“Gimana?” tanya Cika kepada Beni yang baru memasuki area pelataran rumah Ana.Beni menggelengkan kepala lemah lalu duduk di sebelah Cika. “Gue gak bisa ngejar Daren, udah jauh.”Cika menghela napas panjang. Sewaktu Beni baru menampakkan diri tadi, sebenarnya dia sudah tahu, jika laki-laki itu akan menyampaikan kabar yang mengecewakan. Terlihat dari raut wajahnya yang suram, sesuram isi saldo rekeningnya. Lagi pula, Cika hanya sekedar ingin lebih memastikan saja. “Lo tahu apartemen Daren, enggak? Ayo kita susulin ke sana?” ajaknya kemudian.Beni menatap Cika lumayan lama, sebelum akhirnya menunduk menatap kedua kakinya. “Sepertinya jangan dulu deh, Cik ... biar mereka sama-sama tenang dulu. Lagi pula, kita juga jangan terlalu ikut campur urusan mereka. Biar mereka selesaikan sendiri,” sahutnya lirih.Cika menggelengkan kepala terlihat tidak setuju. “Enggak ... gue harus ikut campur. Gue gak mau Ana sedih lagi. Mereka berdua cocok, sayang kalau harus berpisah begitu saja. Sebagai sahaba
“An lo udah ada di kantor? Kenapa lo masuk?” tanya Cika yang aneh melihat Ana sudah berkutat dengan pekerjaannya. Bahkan, malah sudah tiba lebih dahulu di kantor dari pada dirinya. Perempuan itu kira Ana akan bersedih-sedih ria di dalam kamarnya, mengingat keadaannya kemarin yang terlihat lebih kacau dari biasanya.“Kerjalah,” balas Ana dengan masih sibuk dengan laptopnya.“Sorry, ya ... gue yang malah telat.”“Tumben lo telat?”“Eh ... lo udah baik-baik saja?” tanya Cika tanpa menjawab pertanyaan dari Ana.“Enggak juga.”“Lo enggak apa-apa, kok ... kalau mau ambil cuti? Bebas, cuti aja.”“Ga mau cuti, ah. Mau fokus kerja aja gue. Ini musim kawin, kan? Banyak pasti kerjaan. Gue kasihan sama lo. Lihat itu kantong mata, sampai seram gitu kayak Kuntilanak. Gue yang putus, kenapa lo yang kayaknya enggak bisa tidur?”Cika terbatuk-batuk dan buru-buru mengambil air mineral yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk.“Iya, sih ... bulan Juli banyak sekali manusia-manusia yang ingin berkemba
“Itu Keenan? Lo mau nemuin dia lagi?” tebak Cika sambil mengayunkan ponsel Ana. Lalu perempuan itu menaruh benda pintar itu dan beralih memegang kedua tangan sahabatnya. “Bilang sama gue kalau lo enggak mau nemuin itu cowok lagi, An?”Ana menatap mata sang sahabat. “Sorry, Cik ... gue harus bicara sama dia buat ngelurusin semuanya,” ujarnya.Cika mengetuk kening dengan jari manis sambil memejamkan kedua matanya. Kenapa sesulit ini berbicara dengan seseorang yang dibutakan oleh cinta. “Astaga! Apalagi sih yang harus lo lurusin? Hidup lo aja sama dia juga enggak lurus-lurus amat, Bestai! Sebel gue lama-lama sama lo!”“Gue....”“Kenapa lo enggak nemuin Daren. Bilang kek kalau itu semua hanya salah paham. Kenapa lo malah mau nemuin Keenan? Laki-laki itu, Ana ... yang buat lo putus.”“Bukan Keenan yang bikin gue putus, Cik,” kekeh Ana. Perempuan itu masih kekeh dengan pendiriannya, jika Keenan bukanlah alasan putusnya hubungannya dengan Daren. Laki-laki itu tidak terlibat, pikirnya.“Secar
Hanya suara jangkrik dan embusan udara malam yang bisa terdengar begitu Beni mengucapkan kalimat keramat bagi Cika.Cika mengerjap menatap Beni dalam diam lalu mundur beberapa langkah selanjutnya berlari masuk ke dalam rumah. Perempuan itu menyenderkan tubuhnya di balik pintu dan memegang dada kirinya yang dirasa berdetak tidak karuan. Ini tidak sesuai yang diperkirakannya. Bukankah Beni tidak segampang itu menyukai perempuan? Tapi, kenapa dia mengucapkan kalimat sakral itu? Begitu saja? Di tempat yang sama sekali tidak pernah diduganya.Lalu kenapa dirinya malah berlari masuk ke dalam rumah? Harusnya ia langsung mengangguk mengiyakan! Bukankah ini yang dimaunya. Dia menyukai Beni, lalu untuk apa lagi ia membuang-buang waktu dan terlalu jual mahal?Cika meringis memukul kepalanya yang benar-benar tidak berfungsi di saat-saat seperti ini lalu pelan-pelan membuka pintu rumahnya. Perempuan itu melongok ke arah luar, sepi sudah tidak ada lagi Beni di sana. Kemudian ia keluar dan berjongko
Cika beberapa kali melihat jam yang ada pada ruangannya sambil menggigiti kukunya, sebagai pertanda jika dirinya sedang dilanda khawatir yang begitu amat menguras pikirannya. Mondar-mandir pun entah ini yang sudah keberapa kali, perempuan itu juga tidak sempat menghitungnya.Bagaimana ia bisa fokus dengan pekerjaannya jika pikirannya melantur ke mana-mana? Dia hanya memiliki satu sahabat baik selayaknya saudara.Ok, apakah dirinya terlalu berlebihan? Sepertinya tidak, jika berhubungan dengan seseorang yang selalu ada di saat-saat terberatnya.Hanya Ana, yang mau berteman dengan dirinya, walau mereka jauh berbeda kasta. Ana memperlakukannya dengan baik. Mau bekerja sama dengan dirinya, serta merekomendasikan dia pekerjaan yang bahkan dia mau bekerja di bawahnya. Jadi, jika sampai terjadi sesuatu dengan sahabat baiknya, maka dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.“Selamat siang? Apakah Nyonya sudah makan siang?” Beni datang dengan membawa sekotak ayam goreng khas Korea yang katanya s
Ana mengerjap dalam tidur panjangnya. Iya, delapan jam menurutnya adalah tidur panjang, karena biasanya ia hanya tidur paling lama empat jam saja. Karena pekerjaannya maupun pikirannya yang ke mana-mana.Beberapa panggilan telepon sengaja ia acuhkan, karena sebenarnya dia hanya butuh ketenangan. Tapi, saat bahkan suara nada sambungnya tidak sekalipun berjeda akhirnya dengan malas-malasan ia mengangkat panggilan yang sudah dari lama itu. Mungkin kalau tidak diangkat, panggilan itu juga tidak akan pernah berhenti sampai menjelang lebaran monyet tiba.“Hahaahha!” Ana tertawa sendiri dalam kesunyian. Bukan iya gila. Dia hanya sedang menghibur dirinya sendiri dari penatnya hidupnya ini. Ya, setiap orang punya masalahnya masing-masing.“Hmm, apa?” tanya Ana dengan mengelus selimut berbulunya. Selimut yang baru ia beli ketika dalam perjalanan ke tempat ini beberapa waktu yang lalu. Selimut berwarna merah mudah dan bergambar Hamster itu sudah langsung mencuri perhatiannya saat pertama kali di
Daren curiga ada sesuatu yang tengah direncanakan Keenan kepadanya saat tanpa sengaja ia melihat laki-laki itu ada di tempat yang sama dengan tempat di mana sepupunya memintanya untuk bertemu. Dia sengaja membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam kafe itu dan memutuskan mengawasi Keenan saja dari kejauhan. Instingnya mengatakan sepertinya memang ada sesuatu yang tidak beres.Daren lalu memainkan lidah dari dalam pipinya, saat tidak lama ia melihat Ana berjalan dan berhenti di depan kafe tak jauh dari tempatnya. Hampir saja ia termakan lagi dengan omongan Keenan, jika saja perempuan yang ada di hadapannya memilih masuk ke dalam tempat makan itu. Dia akan kembali lagi merasakan sakit hati seperti yang dirasakannya beberapa waktu lalu.Daren memang ada masalah dengan kepercayaannya dengan orang lain sejak lama. Dia pikir dia bisa mengobatinya, tapi ternyata saat ia dihadapkan dengan masalahnya lagi dia kembali tidak bisa mengatasinya.Setelah melihat Ana berdiam diri selama beberapa wakt
Ana dan Daren bertatapan cukup lama. Seolah mereka baru pertama kali saling kenal. Keduanya sama-sama diam, jelas sekali masing-masing terlihat gugup dan takut akan memulai percakapan terlebih dulu.Daren ingin menjawab pertanyaan Ana sebelumnya, tapi agak ragu juga sebenarnya. Yang laki-laki itu takutkan sama seperti dulu, Dia takut, Ana akan berpikiran yang tidak-tidak kepadanya atau mungkin menuduhnya sedang sakit karena tahu dia dari kemarin mengawasinya. Bahkan sampai menyuruh orang membuntuti Ana dan memesankan kamar tepat ada di depan kamar yang ditempati oleh Ana, bagaimana pun caranya.“Kak, ehm ... saya boleh pergi, kan? Soalnya saya harus melayani tamu-tamu yang lainnya juga.”Daren tersontak, tidak terkecuali Ana. Perempuan itu bahkan sampai melotot saking terkejutnya karena sampai lupa dengan keberadaan pramusaji yang mengantarkan makanan kepadanya tadi.“Oh boleh, Kak. Maaf ya,” ujarnya sungkan sambil melirik Daren yang malah seolah sibuk dengan gadgetnya.“Kalau ada pe