“Soal penawaran yang kemarin ....” Aiden memulai dengan ragu-ragu.
“Ya? Kenapa dengan penawaran yang kemarin?” Aju dengan cepat membalas kalimat ragu-ragu yang belum selesai itu. “Apa kamu mau menerimanya.” “Tidak.” Sayang sekali, lelaki muda itu menggeleng. “Hah? Lalu ngapain kamu datang cari saya?” Si selebriti langsung mendelik tajam dan juga menaikkan intonasi suara. “Aju.” Kira si manajer langsung menegur. “Kita memang di ruang tertutup, tapi bukan berarti kau bisa berteriak.” Mendengar itu, sang artis hanya bisa mendesis pelan. Dia benar-benar lupa kalau mereka meminjam salah satu ruang VIP kafe, tempat Aju menjalani pemotretan tadi. Kebetulan pihak kafe ingin menjadikan dia sebagai ambasador. “Pertama, perlu saya tegaskan kalau saya bukan mencari kamu.” Aiden mulai menjelaskan. “Saya kebetulan saja sedang belanja di mini market depan dan ketemu manajer kamu.” “Aku yang mengajaknya karena aku mulai percaya kalau dia membawa keberuntungan.” Kira menjawab dengan santainya. “Pas waktu aku lihat mukanya, ada job yang masuk.” “Nah, kan. Apa kubilang.” Aju menepuk tangannya dengan berlebihan. “Dia membawa keberuntungan untukku.” “Maaf menyela, tapi tolong jangan kaitkan saya dengan hal seperti itu. Saya manusia biasa, bukan jimat keberuntungan.” Aiden yang kurang percaya hal seperti itu, dengan cepat menegaskan. “Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi itu yang terjadi.” Kira menaikkan kedua bahunya dengan santai dan dengan bahasa yang lebih sopan, saat bicara dengan Aiden. “Aku tidak mau tahu.” Aju memukul meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kamu harus mau jadi sugar baby-ku. Ini demi kebaikan kita bersama. Lagi pula, memangnya kamu tidak butuh uang?” “Butuh sih, tapi ....” Kalimat Aiden tiba-tiba saja terhenti. Dia merasa kalau kalimat perempuan berambut panjang di depannya, sedikit mencurigakan. “Bagaimana kamu tahu kalau saya butuh uang?” tanya Aiden dengan sangat hati-hati. “Tentu saja semua orang tahu kalau anak beasiswa itu, biasanya selain karena memang pintar, ada juga yang berasal dari keluarga tidak mampu. Apalagi, kamu kerja di klub malam juga kan?” tanya Aju sama sekali melupakan etika. “Maaf kalau dia agak kasar.” Kira yang meminta maaf. “Tapi Aju itu sebenarnya anak yang baik kok. Kadang hanya mulutnya saja yang tidak bisa ditahan.” “Tidak masalah.” Tanpa bisa diduga, Aiden tampak tidak terlalu berpengaruh. Lelaki muda itu, menatap Aju dengan seksama. Dia masih sedang berspekulasi, tapi sepertinya perempuan yang lebih tua darinya itu bukan biang keladi masalahnya. Mungkin memang hanya kebetulan saja dia dikeluarkan dari program beasiswa. Aju yang merasa ditatap pun, tanpa segan balas menatap. Perempuan cantik itu, sedang berusaha merayu lelaki muda di depannya hanya dengan tatapan saja. Amat sangat berharap kalau Aiden mau menjadi jimat keberuntungannya. