Bu Anjani terus melajukan mobil mewahnya. Sementara aku yang tengah duduk di sampingnya, kembali diam. Menjadi Asisten orang besar seperti Yusuf memang harus terlihat perfect. Tadi pagi pun aku sempat merasa minder.Saat ini mobil Bu Anjani telah berhenti di depan sebuah butik ternama di kota Jakarta. Aku dan Bu Anjani segera melepaskan safety belt kemudian turun dari mobil.Kami berdua masuk ke dalam butik yang isinya adalah pakaian-pakaian mahal dan bagus."Bu, kalau hanya sekedar membeli pakaian kantor, saya bisa pergi ke toko biasa," ucapku di tengah-tengah Bu Anjani memilihkan pakaian."Saya sudah biasa ke butik ini. Jadi sudah percaya dengan kualitas butik ini," jawab Bu Anjani.Aku manggut-manggut sebagai kode paham. Orang kaya seperti Bu Anjani memang tak mungkin membeli pakaian di toko biasa. Ya sudahlah, mau mahal atau pun murah, toh bukan aku pula yang bayar.Tak lama, Bu Anjani selesai memilih beberapa setel pakaian kantor untukku. Aku sudah memakainya satu setel untuk har
Yusuf langsung keluar dari mobilnya tanpa menunggu persetujuan dariku."Huhh, dia begitu lagi. Seenaknya," protesku sendirian di dalam mobil karena aku belum keluar juga."Ayo keluar!" Yusuf berteriak dari luar mobil."Iya!" Sahutku dari dalam.Gegas kulepas safety belt. Aku menarik handle pintu lalu keluar dan berjalan mengikuti langkah Yusuf di depanku.Aku masuk ke dalam butik yang berbeda dengan tadi siang. Butik yang Yusuf kunjungi berisi gaun-gaun mewah yang terpajang di setiap sudut. Gaun-gaun yang sudah bisa ditaksir harganya pasti mahal. "Selamat malam, Pak Yusuf. Ada yang bisa saya bantu?" Wanita dengan pakaian sopan dam rapih menyapa Yusuf seraya menautkan kedua tangan terlihat sangat menghargai kedatangan kami."Malam," balas Yusuf singkat. Sementara aku, hanya berusaha mengukir senyuman hangat dan ramah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Wanita itu bertanya dengan ramah. Senyuman lebar tak terlepas dari bibirnya. Sepertinya sudah mengenal Yusuf sebelumnya."Tolong pakaian
Sepuluh juta! Itu adalah angka yang sangat besar bagiku untuk sebuah pakaian. Sebelumnya saat berumah tangga dahulu, aku pun belum pernah membeli pakaian dengan nilai fantastic seperti ini. Tentu ini adalah kali pertama yang membuat degup jantungku serasa kencang."Terima kasih!" Yusuf dengan santainya menerima kartu debit miliknya kemudian mengajakku segera pergi.Aku mengikuti langkah Yusuf yang terasa cepat menuju mobil mewahnya. "Tunggu, Pak. Pelan-pelan," ucapku yang tak dihiraukannya.Yusuf masih dengan langkahnya yang cepat. Apa dia tak sadar kalau saat ini aku telah memakai high heels dari butik. Beruntung aku telah piawai memakai high heels sehingga bisa menggunakannya dengan aman."Cepat banget sih jalannya, Pak," sindirku. Aku telah duduk di kursi depan di samping Yusuf. Segera kupakai safety belt karena Yusuf sudah siap dengan setir mobilnya."Lagian, kamu yang jalannya lama," balasnya tanpa melirik. Yusuf segera melajukan kendaraan roda empatnya.Sebenarnya aku masih pena
Ya Tuhan. Jadi ini Mia? Mengapa Mia bisa secantik ini? Aku sampai tak dapat mengenali wajahnya. Bentuk tubuhnya juga indah saat dibalut gaun mewah. Mengapa aku baru menyadari kecantikan Mia. Kemana saja aku selama ini?"Pak Fery!" Pak Yusuf melambaikan sebelah tangannya di depan wajahku. Aku baru sadar dari lamunan. "Sorry, Pak." Aku mengusap wajahku dengan kasar. Jangan sampai Mia merasa tinggi. Bisa-bisanya aku menatap mantan istriku terlalu lama."Pak Fery, kenapa?" Pak Yusuf bertanya lagi kepadaku."Oh tidak apa-apa, Pak Yusuf. Saya-" Aku menggantungkan ucapan karena bingung harus menjawab apa. Sementara saat netra ini kembali melihat ke arah Mia, aku lihat mantan istriku itu hanya diam dengan merapatkan bibir tanpa terlihat sedikit pun senyuman menggaris di bibirnya.Sungguh wajah Mia yang cemberut itu sangat membuatku jadi merindukannya."Pak Fery, jangan gugup begitu. Kita sedang berpesta bahagia dengan pernikahan teman kita. Mari kita ambil minum untuk bersulam," ajak Pak Yu
Sungguh aku muak dengan, Fery. Dia selalu saja muncul di saat yang tidak tepat. Di saat Yusuf mengajak Fery untuk bersulam bersama, gegas aku menolak dengan tegas. Aku tidak mau bersama-sama Fery walau pun sekedar bersulam."Maaf, Pak Yusuf. Saya tidak mau makan atau pun minum bersama-sama orang itu!" Aku melirik sinis ke arah Fery. Aku juga memberikan isyarat pada Pak Yusuf kalau aku enggan untuk dekat-dekat dengan mantan suamiku."Kok begitu, Mia! Kenapa? Saya ini farthner kerja, Pak Yusuf. Kamu tidak bisa mengatur-atur, Pak Yusuf." Bisa-bisanya Fery memprotes. Dia pikir dia siapa."Saya tidak mengatur siapa pun. Saya hanya tidak mau dekat-dekat dengan anda!" tegasku lagi kepada mantan suamiku. Rasa sakit ini masih tetap sama. "Iya, Mia. Tidak apa-apa. Kita akan minum berdua saja ya," ucap Yusuf yang akhirnya paham dengan maksudku."Pak Fery, mohon maaf. Saya dan Mia akan memilih tempat duduk yang lain untuk berduaan saja." Tanpa basa-basi Yusuf segera beranjak dari tempat duduk usa
Hari ini adalah hari kedua menjadi asisten Yusuf. Aku merasa bersyukur saat ini Yusuf menampakan sikapnya yang baik. Aku hampir tak melihat lagi wajah sombong dan angkuh dalam dirinya. Dia juga memperlakukanku layaknya farthner kerja, bukan bawahan. Lagi-lagi aku sangat bersyukur pada Tuhan atas semua karunianya. Saat ini aku merasa dikelilingi orang-orang baik seperti Bu Anjani dan Yusuf. Aku juga sudah bekerja sebagai asisten dengan gaji yang tak terlalu kecil. Setidaknya biaya hidup akan terpenuhi.Aku bekerja semaksimal mungkin. Aku tak akan membuat atasanku kecewa. Aku juga tak akan membuat Bu Anjani kecewa. Hari ini semua pekerjaan telah selesai dengan baik. Aku segera beranjak dari tempat duduk, tempatku bekerja. "Kamu sudah mau pulang?" Suara Yusuf bertanya dengan lembut. Aku mendongak sambil menggantungkan tas selempang pada bahu."Iya, Pak," jawabku sambil mengangguk."Mau saya antar?" Yusuf menawarkan diri."Tidak usah, Pak. Saya selalu bawa kendaraan," jawabku lagi denga
Hari berlalu begitu cepat. Kini tiba saatnya hari yang ditunggu-tunggu yakni hari pernikahan Siska. Sahabatku juga telah memberikanku gaun yang indah untuk dikenakan pada hari pernikahannya. Padahal aku sudah menolak karena telah memiliki gaun pemberian Yusuf kala itu. Tapi, Siska memaksa. Dia tetap menginginkan aku memakai gaun yang dia inginkan.Aku telah dimake up. Gaun telah melilit tubuhku. Rambutku digerai dan ditata rapih. Aku berjalan menemani Siska di sampingnya. Menggandeng tangannya sampai proses akad pernikahan selesai. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang saat ini Siska rasakan. Aku sampai meneteskan air mata karena terharu. Sungguh pemandangan yang membuatku bahagia melihat semua kebahagiaan Siska.Dalam acara pesta pernikahan Siska yang digelar seusai akad selesai, aku melihat Yusuf datang dalam acara Siska. Rupanya Siska mengundang Yusuf. Aku menghampirinya karena dia adalah atasanku."Selamat siang, Pak!" Aku menyapa dengan ramah."Siang juga, Mia. Kamu terlihat ang
"Mungkin Pak Yusuf harus belajar ikhlas," ucapku. Ah aku tak tahu harus bicara apa. Aku juga tak tahu harus menanggapi apa. Sungguh aku tak paham dengan cerita Yusuf saat ini."Ikhlas! Apa hubungannya?" Suara Yusuf terkejut."Ya ikhlas aja. Jangan menyimpan kebencian di dalam hati. Bukan apa-apa, itu hanya akan membuat hati kita tertekan," celotehku. Ah sepertinya tidak nyambung tapi terserah aku tak paham. Kalau kata Siska kan aku lemot."Masa sih! Kamu juga masih menyimpan kebencian kan pada mantan suami kamu. Lalu itu apa namanya?" Ah Yusuf malah menyindir. Aku kan bingung mau jawab apa."Siapa bilang. Saya bukan benci, tapi saya tak mau melihat wajahnya lagi. Saya sudah ikhlas kok dengan semua masa pahit itu," bantahku segera."Iya lah, perempuan mana mau dikalahkan. Biasanya tetap mau menang kok," sindir Yusuf lagi."Apaan sih," gerutuku.Entah apa yang terjadi dengan malam ini. Kami berdua malah asik berbincang lewat sambungan telepon dalam waktu cukup lama. Nada suara Yusuf jug