Hanya suara jangkrik dan embusan udara malam yang bisa terdengar begitu Beni mengucapkan kalimat keramat bagi Cika.Cika mengerjap menatap Beni dalam diam lalu mundur beberapa langkah selanjutnya berlari masuk ke dalam rumah. Perempuan itu menyenderkan tubuhnya di balik pintu dan memegang dada kirinya yang dirasa berdetak tidak karuan. Ini tidak sesuai yang diperkirakannya. Bukankah Beni tidak segampang itu menyukai perempuan? Tapi, kenapa dia mengucapkan kalimat sakral itu? Begitu saja? Di tempat yang sama sekali tidak pernah diduganya.Lalu kenapa dirinya malah berlari masuk ke dalam rumah? Harusnya ia langsung mengangguk mengiyakan! Bukankah ini yang dimaunya. Dia menyukai Beni, lalu untuk apa lagi ia membuang-buang waktu dan terlalu jual mahal?Cika meringis memukul kepalanya yang benar-benar tidak berfungsi di saat-saat seperti ini lalu pelan-pelan membuka pintu rumahnya. Perempuan itu melongok ke arah luar, sepi sudah tidak ada lagi Beni di sana. Kemudian ia keluar dan berjongko
Cika beberapa kali melihat jam yang ada pada ruangannya sambil menggigiti kukunya, sebagai pertanda jika dirinya sedang dilanda khawatir yang begitu amat menguras pikirannya. Mondar-mandir pun entah ini yang sudah keberapa kali, perempuan itu juga tidak sempat menghitungnya.Bagaimana ia bisa fokus dengan pekerjaannya jika pikirannya melantur ke mana-mana? Dia hanya memiliki satu sahabat baik selayaknya saudara.Ok, apakah dirinya terlalu berlebihan? Sepertinya tidak, jika berhubungan dengan seseorang yang selalu ada di saat-saat terberatnya.Hanya Ana, yang mau berteman dengan dirinya, walau mereka jauh berbeda kasta. Ana memperlakukannya dengan baik. Mau bekerja sama dengan dirinya, serta merekomendasikan dia pekerjaan yang bahkan dia mau bekerja di bawahnya. Jadi, jika sampai terjadi sesuatu dengan sahabat baiknya, maka dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.“Selamat siang? Apakah Nyonya sudah makan siang?” Beni datang dengan membawa sekotak ayam goreng khas Korea yang katanya s
Ana mengerjap dalam tidur panjangnya. Iya, delapan jam menurutnya adalah tidur panjang, karena biasanya ia hanya tidur paling lama empat jam saja. Karena pekerjaannya maupun pikirannya yang ke mana-mana.Beberapa panggilan telepon sengaja ia acuhkan, karena sebenarnya dia hanya butuh ketenangan. Tapi, saat bahkan suara nada sambungnya tidak sekalipun berjeda akhirnya dengan malas-malasan ia mengangkat panggilan yang sudah dari lama itu. Mungkin kalau tidak diangkat, panggilan itu juga tidak akan pernah berhenti sampai menjelang lebaran monyet tiba.“Hahaahha!” Ana tertawa sendiri dalam kesunyian. Bukan iya gila. Dia hanya sedang menghibur dirinya sendiri dari penatnya hidupnya ini. Ya, setiap orang punya masalahnya masing-masing.“Hmm, apa?” tanya Ana dengan mengelus selimut berbulunya. Selimut yang baru ia beli ketika dalam perjalanan ke tempat ini beberapa waktu yang lalu. Selimut berwarna merah mudah dan bergambar Hamster itu sudah langsung mencuri perhatiannya saat pertama kali di
Daren curiga ada sesuatu yang tengah direncanakan Keenan kepadanya saat tanpa sengaja ia melihat laki-laki itu ada di tempat yang sama dengan tempat di mana sepupunya memintanya untuk bertemu. Dia sengaja membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam kafe itu dan memutuskan mengawasi Keenan saja dari kejauhan. Instingnya mengatakan sepertinya memang ada sesuatu yang tidak beres.Daren lalu memainkan lidah dari dalam pipinya, saat tidak lama ia melihat Ana berjalan dan berhenti di depan kafe tak jauh dari tempatnya. Hampir saja ia termakan lagi dengan omongan Keenan, jika saja perempuan yang ada di hadapannya memilih masuk ke dalam tempat makan itu. Dia akan kembali lagi merasakan sakit hati seperti yang dirasakannya beberapa waktu lalu.Daren memang ada masalah dengan kepercayaannya dengan orang lain sejak lama. Dia pikir dia bisa mengobatinya, tapi ternyata saat ia dihadapkan dengan masalahnya lagi dia kembali tidak bisa mengatasinya.Setelah melihat Ana berdiam diri selama beberapa wakt
Ana dan Daren bertatapan cukup lama. Seolah mereka baru pertama kali saling kenal. Keduanya sama-sama diam, jelas sekali masing-masing terlihat gugup dan takut akan memulai percakapan terlebih dulu.Daren ingin menjawab pertanyaan Ana sebelumnya, tapi agak ragu juga sebenarnya. Yang laki-laki itu takutkan sama seperti dulu, Dia takut, Ana akan berpikiran yang tidak-tidak kepadanya atau mungkin menuduhnya sedang sakit karena tahu dia dari kemarin mengawasinya. Bahkan sampai menyuruh orang membuntuti Ana dan memesankan kamar tepat ada di depan kamar yang ditempati oleh Ana, bagaimana pun caranya.“Kak, ehm ... saya boleh pergi, kan? Soalnya saya harus melayani tamu-tamu yang lainnya juga.”Daren tersontak, tidak terkecuali Ana. Perempuan itu bahkan sampai melotot saking terkejutnya karena sampai lupa dengan keberadaan pramusaji yang mengantarkan makanan kepadanya tadi.“Oh boleh, Kak. Maaf ya,” ujarnya sungkan sambil melirik Daren yang malah seolah sibuk dengan gadgetnya.“Kalau ada pe
Daren menunggu di depan kamar Ana. Ia masih ragu walau pun ingin sekali rasanya mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Laki-laki itu berharap mantan kekasihnya bakal menyusulnya, walau tanpa ia memanggilnya. Kalau dipikir-pikir memang konyol juga. Mungkin Daren berpikir, jika Ana adalah salah satu manusia yang memiliki kekuatan telepati dan jelas itu adalah hal yang mustahil.Setelah berdebat dengan pikiran tak masuk akalnya, Daren pun pada akhirnya berjalan dengan gontai menuju sebuah ruang tunggu yang di belakangnya sedang diadakannya sebuah pertunjukan drama. Benar, seperti apa yang telah disampaikan pramusaji kemarin kepadanya dan juga Ana, pertunjukan itu benar-benar ada dan sangat banyak peminatnya.Daren tidak berniat untuk masuk ke dalam sana sebenarnya. Pertunjukan seperti itu, terlalu membosankan menurutnya, walau pun sudah ada dua tiket yang sedang dikantonginya. Untuk berjaga-jaga, jika nantinya Ana ingin menonton pertunjukkan itu dengannya.Daren memandangi dua buah tiket
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g