“Sepertinya, tidur denganmu membawa keberuntungan untukku. Pekerjaan yang hanya datang sekali seminggu, kini datang bertubi-tubi. Jadi kita lanjutkan saja hubungan ranjang itu, dengan menjalani sugar dating. Aku mendapat pekerjaan, kamu mendapat uang.”
Kalimat yang dilontarkan oleh Aju beberapa hari lalu pada Aiden, masih terngiang dengan jelas di telinga perempuan itu. Padahal, hal itu sudah lewat dan dia sedang sibuk. “Apa kau sudah gila?” Perempuan dengan rambut pendek meneriaki Aju. “Untuk apa pula kau tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu, pada lelaki itu?” “Habisnya, sejak kejadian itu aku tiba-tiba jadi banyak job.” Aju mengatakan itu dengan nada yang sedikit tertekan. “Baru dapat dua job saja kau sudah bilang itu banyak?” “Bagiku itu sudah banyak, Kira.” Aju jelas saja akan mengeluh. “Biasanya seminggu juga cuma ada satu, kadang malah tidak ada.” “Itulah kubilang.” Perempuan yang dipanggil Kira itu menghardik. “Harusnya kau ikut agensi saja, jangan mandiri begini. Kan susah.” “Tapi kan aku rajin ikut casting dan audisi. Cuma kebetulan belum dipanggil saja.” Aju mencoba untuk membela diri. “Lagi pula, aku punya manajer luar biasa seperti dirimu.” “Tapi bukan berarti kamu bisa mengajukan hal bodoh seperti itu pada orang yang baru kau kenal, hanya karena tiba-tiba dapat banyak job.” Kira menghempaskan diri ke atas sofa. “Aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini, Kira. Karena itu aku berani.” Sang selebriti masih tetap pada pendiriannya. “ Kira menghela nafas pelan. Artis yang dia pegang itu memang sedikit keras kepala. Kalau sudah terlanjur seperti ini, dia jadi tidak bisa berkutik. “Pastikan saja kau tidak ketahuan memelihara lelaki muda.” Pada akhirnya, hanya itu yang bisa dikatakan sang manajer. “Tapi kau belum diterima kan?” “Tenang saja. Aku tidak akan ditolak begitu saja,” jawab Aju begitu penuh percaya diri. *** “Ada apa denganmu?” Seorang teman, menyapa Aiden. “Sejak beberapa hari ini kau terlihat lesu.” “Sedang banyak pikiran saja, Ray.” Hanya itu yang Aiden beri tahukan. “Apa kau tidak ada alasan yang lain?” Lelaki yang dipanggil Ray itu berdecak pelan. “Hanya itu yang kau sebutkan dari tempo hari.” “Tapi memang hanya itu saja.” Aiden mengedikkan bahunya dengan santai. “Apa ada masalah dengan kuliah? Kudengar kemarin kau dipanggil dekan.” Ray kembali bertanya. Aiden tidak langsung menjawab. Dia tertunduk dan menghela nafas terlebih dulu, sebelum akhirnya mengatakan, “Beasiswaku akan dicabut.” “Hah? Kenapa bisa?” Sebagai seorang sahabat, Ray tentu saja akan kaget. Aiden tidak bisa menjawab dan hanya memberikan kedikan bahu saja. Dia sendiri tidak begitu tahu apa yang terjadi sampai bisa seperti itu. “Katanya sih karena nilaiku agak kurang memuaskan dan karena aku ketahuan kerja di klub malam,” jawab lelaki dengan rambut hitam dan mata cokelat terang itu. “Hah? Kau kerja di klub malam?” Ray menanyakan hal itu dengan raut wajah terkejut. “Hanya untuk menggantikan seseorang dan hanya untuk sehari, tapi aku ketahuan.” Aiden kembali mengedikkan kedua bahunya. “Lebih tepatnya hanya beberapa jam.” Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia merasa bingung kenapa hal seperti ini bisa dengan cepat ketahuan. Dunia memang hanya seluas daun kelor, tapi masa iya ada hanya dalam beberapa jam dan sudah ketahuan bahkan dilaporkan. Kalau iya, maka Aiden adalah orang yang sial. “Jadi bagaimana kuliahmu? Kau mau cuti atau malah berhenti?” Aiden menggeleng sebagai jawaban. Dia juga tidak begitu tahu harus melakukan apa untuk saat ini. “Sebenarnya aku punya tawaran pekerjaan, tapi aku ragu untuk mengambilnya.” Aiden tanpa sadar mengatakan hal itu. “Kalau pekerjaannya cukup bagus, ambil saja. Itu akan membantumu membayar uang kuliah nantinya. Asal pekerjaannya tidak terlalu menyita waktu saja.” Sebagai sahabat yang baik, tentu saja Ray akan memberikan saran. “Aku belum terlalu tahu pekerjaannya seperti apa.” Lagi dan lagi, Aiden hanya bisa mengedikkan bahunya. “Mungkin akan kupertimbangkan kalau sudah tahu.” “Ya.” Ray mengangguk pelan. “Cari tahu saja dulu, kalau bagus baru diambil. Sayang soalnya kalau otak encer sepertimu harus berhenti kuliah.” Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Aiden selain tersenyum miris. Dia juga membiarkan teman sekampusnya itu pamit pergi begitu saja. “Sudahlah.” Setelah cukup lama melamun di kantin, Aiden pun bangkit. “Lebih baik aku pergi belanja bulanan.” Lelaki muda bermata cokelat terang itu merogoh kantongnya untuk mengambil kunci motor matic miliknya. Tapi bukan kunci yang dia temukan, melainkan sebuah kartu nama dengan hiasan bunga sakura dan foto di bagian belakang kartunya. “Angelina Julie ya,” gumam Aiden menatap kartu nama itu dengan sangat ragu-ragu. “Apa dia yang melapor?” “Tidak.” Aiden yang bertanya dan dia sendiri yang menjawab. “Rasanya tidak mungkin dia yang melapor hanya karena aku menolak permintaan gilanya kemarin. Mungkin hanya kebetulan saja.” Aiden begitu meyakini hal itu dan pergi ke salah satu mini market untuk berbelanja kebutuhannya. Tidak banyak yang perlu dibeli karena lelaki itu hanya tinggal di kamar kos berukuran tidak terlalu besar. “Kau lihat yang di sebelah sana?” Baru juga Aiden memarkirkan kendaraannya, dia sudah mendengar pegawai mini market berbisik-bisik di depan toko. “Katanya di kafe sebelah ada pemotretan salah satu artis. Mau lihat gak? Siapa tahu bisa foto bareng.” “Serius? Pantesan dari tadi kulihat agak ramai dari biasanya. Artis siapa sih?” Pegawai yang lain bertanya dengan ekspresi antusias. Tentu saja Aiden tidak peduli dengan obrolan itu dan memilih masuk ke mini market itu. Toh, di dalam sana masih ada pegawai yang bisa melayani pembeliannya. Tapi siapa yang sangka kalau Aiden malah bertemu dengan orang yang tidak terduga. “Hei, kamu mahasiswa dari Universitas Internusa itu kan?” Seorang perempuan berambut pendek menunjuk Aiden dengan ekspresi ragu-ragu. “Saya memang kuliah di sana, tapi mungkin kamu salah orang.” Aiden dengan cepat mengelak karena dia memang tidak mengenal perempuan di depannya itu. “Tidak.” Perempuan berambut pendek itu malah menarik lengan Aiden. “Saya yakin tidak salah orang. Kamu yang namanya Aiden kan?” “Maaf, tapi kamu siapa ya? Apa kita pernah bertemu?” Aiden balas bertanya. “Tentu saja.” Perempuan berambut pendek itu merogoh tas selempang besar yang dia bawa. “Kamu mungkin tidak melihatku, tapi aku pernah melihatmu.” Perempuan itu menyerahkan sebuah kartu nama. “Namaku Kirana. Saya manajernya Angelina Julie alias Aju. Saya tidak perlu menjelaskan siapa itu Aju kan?” Perempuan bernama Kirana itu, dengan cepat mengoreksi bahasa santainya menjadi lebih sopan. “Tentu ... saja.” Aiden dengan terpaksa menerima kartu nama lain dengan desain yang lebih simpel itu. “Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” lanjut Karina tersenyum tipis. “Kalau boleh, saya mau berbicara soal tawaran yang diberikan Aju beberapa waktu lalu. Kudengar Aju masih memberikanmu waktu untuk berpikir, walau kamu sudah pernah menolak. Apa sekarang kamu sudah punya jawaban pasti?” Aiden agak terkejut pada awalnya, tapi pada akhirnya dia mengangguk pelan. Kalau sudah seperti ini, tentu dia harus menjawab lagi kan?