Daren curiga ada sesuatu yang tengah direncanakan Keenan kepadanya saat tanpa sengaja ia melihat laki-laki itu ada di tempat yang sama dengan tempat di mana sepupunya memintanya untuk bertemu. Dia sengaja membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam kafe itu dan memutuskan mengawasi Keenan saja dari kejauhan. Instingnya mengatakan sepertinya memang ada sesuatu yang tidak beres.Daren lalu memainkan lidah dari dalam pipinya, saat tidak lama ia melihat Ana berjalan dan berhenti di depan kafe tak jauh dari tempatnya. Hampir saja ia termakan lagi dengan omongan Keenan, jika saja perempuan yang ada di hadapannya memilih masuk ke dalam tempat makan itu. Dia akan kembali lagi merasakan sakit hati seperti yang dirasakannya beberapa waktu lalu.Daren memang ada masalah dengan kepercayaannya dengan orang lain sejak lama. Dia pikir dia bisa mengobatinya, tapi ternyata saat ia dihadapkan dengan masalahnya lagi dia kembali tidak bisa mengatasinya.Setelah melihat Ana berdiam diri selama beberapa wakt
Ana dan Daren bertatapan cukup lama. Seolah mereka baru pertama kali saling kenal. Keduanya sama-sama diam, jelas sekali masing-masing terlihat gugup dan takut akan memulai percakapan terlebih dulu.Daren ingin menjawab pertanyaan Ana sebelumnya, tapi agak ragu juga sebenarnya. Yang laki-laki itu takutkan sama seperti dulu, Dia takut, Ana akan berpikiran yang tidak-tidak kepadanya atau mungkin menuduhnya sedang sakit karena tahu dia dari kemarin mengawasinya. Bahkan sampai menyuruh orang membuntuti Ana dan memesankan kamar tepat ada di depan kamar yang ditempati oleh Ana, bagaimana pun caranya.“Kak, ehm ... saya boleh pergi, kan? Soalnya saya harus melayani tamu-tamu yang lainnya juga.”Daren tersontak, tidak terkecuali Ana. Perempuan itu bahkan sampai melotot saking terkejutnya karena sampai lupa dengan keberadaan pramusaji yang mengantarkan makanan kepadanya tadi.“Oh boleh, Kak. Maaf ya,” ujarnya sungkan sambil melirik Daren yang malah seolah sibuk dengan gadgetnya.“Kalau ada pe
Daren menunggu di depan kamar Ana. Ia masih ragu walau pun ingin sekali rasanya mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Laki-laki itu berharap mantan kekasihnya bakal menyusulnya, walau tanpa ia memanggilnya. Kalau dipikir-pikir memang konyol juga. Mungkin Daren berpikir, jika Ana adalah salah satu manusia yang memiliki kekuatan telepati dan jelas itu adalah hal yang mustahil.Setelah berdebat dengan pikiran tak masuk akalnya, Daren pun pada akhirnya berjalan dengan gontai menuju sebuah ruang tunggu yang di belakangnya sedang diadakannya sebuah pertunjukan drama. Benar, seperti apa yang telah disampaikan pramusaji kemarin kepadanya dan juga Ana, pertunjukan itu benar-benar ada dan sangat banyak peminatnya.Daren tidak berniat untuk masuk ke dalam sana sebenarnya. Pertunjukan seperti itu, terlalu membosankan menurutnya, walau pun sudah ada dua tiket yang sedang dikantonginya. Untuk berjaga-jaga, jika nantinya Ana ingin menonton pertunjukkan itu dengannya.Daren memandangi dua buah tiket
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s