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Aiden sedikit kebingungan. “Supaya kamu tergoda dan mau menerima tawaranku,” jawab Aju dengan penuh percaya diri. “Maaf, tapi saya bukan orang yang mudah tergoda.” Lelaki muda itu kembali menggeleng. “Tidak mudah tergoda, tapi mudah tertidur di samping perempuan tidak dikenal?” Kali ini Kira yang mengatakan hal itu. Awalnya Aiden agak bingung dengan apa yang dikatakan sang manajer. Tapi hanya dalam hitungan detik, dia teringat dengan malam yang dihabiskannya bersama dengan Aju. Itu jelas akan membuat Aiden tersipu malu. “Ho? Wajahmu merah.” Aju tidak segan untuk berkomentar. “Apa kamu mengingat malam itu?” “Ti ... tidak.” Aiden dengan cepat menggeleng. “Saya sama sekali tidak mengingat apa pun.” “Kalau tidak mengingat apa pun, kenapa wajahmu makin merah saja?” Aju kembali bertanya, sambil menaik turunkan alisnya. Jelas dia sedang mengejek. “Tidak mungkin wajahmu memerah karena kepanasan kan? Ruangan ini dingin loh. Pakai AC.” Si artis kembali bertanya. “Kamu pasti memikirkan waktu itu kan? Bagaimana rasanya mengambil pera ....” “Cukup.” Kira sang manajer, menepuk ringan bibir rekannya yang terlalu banyak bicara itu. “Kau bisa membuatnya pingsan karena heatstroke.” Aju menggeram kesal, sambil memegang bibirnya. Tidak sakit, tapi tetap saja menyebalkan. Lalu setelah itu, barulah dia menatap lelaki muda di depannya yang benar-benar seperti terbakar. “Hei. Kamu baik-baik saja?” tanya Aju melambaikan tangan di depan wajah lelaki muda itu. “Itu karena kau terlalu kelewatan mengganggunya.” Kira mendesah pelan melihat lelaki yang membatu dengan wajah merah itu. “Hei. Biar bagaimana, dia itu lelaki. Masa hanya membahas sedikit hal seperti itu langsung memerah.” Aju malah membela diri. “Mereka kan sudah biasa menonton film biru dan justru akan senang melakukannya secara langsung.” “Kecuali kalau dia perawan sejak lahir, baik mata maupun yang di bawah,” lanjut perempuan cantik berambut panjang itu, tanpa memakai filter di mulutnya. “Me ... memangnya kenapa kalau seperti itu?” Tiba-tiba saja, Aiden bereaksi. “Aku memang tidak pernah menonton hal aneh dan kemarin itu yang pertama, tapi bukan berarti aku tidak suka perempuan. Aku normal.” Baik Aju maupun Kira, berkedip pelan mendengar pengakuan itu. Dia sama sekali tidak menyangka lelaki muda bernama Aiden itu malah memberikan pengakuan dengan bahasa yang tidak sekaku sebelumnya. Jujur, mereka terkejut, tapi juga ingin tertawa. “Kamu barusan mengatakan kalau kamu itu sebenarnya perjaka?” tanya Aju berusaha keras untuk menahan tawanya. “Lebih tepatnya, kamu menuduhku mengambil keperjakaanmu?” Aju kembali bertanya, masih sambil menahan tawa. “Bukannya terbalik ya?” “Itu ... itu ....” Aiden jadi terbata mendengar kalimat terakhir sang artis. Dia tiba-tiba jadi merasa bersalah mendengar kalimat terakhir Aju. “Kamu loh yang menyerang.” Aju terus mengganggu lelaki di depannya itu, sementara Kira masih sibuk terbungkuk menahan tawanya. “Tapi ... tapi itu karena kamu memberikan aku sesuatu yang aneh,” jawab Aiden masih terlihat sangat gugup. “Tapi sebelum itu kamu tidak menolak ciumanku.” Bukannya berhenti, Aju malah makin menjadi. “Itu karena kamu melengket dan tidak bisa lepas.” Bicara Aiden makin ngawur saja, saking gugup dan paniknya dia. “Tapi biar bagaimana pun, itu kali pertamaku.” Kali ini Aju mulai berakting menangis. Perempuan berambut panjang itu, menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia mengeluarkan suara tersedu sedan, walau sebenarnya sedang tertawa. “Bagaimana kalau setelah ini, tidak ada lagi lelaki yang mau menikah denganku?” Aju masih berakting, bahkan kini suaranya terdengar sedikit bergetar. “Biar bagaimana, lelaki selalu menilai perempuan berdasar selaput daranya.” “Tidak semua lelaki seperti itu.” Aiden dengan cepat menggeleng. “Aku tidak seperti itu.” “Kalau begitu, kamu harus bertanggung jawab.” Kini Aju menatap lelaki di depannya dengan mata berkaca. Mata berkaca karena menahan tawa, bukan karena benar-benar menangis. Tapi sepertinya, Aiden melihatnya sebagai tangisan sedih seorang perempuan yang telah ternoda. “Aku akan bertanggung jawab.” Mata berkaca itu, akhirnya membuat Aiden menyerah. “Kalau begitu, tolong tanda tangan di sebelah sini.” Kira dengan cepat mengeluarkan selembar kertas. “Ini adalah tanda kamu akan bertanggung jawab.” Dengan cepat dan panik, Aiden meraih pulpen yang disodorkan padanya. Lelaki muda itu, tidak sempat lagi membaca apa yang tertulis dan langsung saja membubuhkan tanda tangan begitu saja. Setelahnya, baru dia membaca sekilas apa yang menjadi judul dari dokumen yang dia tanda tangani. “Perjanjian kontrak sugar baby?”***To be continued***“INI MENYEBALKAN.” Beberapa pejalan kaki menoleh mendengar teriakan itu. Namun, itu tidak membuat Aiden melembutkan ekspresinya. Dia terlampau marah karena baru saja ditipu. “Dasar penipu.” Pada akhirnya, Aiden hanya bisa memaki dalam hati, sambil mengeluarkan kunci kamar kosnya. “Bagaimana mungkin aku bisa tertipu begitu saja?” tanya Aiden pada dirinya sendiri. Kini dia berjalan masuk ke rumah kos yang selama ini dia tempati. “Masa hanya gara-gara dipancing soal ....” Wajah Aiden kembali memerah ketika mengingat kejadian saat dia dijebak dulu. Kejadian yang membuat dia terjebak dalam situasi yang sekarang. “Berhenti membayangkan itu Aiden.” Lelaki muda itu, mengipas wajahnya dan menimbulkan pertanyaan dari rekan satu kos, tapi diabaikan. “Sekarang lebih baik kalau aku fokus pada kontrak baru sialan itu. Sudah terlanjur ditanda tangan dan dengan cepat mereka sembunyikan.” Aiden terus berbicara pada dirinya sendiri dalam hati, tidak peduli akan mengundang pertanyaan oran
“Tenang Aju. Ini hanya pertemuan biasa saja.” Selebriti kurang terkenal itu tidak hentinya bergumam, sambil mengetukkan sepatu hak yang dia pakai ke lantai. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Aju memberikan jadwal pada sang mantan. Hari ini, akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di kafe langganan mereka. “Aju.” Baru juga yang empunya nama menenangkan diri, kini tiba-tiba orang yang membuatnya panik muncul. Itu membuat Aju seketika menghentikan goyangan kakinya. “Hai, Henry.” Aju menyapa dengan senyum tipis, tanpa beranjak dari kursinya. “Hari ini kamu agak cepat dari biasanya.” “Aku ingat kalau kamu suka datang lebih cepat dari jam janjian.” Lelaki yang dipanggil Henry itu tersenyum dan menarik kursi di depan Aju. “Bagaimana kabarmu?” tanya Henry terlihat begitu senang. “Fine.” Aju menjawab dengan singkat, sambil menatap lelaki di depannya dengan tajam. “Apa kamu masih marah padaku?” Henry bertanya dengan tatapan sedih. “Apa aku harus minta maaf lagi?” “Menurutmu
“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya. [AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, k
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur