuk A dan sudah sedikit dimodifikasi, agar terlihat agak mengembang. “Berhentilah mengeluh karena kau sudah luar biasa. Lebih baik kau telepon berondongmu itu.” Kira kembali membe
“Hai, sepupu.” Mau tidak mau, Aju menyapa orang yang baru saja mengejeknya itu. “Mulutmu masih saja seperti sampah ya.” “Setidaknya aku bukan manusia sampah sepertimu,” desis perempuan yang jadi lawan bicara Aju. Aiden yang berada di antara dua perempuan itu tertegun. Padahal mereka baru saja tiba dan belum ada lima menit di dalam tempat acara, tapi sudah ada saja yang menyerang. Makin terkejut karena yang menyerang dengan ejakan itu adalah sepupu Aju dan tampak tidak bersahabat. “Berhentilah membuat kegaduhan.” Baru juga Aju ingin membalas, seseorang lain datang. “Kalian itu bukan anak TK yang harus berkelahi karena mainan.” “Bukan aku yang mulai, Ma. Aju yang duluan.” Perempuan muda tadi tidak segan menunjuk. “Bianca.” Perempuan yang lebih tua menegur. “Ini adalah pernikahan kakakmu, jadi bersikaplah dengan baik.” “Menyebalkan.” Hanya itu yang dikatakan Bianca, sebelum berbalik pergi. “Maafkan
“Menjijikkan sejali.” Aiden berkomentar, ketika sudah duduk cantik di dalam mobil. “Masa di depan istrinya dia menggoda perempuan lain yang adalah sepupu.” “Ya.” Aju mengangguk dengan tatapan takjub, pada lelaki muda di sebelahnya. “Memang menjijikkan.” “Apa dia selalu seperti itu?” Aiden kembali bertanya, sembari menyalakan mesin mobil. “Maksudku, selalu mata keranjang dan menjijikkan.” “Aku tidak tahu kalau pada perempuan lain, tapi ... sepertinya sua selalu seperti itu padaku,” jawab Aju dengan kedikan bahu, tanda tidak begitu yakin. “Yang benar saja. Jangan bilang dia suka padamu atau mungkin terobsesi?” Aiden bergidik membayangkan hal itu. “Kalau pun iya, memang apa masalahnya?” Tentu saja Aju bingung dengan penolakan sugar baby-nya. “Dia itu sepupumu loh, Kak.” Aiden tanpa sadar menyebut kata kak. “Di negara kita memang diizinkan, tapi itu tidak baik untuk keturunan.” “Kenapa pemikiranmu jauh sekali?” tanya Aju, sambil menahan tawa. Dia merasa kalau lelaki muda di
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa