Dengan perasaan cemas dan tangan sedikit gemetar aku memutar handle pintu karena Yusuf terus saja mengetuk pintu rumahku."Ada apa, Pak? Mau mampirkah?" Aku bertanya dengan ragu. Satu bibir bagian bawah aku gigit karena resah. Aku hanya khawatir Yusuf akan meminta uang karena aku tak punya uang untuk saat ini.Namun yang kulihat. Pria sombong itu terlihat mengangkat sebelah tangannya ke hadapanku. Sebelah tangan yang memegang boks makanan."Makanan kamu tertinggal di dalam mobil. Ambil!" titahnya tanpa sedikit pun mengukir senyum."Oh i-iya, terima kasih," ucapku seraya menghela napas lega. Aku seperti bisa bernapas dengan tenang saat tahu kalau Yusuf hanya mengantarkan makananku yang tertinggal di dalam mobilnya.Setelah aku mengambil boks makanan yang diberikannya, ia langsung berbalik badan dan kembali menuju mobil mewahnya.Mobil mewah milik Yusuf tampak melaju dengan hati-hati meninggalkan pekarangan rumahku. Gegas saku segera masuk kembali dan mengunci pintunya. Aku tak mau kala
Aku menelan saliva resah. Mengatur napas yang memburu. Dari semalam rasanya belum tuntas juga keadaan yang menegangkan seperti ini."Saya disuruh mengantarkan sepeda motor berwarna merah milik wanita bernama, Mia. Lokasinya adalah rumah ini," lapornya. "Huuh!" Napasku kembali lancar. Aku pikir apa. "Memangnya motor saya masih ada?" tanyaku lagi."Iya," jawabnya datar. Kemudian terlihat seseorang melajukan kendaraan roda dua milikku serta tas selempang yang dipegangnya. Aku langsung menyeringai senang melihat harta terakhirku yang ternyata masih ada. "Syukurlah! Akhirnya motorku masih ada. Tasku juga," ucapku dengan bahagia sambil tersenyum senang dengan sendirinya."Tapi, apa ponsel saya masih ada di dalamnya?" Aku bertanya lagi pada pria berwajah sangar di hadapanku."Saya tidak membuka isinya," jawabnya. Pria yang satunya lagi turun dari motor dan berjalan mendekatiku lalu menyerahkan kunci motor serta tas selempangku."Terima kasih," ucapku.Mereka kemudian pamit dan pergi begit
Aku menelan saliva penuh keresahan. "Syarat apa?" Aku bertanya.Yusuf nampak tersenyum sinis penuh misteri. Entah apa yang tengan ia pikirkan saat ini aku jadi cemas rasanya dengan diri sendiri."Syaratnya gampang. Kamu hanya cukup bekerja di kantor ini sebagai office girl dan setiap bulan saya akan potong gaji kamu sebagai cicilan membayar hutang kepada saya," jelasnya.Entah rasa apa yang harus aku tampilkan saat ini. serbuah pekerjaan disodorkan oleh Yusuf meski hanya menjadi office gilr, tak masalah.Namun, gajiku akan dipotongnya setiap bulan untuk melunasi hutang. Sungguh Yusuf bukan hanya manusia sombong, dia juga manusia pelit dan perhitungan. Padahal semalam aku sempat berpikir kalau di dalam dirinya masih terdapat sisi baik, ternyata aku salah."Kalau gaji saya dipotong, lantas saya akan makan apa?" Dengan perasaan lemas aku meberanikan diri bertanya."Kan masih ada sisa separuhnya lagi. Kamu pikir saya kejam akan memotong semua gaji kamu!" Yusuf menjawab dengan ketus.Rasan
Siska nampak mengukir senyum setelah mendengar kabar baik dariku. "Aku senang mendengarnya," ucapnya.Aku pun turut menampilkan wajah bahagia di hadapan Siska. Sudahlah, mungkin kepiluan ini belum mau pergi dari hidupku. Aku akan berusaha legowo menerimanya. Meski pun sesekali aku tetap saja bersedih dengan kisah kemarin. Kisah pahit yang telah usai. Kisah yang masih menyisakan masalah sampai detik ini.Aku dan Siska melanjutkan makan siang, menghabiskan makanan kami. Namun, tiba-tiba netraku menangkap sosok yang tak asing dalam pandangan. Seorang wanita yang duduk di belakang Siska. Sepertinya aku mengenalnya.'Siapa ya? Rasanya aku pernah melihat wanita itu. Rasanya wanita itu pernah mengganggu pikiranku,' gumamku dalam hati. Aku bertanya-tanya penuh rasa penasaran.Sesaat setelah wanita itu pergi, aku baru saja sadar kalau aku pernah membuntutinya. Ya ampun mengapa telat sekali ingatanku ini.Aku menepuk kening serasa menyesal. Harusnya aku ingat sejak tadi dan membuntuti wanita it
Di sepanjang pekerjaan yang aku lewati, aku merasa ada yang tetap mengganjal di hati. Kata-kata Yusuf tadi telah mengganggu pikiranku.Kini aku duduk sendirian di samping kantor, ditemani sebotol air mineral. Semilir angin yang kencang seolah sengaja mengibas-ngibaskan rambutku. Sejuknya melepaskan rasa lelahku membawanya pergi ke atas udara."Kamu tidak makan?" Suara bariton bertanya dari samping. Aku menoleh dan itu ternyata Yusuf. "Tidak, Pak," jawabku sekenanya. Entah dari mana dia datang. Jangankan di kantor miliknya ini, di tempat lain pun dia selalu muncul tiba-tiba. Aneh memang, Yusuf selalu muncul dimana-mana."Ini ambil!" Sebelah tangannya menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna putih yang entah apa isinya."Apa itu?" Aku menoleh tanpa senyuman. wajahku datar tanpa ekspresi."Ambil saja, jangan banyak tanya!" titahnya ketus.Aku memutar bola mata karena kesal. Lalu kuambil sebuah kantong plastik berwarna putih itu dari tangannya."Asisten saya membelikan makanan murah
Aku berjalan sambil membawa alat-alat kebersihan. Kaki ini telah masuk ke dalam ruangan yang orang-orang sebut bos besar. Ruangannya memang lebih luas dari ruangan, Bu Anjani. Aku mulai membersihkan setiap sudut ruangan yang ada di situ. Aku harus memastikan tak ada debu tersisa walau pun sedikit. Aku tak mau pria sombong itu marah karena aku bosan mendengarnya.Di atas meja kerja aku melihat ponsel pintar dengan tampilan yang mewah. Sepertinya milik Yusuf, pasti dia lupa membawanya. Aku tak berani menyentuh barang mahal itu. Aku hanya fokus membereskan tumpukan file-file di sampingnya.Tring!Bunyi notipikasi yang membuat pandanganku sedikit beralih pada benda pipih itu.[Saya akan pastikan semuanya aman. Pelaku pembakaran rumah tak akan diketahui siapa pun.]Sebuah notipikasi pesan singkat pada layar ponsel Yusuf yang tak sengaja aku baca. Bola mata sedikit membulat. Aku terkejut. "Pembakaran rumah!" desisku sendirian. Aku sungguh tercengang. Entah kenapa aku selalu sensitif saat m
"Saya harus pulang, Pak. Pekerjaan saya telah selesai," ucapku seraya pamit dengan sopan. Aku juga mengusap pipi ini yang basah. Menarik napas begitu dalam kemudian melanjutkan langkah meninggalkan Yusuf yang masih mematung.Langkahku cukup cepat sampai di parkiran motor. Aku tak lantas pergi. Berusaha menenangkan diri terlebih dahulu.Setelah itu aku pergi. Tapi, bukan untuk pulang ke rumah. Perjalananku terhenti di sebuah danau yang biasa aku kunjungi saat perasaan kalang kabut.Ssperti biasa, aku duduk di samping sepeda motorku. Menekuk lutut, memeluk lututku. Pandangan ke depan tak tentu arah. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, tapi tetap saja masih sulit kulakukan. Apa lagi sore ini aku melihat sekelilingnya nampak banyak orang-orang yang tengah asik pacaran.'Ya Tuhan, aku akan jalani prosesnya. Aku akan nikmati keadaan apa pun yang harus aku lewati. Kuatkan aku. Tegarkan aku dalam melewati hidup yang sulit ini,' lirihku dalam hati.Setelah itu aku berusaha melewati hari-hari set
Aku mengernyitkan dahi. Egois sekali dia. Memerintah di luar jam kerja tanpa meminta persetujuan dariku.Aku mendengus kesal. Tubuh Yusuf telah hilang dari pandanganku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku pikir dia sudah berubah karena sikapnya sedikit membaik. Tapi rupanya masih tetap sama.Sore hari saat pekerjaan telah selesai dan waktu pulang telah tiba, aku bersiap dengan kendaraan roda duaku."Permisi, Mba Mia. Pak Yusuf menunggu anda di danau sore ini," celetuk asisten Yusuf yang tiba-tiba menghampiriku.Dia pun tak jauh berbeda seperti bosnya belum sempat aku menjawab, dia langsung pergi begitu saja.Oke, aku akan temui Yusuf di danau sesuai dengan perintahnya. Aku tak mau dia murka dan membuat masalah baru lagi denganku.Gegas kulajukan kendaraan roda duaku menuju danau. Aku juga penasaran. Mengapa harus bertemu di danau, padahal kan dia bisa bicara di kantor saja.Sesampainya di danau, aku memarkirkan sepeda motorku kemudian mencari keberadaan Yusuf. Mengedarkan pandang