“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya.
“Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden lagi-lagi meringis mendengar hal itu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena malu juga mengatakan yang sebenarnya. Aiden tidak mau ketahuan kalau dia sekarang punya sampingan jadi sugar baby seorang selebriti. “Sugar baby lelaki saja jarang. Mana mungkin aku mengatakannya pada orang,” gumam Aiden dalam hati, sembari menatap pesan yang ada di ponselnya. [AJUmma: Baby, makasih loh bantuannya kemarin. Mommy dah transfer lagi. Love you.] “Ini benar-benar gila,” ulang Aiden dalam bisikan pelan, sambil menyugar rambutnya. Tentu saja tidak terjadi apa-apa kemarin. Aiden hanya benar-benar pergi ke apartemen Aju untuk melihat lokasi dan mengambil PIN pintu. Setelah itu dia pulang, walau pikirannya malah berkelana ke mana-mana. “Aku bingung.” Ray menghampiri sahabatnya, ketika kelas sudah selesai. “Kenapa belakangan ini kau aneh sekali?” “Sudah kubilang. Aku hanya terlalu banyak pikiran.” Hanya jawaban itu yang bisa Aiden utarakan. “Aku tahu kau mungkin pusing karena beasiswa yang tiba-tiba dicabut, tapi tetap saja aneh.” Ray menggeleng tidak percaya. “Terlalu aneh, terutama kalau kau sampai berteriak.” “Aku hanya ....” Aiden sudah akan menceritakan semuanya, tapi pada akhirnya dia menutup mulut lagi. Sekali lagi, dia tidak ingin ada orang yang tahu soal keadaannya sekarang. “Pokoknya aku hanya sedang banyak pikiran.” Akhirnya hanya itu yang bisa keluar dari mulut seorang Aiden Dirgantara Nugraha.. “Kau itu mencurigakan sekali.” Ray tentu saja akan mencibir. Lelaki itu memutuskan untuk duduk di kursi depan Aiden. Dia duduk menghadap ke belakang, tentu saja dengan kaki mengangkang lebar. Mumpung kelas masih kosong dan belum akan diisi, setidaknya sampai lima belas menit ke depan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu diam, ketika hampir setiap hari kau terlihat seperti orang kesurupan?” tanya Ray dengan mata menyipit. “Aku tahu kau dalam masalah besar dan aku tidak akan menyerah, sebelum kau mengatakan sesuatu.” Aiden mendesah mendengar hal itu. Dia menatap sahabatnya dengan kening berkerut. Sedang menimbang apakah dia perlu mengatakan sesuatu atau tetap menjaga rahasianya. Tapi mengingat Ray yang memang pantang menyerah, Aiden sepertinya tidak punya pilihan lain. “Aku akan mengatakannya, tapi bersumpahlah kalau kau akan membawa hal ini sampai ke liang kuburmu,” desis Aiden dengan sangat pelan, walau tidak ada siapa pun di kelas yang kosong itu. “Aku bersumpah demi apa pun itu.” Ray menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf v. “Baiklah.” Aiden mengangguk dan menghela nafas untuk menguatkan dirinya. Biar bagaimana, ini bukan sesuatu yang baik. Dia pasti akan terdengar seperti gigolo. “Aku tidak bisa menjelaskan secara lengkap, tapi aku terjebak.” Aiden menjelaskan setengah-setengah karena bingung harus mengatakan dan memulai dari mana. “Terjebak bagaimana?” Tentu saja Ray akan makin penasaran mendengar itu. “Katakanlah ... aku ... tidak sengaja tidur dengan seseorang dan ....” “NO WAY.” Ray langsung memotong perkataan sahabatnya dengan suara keras dan mimik wajah yang terlihat sangat terkejut. “Aiden yang polos dan tidak pernah pacaran malah ....” “Tidak bisakah kau mengecilkan suaramu?” Kini giliran Aiden yang menyela kalimat sahabatnya. “Kita masih di kampus dan di sini angin pun bertelinga.” Mendengar itu, tentu saja Ray menutup mulutnya dengan kedua tangan. Gosip di kampus mereka memang sangat cepat tersebar, apalagi itu menyangkut aib seseorang dan di era digital seperti sekarang ini. “Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Ray yang akhirnya bisa berbicara sambil berbisik. “Intinya aku diserang seorang perempuan mabuk yang entah bagaimana, berhasil membuatku minum obat perangsang.” Kali ini Aiden menjawab dengan cukup detail, tentu saja tidak berniat menceritakan apa yang terjadi setelahnya. “Holly sh ....” Ray ingin mengumpat, tapi sahabatnya sudah melotot. “Tapi setidaknya aku bersyukur kau diserang perempuan dan bukan lelaki,” lanjut Ray mendesah lega. “Kau tahu sendiri bagaimana lelaki zaman sekarang. Kita bahkan tidak tahu mana yang lurus dan tidak.” Mendengar itu, Aiden refleks memegang bokongnya. Dia memang normal, tapi kalau dia diserang lelaki pastinya dia akan jadi pihak yang ‘dimasuki’ kan? Membayangkannya saja terasa menyakitkan dan sangat menjijikkan. “Intinya seperti itu.” Berusaha untuk membuang bayangan menyeramkan itu, Aiden memilih untuk kembali bercerita. “Aku dijebak dan keperjakaanku diambil begitu saja.” “Tapi itu jelas sesuatu yang menyenangkan. Kau tidak perlu merasa stres hanya karena hal seperti itu. Santai saja.” Ray yang tadi sempat tegang, kini jadi lebih rileks. Baginya, itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. “Menyenangkan kepalamu.” Aiden tak segan memukul kepala temannya dengan cukup keras. “Hei, kenapa memukul kepalaku.” Tentu saja Ray akan protes. “Lagi pula itu memang menyenangkan. Kalau kau merasa itu tidak menyenangkan, aku jelas akan mempertanyakan orientasi seksualmu.” “Ya, itu memang menyenangkan pada prosesnya.” Mau tidak mau, Aiden akhirnya mengakui juga. Tentu saja dengan suara berbisik “Tapi setelah itu sama sekali tidak. Bagaimana kalau dia hamil? Lagi pula, gara-gara itu juga aku terjebak dengan situasi tak menyenangkan lain.” “Oh, itu rupanya.” Kini Ray mengangguk mengerti. “Tapi apa situasi tak menyenangkan lain itu?” Aiden mendesah frustrasi mendengar pertanyaan sang sahabat. Ini adalah bagian yang paling tidak ingin dia ceritakan, tapi mau apa lagi? Dia sudah terlanjur berbicara dan merasa harus menyelesaikan ceritanya, tanpa perlu menjelaskan dengan terlalu detail. Tidak detail saja sudah membuat Ray terkejut setengah mati. Apalagi kalau misalnya Aiden menyebutkan siapa perempuan yang menjerangnya itu, pasti sang sahabat akan makin terkejut lagi. “Itu terdengar seperti sinetron.” Itu adalah komentar Ray yang membuat Aiden kembali mendesah. “Tidak maukah kau memperlihatkan bagaimana wajahnya?” Kini Ray malah jadi makin penasaran. “Tidak. Itu tidak bisa kulakukan karena pasti akan menjadi viral dengan cepat. Bisa dikatakan kalau dia ... public figure?” Aiden terdengar tidak yakin karena memang Aju tidak begitu terkenal. “Dan apakah kau memberi nama dia Ajumma di ponselmu?” Ray menanyakan itu, sambil menatap benda pipih yan sedang bergetar pelan di meja Aiden. Dengan gerakan cepat, Aiden menyambar benda pipih itu. Dia tidak ingin Ray melihat foto profil Aju yang mungkin menampakkan wajah perempuan itu. Syukurnya Aju hanya memasang foto yang berbentuk AI yang sama sekali tidak mirip, tapi menunjukkan ciri-ciri perempuan itu. “Wow. Ajakannya itu loh.” Ray tersenyum penuh arti ketika ikut melihat isi pesan yang diterima sahabatnya. [AJUmma: Apa sebentar malam kau bisa datang ke rumah? Aku butuh bantuan.]***To be ccontinued***“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan
“Tenanglah Aju. Kau harus tenang.” Sang selebriti, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini hanya pesta pernikahan biasa, bukan medan perang.” “Itu kau tahu.” Kira dengan cepat menimpali. “Jadi kenapa mukamu tegang begitu?” “Kau tahu kalau aku tidak begitu akur dengan keluarga besarku,” jawab Aju disertai dengan desahan nafas lelah. “Aku pasti hanya akan jadi badut di sana.” “Yang benar saja.” Kira langsung menghardik, mendengar apa yang dikatakan sang selebriti. “Kau cantik begini, mana mungkin jadi badut.” Kali ini, Aju memilih gaun berwarna biru langit dengan bahu yang terbuka. Lengan panjangnya yang transparan, memberikan sedikit kesan seksi. Ada belahan yang cukup panjang juga di bagian rok yang berbentuk A dan sudah sedikit dimodifikasi, agar terlihat agak mengembang. “Berhentilah mengeluh karena kau sudah luar biasa. Lebih baik kau telepon berondongmu itu.” Kira kembali membe
“Hai, sepupu.” Mau tidak mau, Aju menyapa orang yang baru saja mengejeknya itu. “Mulutmu masih saja seperti sampah ya.” “Setidaknya aku bukan manusia sampah sepertimu,” desis perempuan yang jadi lawan bicara Aju. Aiden yang berada di antara dua perempuan itu tertegun. Padahal mereka baru saja tiba dan belum ada lima menit di dalam tempat acara, tapi sudah ada saja yang menyerang. Makin terkejut karena yang menyerang dengan ejakan itu adalah sepupu Aju dan tampak tidak bersahabat. “Berhentilah membuat kegaduhan.” Baru juga Aju ingin membalas, seseorang lain datang. “Kalian itu bukan anak TK yang harus berkelahi karena mainan.” “Bukan aku yang mulai, Ma. Aju yang duluan.” Perempuan muda tadi tidak segan menunjuk. “Bianca.” Perempuan yang lebih tua menegur. “Ini adalah pernikahan kakakmu, jadi bersikaplah dengan baik.” “Menyebalkan.” Hanya itu yang dikatakan Bianca, sebelum berbalik pergi. “Maafkan
“Menjijikkan sejali.” Aiden berkomentar, ketika sudah duduk cantik di dalam mobil. “Masa di depan istrinya dia menggoda perempuan lain yang adalah sepupu.” “Ya.” Aju mengangguk dengan tatapan takjub, pada lelaki muda di sebelahnya. “Memang menjijikkan.” “Apa dia selalu seperti itu?” Aiden kembali bertanya, sembari menyalakan mesin mobil. “Maksudku, selalu mata keranjang dan menjijikkan.” “Aku tidak tahu kalau pada perempuan lain, tapi ... sepertinya sua selalu seperti itu padaku,” jawab Aju dengan kedikan bahu, tanda tidak begitu yakin. “Yang benar saja. Jangan bilang dia suka padamu atau mungkin terobsesi?” Aiden bergidik membayangkan hal itu. “Kalau pun iya, memang apa masalahnya?” Tentu saja Aju bingung dengan penolakan sugar baby-nya. “Dia itu sepupumu loh, Kak.” Aiden tanpa sadar menyebut kata kak. “Di negara kita memang diizinkan, tapi itu tidak baik untuk keturunan.” “Kenapa pemikiranmu jauh sekali?” tanya Aju, sambil menahan tawa. Dia merasa kalau lelaki muda di