***To be continued***“Soal penawaran yang kemarin ....” Aiden memulai dengan ragu-ragu. “Ya? Kenapa dengan penawaran yang kemarin?” Aju dengan cepat membalas kalimat ragu-ragu yang belum selesai itu. “Apa kamu mau menerimanya.” “Tidak.” Sayang sekali, lelaki muda itu menggeleng. “Hah? Lalu ngapain kamu datang cari saya?” Si selebriti langsung mendelik tajam dan juga menaikkan intonasi suara. “Aju.” Kira si manajer langsung menegur. “Kita memang di ruang tertutup, tapi bukan berarti kau bisa berteriak.” Mendengar itu, sang artis hanya bisa mendesis pelan. Dia benar-benar lupa kalau mereka meminjam salah satu ruang VIP kafe, tempat Aju menjalani pemotretan tadi. Kebetulan pihak kafe ingin menjadikan dia sebagai ambasador. “Pertama, perlu saya tegaskan kalau saya bukan mencari kamu.” Aiden mulai menjelaskan. “Saya kebetulan saja sedang belanja di mini market depan dan ketemu manajer kamu.” “Aku yang mengajaknya karena aku mulai percaya kalau dia membawa keberuntungan.” Kira menjawab dengan santainya
“INI MENYEBALKAN.” Beberapa pejalan kaki menoleh mendengar teriakan itu. Namun, itu tidak membuat Aiden melembutkan ekspresinya. Dia terlampau marah karena baru saja ditipu. “Dasar penipu.” Pada akhirnya, Aiden hanya bisa memaki dalam hati, sambil mengeluarkan kunci kamar kosnya. “Bagaimana mungkin aku bisa tertipu begitu saja?” tanya Aiden pada dirinya sendiri. Kini dia berjalan masuk ke rumah kos yang selama ini dia tempati. “Masa hanya gara-gara dipancing soal ....” Wajah Aiden kembali memerah ketika mengingat kejadian saat dia dijebak dulu. Kejadian yang membuat dia terjebak dalam situasi yang sekarang. “Berhenti membayangkan itu Aiden.” Lelaki muda itu, mengipas wajahnya dan menimbulkan pertanyaan dari rekan satu kos, tapi diabaikan. “Sekarang lebih baik kalau aku fokus pada kontrak baru sialan itu. Sudah terlanjur ditanda tangan dan dengan cepat mereka sembunyikan.” Aiden terus berbicara pada dirinya sendiri dalam hati, tidak peduli akan mengundang pertanyaan oran
“Tenang Aju. Ini hanya pertemuan biasa saja.” Selebriti kurang terkenal itu tidak hentinya bergumam, sambil mengetukkan sepatu hak yang dia pakai ke lantai. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Aju memberikan jadwal pada sang mantan. Hari ini, akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di kafe langganan mereka. “Aju.” Baru juga yang empunya nama menenangkan diri, kini tiba-tiba orang yang membuatnya panik muncul. Itu membuat Aju seketika menghentikan goyangan kakinya. “Hai, Henry.” Aju menyapa dengan senyum tipis, tanpa beranjak dari kursinya. “Hari ini kamu agak cepat dari biasanya.” “Aku ingat kalau kamu suka datang lebih cepat dari jam janjian.” Lelaki yang dipanggil Henry itu tersenyum dan menarik kursi di depan Aju. “Bagaimana kabarmu?” tanya Henry terlihat begitu senang. “Fine.” Aju menjawab dengan singkat, sambil menatap lelaki di depannya dengan tajam. “Apa kamu masih marah padaku?” Henry bertanya dengan tatapan sedih. “Apa aku harus minta maaf lagi?” “Menurutmu
“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya. [AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, k
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran