Aku berharap apa yang telah aku dengar dari mulut Yusuf itu adalah benar adanya. Sungguh aku merasa senang. Aku tak ingin memiliki musuh apalagi musuh seperti Yusuf yang selalu saja muncul dimana-mana."Apa kamu punya waktu?" Yusuf bertanya tanpa terlebih dahulu membalas ucapan terima kasih dariku. Tak mengapa, sikapnya yang berubah jadi ramah pun sudah cukup membuatku bisa bernapas dengan lega."Waktu untuk apa, Pak?" Gegas aku berbalik tanya. Kami berdua masih duduk di tempat yang sama dan belum beranjak."Jawab saja, tak usah berbalik tanya." Ah dia kumat lagi. "Waktu sibuk saya hanya disaat bekerja jadi office girl saja. Selebihnya saya free dan belum memiliki pekerjaan tambahan," jawabku. Tapi tunggu, apa jangan-jangan dia akan memberiku pekerjaan tambahan? Aku menepuk kening dengan bola mata membulat. 'Sepertinya aku salah menjawab. Aduh bagaimana ini!' gerutuku dalam hati."Saya akan bawa kamu ke rumah saya," ujar Yusuf dengan ajakannya.Aku terkejut seketika. Ke rumahnya! Ap
"Itu Bos di perusahaan tempat saya bekerja," jawabku seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Baiklah, saya pamit pulang dulu ya." Reyno langsung pamit. Aku jadi tidak enak kepadanya."Terima kasih oleh-olehnya ya, Pak," ucapku.Aku lihat wajah Reyno seketika berubah kecut. Dia menaiki kendaraan roda duanya kemudian melaju dengan kencang tanpa menyapa Yusuf padahal mereka berpapasan."Bukankah jam delapan, Pak?" Aku basa-basi pada Yusuf yang sudah berdiri di hadapanku."Jam delapan terlalu malam. Jadi, saya ubah jadi jam tujuh," jawabnya datar. Dia masih berdiri dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana."Baik, Pak. Silahkan duduk. Saya akan siap-siap terlebih dahulu," ucapku yang kemudian masuk dan menutup pintu.Aku sih tidak yakin kalau Yusuf akan duduk di kursi lapuk di depan teras. Aku mengintai terlebih dahulu dari celah gorden dan benar saja dugaanku. Yusuf tetap memilih berdiri. Mungkin dia jijik dengan kursi bututku.Aku punya ide. Apa dia akan kuat berdiri lama-lama
"Selamat malam, Pak Yusuf. Sedang apa?" Suara Fery bertanya pada Yusuf. Aku tak melihat seperti apa wajah Fery saat menyapa Yusuf aku membuang pandangan ke area liar. Aku tak sudi memandang wajah Fery yang selalu merasa menang saat bertemu denganku."Selamat malam, Pak Fery. Kebetulan saya sedang makan malam." Suara Yusuf menjawab. Aku tak tahu entah mereka berjabat tangan atau saling menyapa dengan senyuman, karena sungguh aku enggan melihat wajah mantan suamiku itu."Dengan, Mia?" Lagi, Fery terdengar bertanya seperti ragu. Akh telingaku rasana panas mendengarnya. Apalagi saat suara gelak tawa mengiringi setiap pertanyaan yang terdengar dari mulut Fery."Iya benar. Apa ada yang salah? Atau Pak Fery mau bergabung?" Yusuf terdengar menawarkan. "Tidak! Saya tidak mau!" Gegas aku memotong dengan menolaknya."Loh, kenapa?" Yusuf bertanya. Sementara Fery tampak mengulum senyum penuh misteri."Mohon maaf, Pak. Saya tidak mau makan malam bersama dia," jawabku dengan tegas pada Yusuf. Apa
Aku merasa ada yang menusuk jantung dengan tajam melihat kondisi, Khaila. Ternyata ada yang lebih pilu selain kisah hidupku. Nasibku dan Khaila tak jauh berbeda, hanya saja aku lebih mampu mengandalikan diri dibanding Khaila yang saat ini terpuruk dan depresi."Khai, jangan bicara begitu lagi. Reynaldi sudah pergi jauh. Dia tak akan kembali. Kamu jangan lagi memikirkannya. Ada Mas Yusuf yang akan selalu menemani kamu di sepanjang waktu," tutur Yusuf dengan lembutnya. Ia terus saja mengusap rambut Khaila dengan lembut.Namun, wajah Khaila seketika terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Ia menunduk sambil menggelengkan kepala. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas kain baju yang ia pakai. Perutnya nampak membuncit. Kehamilannya sudah terlihat jelas."Tidak, Mas. Jangan begitu. Mas Reynaldi masih hidup. Tapi wanita itu telah membunuhnya. Wanita itu yang telah mengambilnya dariku. Wanita sialan! Bresngsek!" Khaila menjadi histeris. Ia berteriak sekuat tenaga dan membanting setiap
"Saya tidak pantas, Bu. Saya hanya lulusan SMA. Saya juga belum pernah menjadi asisten pribadi." Aku mencoba menjelaskan. Aku merasa ada yang aneh."Mba Mia akan diajarkan. Coba saja dulu. Lagi pula segala sesuatu tak akan tahu kalau belum dicoba." Bu Anjani masih dengan permintaannya."Tapi, Bu-"Belum sempat lidah ini kembali melanjutkan penolakan, seketika Bu Anjani memotong."Saya tidak mau ada penolakan karena ini tujuannya baik. Mba Mia, akan mulai menjadi asisten pribadi Mas Yusuf mulai besok." Bu Anjani memberikan surat kuasa kepadaku."Ambilah surat ini untuk nanti berikan pada ketua office girl sebagai laporan kalau tugas Mba Mia telah dialihkan," imbuhnya seraya menyodorkan surat itu.Aku tetap merasa berat menerimanya. "Tapi, Bu-""Sudahlah, Mba Mia. Semua akan lebih baik dari sebelumnya," tekan Bu Anjani dengan yakin.Aku menghela napas berat. "Terima kasih atas kepercayaan Bu Anjani pada saya. Saya berjanji tak akan mengecewakan semua kepercayaan yang Bu Anjani berikan k
Dalam perjalanan pulang. Suasana jalanan yang ramai oleh lalu lalang dengan kendaraan. Sementara aku, menepikan kendaraan roda duaku di depan toko souvenir. Aku masuk dengan langkah penuh semangat ke dalam toko yang terlihat mewah. Aku mulai memilih satu persatu barang mewah yang ada di sana.Kulihat harga yang tertera semuanya mulai dari satu juta sampai puluhan juta. Gegas kumengintip isi amplop yang ada di dalam tas selempangku. Kuhitung lembaran uang kertas berwarna merah di dalam amplop. Isinya terhitung dua puluh lembar. Sepertinya aku bisa membeli harga dikisaran satu juta setengah. Sisanya yang lima ratus ribu rupiah bisa aku gunakan untuk membeli bensin dan makanan sebelum gajian nanti.Pilihanku jatuh pada midi dress cantik senilai satu juta setengah. Aku segera membawa dress itu ke kasir. Aku bungkus dengan kotak kado berwarna merah muda, persis seperti warna gaun yang ada di dalamnya. Pegawai toko juga menghias kotak kadonya dengan rapih dan indah dipandang.Gegas aku memb
Aku diam. Namun beberapa saat kemudian memberanikan diri untuk berbicara lagi."Saya juga benci manusia pengkhianat. Saya bahkan sudah dua kali merasakan sakitnya." Aku menimpali.Yusuf tampak membeliak ke arahku. Sepertinya aku paham. Aku pernah mendengar kabar yang berhembus dari teman sesama office girl tempo lalu. Kabar yang mengatakan kalau Yusuf juga sempat dikhianati istrinya sebelum meninggal. Menurutku wajar saja kalau saat ini Yusuf benci tentang pengkhianatan karena dirinya dan Khaila merupakan korban."Maka dari itu saya tegaskan sama kamu, Mia. Bekerja dengan baik, jujur dan amanah. Saya tidak suka dengan orang-orang pendusta," tekan Yusuf terdengar menantangku."Iya, Pak. Saya tak akan mengecewakan kepercayaan yang telah diberikan," balasku meyakinkannya.Dia kembali tersenyum walau sedikir tipis. "Oh iya, bagai mana dengan rumah kamu yang terbakar? Apa pelakunya sudah tertangkap?" Tiba-tiba Yusuf bertanya seperti itu kepadaku.Aku sedikit tercengang mendengarnya. "Pak Y
"Pak!" Aku menyadarkan Yusuf yang mematung dalam beberapa detik."Sorry!" Yusuf mengusap wajahnya dengan kasar. Dia memperbaiki kembali pandangannya. Terlihat menyembunyikan sesuatu yang bisa aku lihat."Pak Yusuf, kenapa? Kok tiba-tiba kaku begitu," tanyaku merasa aneh."Tidak apa-apa. Hanya saja saya tak dapat mengingat penuturan kamu tadi," elak Yusuf."Pria yang saat itu di depan taman, Pak. Saya melihat Pak Yusuf memberikan amplop." Aku berusaha memulihkan ingatan Yusuf."Oh iya saya ingat. Saya sempat menyuruhnya membakar mobil Reynaldi. Saya benci dengan benda yang merupakan saksi bisu perselingkuhan. Saya menyuruh orang itu membakarnya. Saya memberi upah kepadanya," jelas Yusuf.Aku manggut-manggut. Ternyata kecurigaanku salah. Aku sempat merasa curiga saat mendengar kata membakar. Ternyata Yusuf memang membakar sesuatu dan bukan rumahku."Memangnya apa yang kamu pikirkan sampai kamu mencurigai wanita itu dan membuntutinya?" Kini, Yusuf yang bertanya kepadaku."Awalnya saya cu
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe