Ketiga manusia itu duduk dalam diam di hadapan papa Ana. Wajah Keenan kebiruan, bibir laki-laki itu sobek, dan berdarah, juga rambutnya berantakan. Walau pun Daren terlihat baik-baik di luar tapi tidak di dalam hatinya, karena dia juga merasakan rasa sakit yang sama. Mungkin lebih sakit dari yang Keenan rasakan saat ini.Keenan tidak sempat membalas pukulan yang diberikan oleh Daren. Atau mungkin, memang tidak berniat juga, entahlah. Beberapa detik setelah Daren memukulnya, orang-orang juga sudah segera memisahkan mereka.Tadinya Daren beserta keluarga Ana dan juga Cika ingin memberikan kejutan ulang tahun kepada kekasihnya. Akan tetapi, sewaktu mereka menyambangi kamar Ana, perempuan itu tidak ada di sana. Satpam mereka mengatakan, jika kekasihnya itu keluar beberapa waktu yang lalu. Mereka memutuskan menunggu Ana di balik pintu, tapi saat Daren melihat CCTV dan tahu kekasihnya datang bersama orang yang dibencinya, ia begitu marah.Apa yang harus dipikirkannya? Apa Daren bisa tetap b
Keenan lagi-lagi membuka media sosialnya. Kembali diam-diam melihat media sosial Ana yang dipenuhi oleh gambar-gambar wanita itu dengan kekasihnya sebenarnya, adalah sumber penyakit bagi dirinya.Tampak sekali bahagia terpancar di wajah Ana dan sungguh Keenan tidak rela. Itu Daren, sepupu yang tidak pernah bisa mengalahkannya. Sekarang malah dekat dengan seseorang yang disukainya.Keenan menggerakkan salah satu ujung bibirnya, ternyata membuat Daren sedikit sibuk adalah keputusan terbaik yang pernah dia pikirkan. Karena itu, Ana jadi sering membalas pesannya, perempuan itu juga kembali sering bercerita seperti dulu dengan dirinya.Pelan namun pasti, ia yakin akan kembali lagi mendapatkan gadis itu kembali.Apa dia jahat? Entahlah, dia sendiri juga semakin tidak mengenali dirinya sendiri.Keenan memijat pelipisnya. Lagi pula memang apakah ada yang salah dengan dia yang berusaha mendapatkan cintanya kembali? Laki-laki itu baru sadar, jika cinta harus dikejar. Bukankah permainan ini belu
“Gimana?” tanya Cika kepada Beni yang baru memasuki area pelataran rumah Ana.Beni menggelengkan kepala lemah lalu duduk di sebelah Cika. “Gue gak bisa ngejar Daren, udah jauh.”Cika menghela napas panjang. Sewaktu Beni baru menampakkan diri tadi, sebenarnya dia sudah tahu, jika laki-laki itu akan menyampaikan kabar yang mengecewakan. Terlihat dari raut wajahnya yang suram, sesuram isi saldo rekeningnya. Lagi pula, Cika hanya sekedar ingin lebih memastikan saja. “Lo tahu apartemen Daren, enggak? Ayo kita susulin ke sana?” ajaknya kemudian.Beni menatap Cika lumayan lama, sebelum akhirnya menunduk menatap kedua kakinya. “Sepertinya jangan dulu deh, Cik ... biar mereka sama-sama tenang dulu. Lagi pula, kita juga jangan terlalu ikut campur urusan mereka. Biar mereka selesaikan sendiri,” sahutnya lirih.Cika menggelengkan kepala terlihat tidak setuju. “Enggak ... gue harus ikut campur. Gue gak mau Ana sedih lagi. Mereka berdua cocok, sayang kalau harus berpisah begitu saja. Sebagai sahaba
“An lo udah ada di kantor? Kenapa lo masuk?” tanya Cika yang aneh melihat Ana sudah berkutat dengan pekerjaannya. Bahkan, malah sudah tiba lebih dahulu di kantor dari pada dirinya. Perempuan itu kira Ana akan bersedih-sedih ria di dalam kamarnya, mengingat keadaannya kemarin yang terlihat lebih kacau dari biasanya.“Kerjalah,” balas Ana dengan masih sibuk dengan laptopnya.“Sorry, ya ... gue yang malah telat.”“Tumben lo telat?”“Eh ... lo udah baik-baik saja?” tanya Cika tanpa menjawab pertanyaan dari Ana.“Enggak juga.”“Lo enggak apa-apa, kok ... kalau mau ambil cuti? Bebas, cuti aja.”“Ga mau cuti, ah. Mau fokus kerja aja gue. Ini musim kawin, kan? Banyak pasti kerjaan. Gue kasihan sama lo. Lihat itu kantong mata, sampai seram gitu kayak Kuntilanak. Gue yang putus, kenapa lo yang kayaknya enggak bisa tidur?”Cika terbatuk-batuk dan buru-buru mengambil air mineral yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk.“Iya, sih ... bulan Juli banyak sekali manusia-manusia yang ingin berkemba
“Itu Keenan? Lo mau nemuin dia lagi?” tebak Cika sambil mengayunkan ponsel Ana. Lalu perempuan itu menaruh benda pintar itu dan beralih memegang kedua tangan sahabatnya. “Bilang sama gue kalau lo enggak mau nemuin itu cowok lagi, An?”Ana menatap mata sang sahabat. “Sorry, Cik ... gue harus bicara sama dia buat ngelurusin semuanya,” ujarnya.Cika mengetuk kening dengan jari manis sambil memejamkan kedua matanya. Kenapa sesulit ini berbicara dengan seseorang yang dibutakan oleh cinta. “Astaga! Apalagi sih yang harus lo lurusin? Hidup lo aja sama dia juga enggak lurus-lurus amat, Bestai! Sebel gue lama-lama sama lo!”“Gue....”“Kenapa lo enggak nemuin Daren. Bilang kek kalau itu semua hanya salah paham. Kenapa lo malah mau nemuin Keenan? Laki-laki itu, Ana ... yang buat lo putus.”“Bukan Keenan yang bikin gue putus, Cik,” kekeh Ana. Perempuan itu masih kekeh dengan pendiriannya, jika Keenan bukanlah alasan putusnya hubungannya dengan Daren. Laki-laki itu tidak terlibat, pikirnya.“Secar
Hanya suara jangkrik dan embusan udara malam yang bisa terdengar begitu Beni mengucapkan kalimat keramat bagi Cika.Cika mengerjap menatap Beni dalam diam lalu mundur beberapa langkah selanjutnya berlari masuk ke dalam rumah. Perempuan itu menyenderkan tubuhnya di balik pintu dan memegang dada kirinya yang dirasa berdetak tidak karuan. Ini tidak sesuai yang diperkirakannya. Bukankah Beni tidak segampang itu menyukai perempuan? Tapi, kenapa dia mengucapkan kalimat sakral itu? Begitu saja? Di tempat yang sama sekali tidak pernah diduganya.Lalu kenapa dirinya malah berlari masuk ke dalam rumah? Harusnya ia langsung mengangguk mengiyakan! Bukankah ini yang dimaunya. Dia menyukai Beni, lalu untuk apa lagi ia membuang-buang waktu dan terlalu jual mahal?Cika meringis memukul kepalanya yang benar-benar tidak berfungsi di saat-saat seperti ini lalu pelan-pelan membuka pintu rumahnya. Perempuan itu melongok ke arah luar, sepi sudah tidak ada lagi Beni di sana. Kemudian ia keluar dan berjongko
Cika beberapa kali melihat jam yang ada pada ruangannya sambil menggigiti kukunya, sebagai pertanda jika dirinya sedang dilanda khawatir yang begitu amat menguras pikirannya. Mondar-mandir pun entah ini yang sudah keberapa kali, perempuan itu juga tidak sempat menghitungnya.Bagaimana ia bisa fokus dengan pekerjaannya jika pikirannya melantur ke mana-mana? Dia hanya memiliki satu sahabat baik selayaknya saudara.Ok, apakah dirinya terlalu berlebihan? Sepertinya tidak, jika berhubungan dengan seseorang yang selalu ada di saat-saat terberatnya.Hanya Ana, yang mau berteman dengan dirinya, walau mereka jauh berbeda kasta. Ana memperlakukannya dengan baik. Mau bekerja sama dengan dirinya, serta merekomendasikan dia pekerjaan yang bahkan dia mau bekerja di bawahnya. Jadi, jika sampai terjadi sesuatu dengan sahabat baiknya, maka dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.“Selamat siang? Apakah Nyonya sudah makan siang?” Beni datang dengan membawa sekotak ayam goreng khas Korea yang katanya s
Ana mengerjap dalam tidur panjangnya. Iya, delapan jam menurutnya adalah tidur panjang, karena biasanya ia hanya tidur paling lama empat jam saja. Karena pekerjaannya maupun pikirannya yang ke mana-mana.Beberapa panggilan telepon sengaja ia acuhkan, karena sebenarnya dia hanya butuh ketenangan. Tapi, saat bahkan suara nada sambungnya tidak sekalipun berjeda akhirnya dengan malas-malasan ia mengangkat panggilan yang sudah dari lama itu. Mungkin kalau tidak diangkat, panggilan itu juga tidak akan pernah berhenti sampai menjelang lebaran monyet tiba.“Hahaahha!” Ana tertawa sendiri dalam kesunyian. Bukan iya gila. Dia hanya sedang menghibur dirinya sendiri dari penatnya hidupnya ini. Ya, setiap orang punya masalahnya masing-masing.“Hmm, apa?” tanya Ana dengan mengelus selimut berbulunya. Selimut yang baru ia beli ketika dalam perjalanan ke tempat ini beberapa waktu yang lalu. Selimut berwarna merah mudah dan bergambar Hamster itu sudah langsung mencuri perhatiannya saat pertama kali di
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be