Aku berjalan sambil membawa alat-alat kebersihan. Kaki ini telah masuk ke dalam ruangan yang orang-orang sebut bos besar. Ruangannya memang lebih luas dari ruangan, Bu Anjani. Aku mulai membersihkan setiap sudut ruangan yang ada di situ. Aku harus memastikan tak ada debu tersisa walau pun sedikit. Aku tak mau pria sombong itu marah karena aku bosan mendengarnya.Di atas meja kerja aku melihat ponsel pintar dengan tampilan yang mewah. Sepertinya milik Yusuf, pasti dia lupa membawanya. Aku tak berani menyentuh barang mahal itu. Aku hanya fokus membereskan tumpukan file-file di sampingnya.Tring!Bunyi notipikasi yang membuat pandanganku sedikit beralih pada benda pipih itu.[Saya akan pastikan semuanya aman. Pelaku pembakaran rumah tak akan diketahui siapa pun.]Sebuah notipikasi pesan singkat pada layar ponsel Yusuf yang tak sengaja aku baca. Bola mata sedikit membulat. Aku terkejut. "Pembakaran rumah!" desisku sendirian. Aku sungguh tercengang. Entah kenapa aku selalu sensitif saat m
"Saya harus pulang, Pak. Pekerjaan saya telah selesai," ucapku seraya pamit dengan sopan. Aku juga mengusap pipi ini yang basah. Menarik napas begitu dalam kemudian melanjutkan langkah meninggalkan Yusuf yang masih mematung.Langkahku cukup cepat sampai di parkiran motor. Aku tak lantas pergi. Berusaha menenangkan diri terlebih dahulu.Setelah itu aku pergi. Tapi, bukan untuk pulang ke rumah. Perjalananku terhenti di sebuah danau yang biasa aku kunjungi saat perasaan kalang kabut.Ssperti biasa, aku duduk di samping sepeda motorku. Menekuk lutut, memeluk lututku. Pandangan ke depan tak tentu arah. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, tapi tetap saja masih sulit kulakukan. Apa lagi sore ini aku melihat sekelilingnya nampak banyak orang-orang yang tengah asik pacaran.'Ya Tuhan, aku akan jalani prosesnya. Aku akan nikmati keadaan apa pun yang harus aku lewati. Kuatkan aku. Tegarkan aku dalam melewati hidup yang sulit ini,' lirihku dalam hati.Setelah itu aku berusaha melewati hari-hari set
Aku mengernyitkan dahi. Egois sekali dia. Memerintah di luar jam kerja tanpa meminta persetujuan dariku.Aku mendengus kesal. Tubuh Yusuf telah hilang dari pandanganku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku pikir dia sudah berubah karena sikapnya sedikit membaik. Tapi rupanya masih tetap sama.Sore hari saat pekerjaan telah selesai dan waktu pulang telah tiba, aku bersiap dengan kendaraan roda duaku."Permisi, Mba Mia. Pak Yusuf menunggu anda di danau sore ini," celetuk asisten Yusuf yang tiba-tiba menghampiriku.Dia pun tak jauh berbeda seperti bosnya belum sempat aku menjawab, dia langsung pergi begitu saja.Oke, aku akan temui Yusuf di danau sesuai dengan perintahnya. Aku tak mau dia murka dan membuat masalah baru lagi denganku.Gegas kulajukan kendaraan roda duaku menuju danau. Aku juga penasaran. Mengapa harus bertemu di danau, padahal kan dia bisa bicara di kantor saja.Sesampainya di danau, aku memarkirkan sepeda motorku kemudian mencari keberadaan Yusuf. Mengedarkan pandang
Aku berharap apa yang telah aku dengar dari mulut Yusuf itu adalah benar adanya. Sungguh aku merasa senang. Aku tak ingin memiliki musuh apalagi musuh seperti Yusuf yang selalu saja muncul dimana-mana."Apa kamu punya waktu?" Yusuf bertanya tanpa terlebih dahulu membalas ucapan terima kasih dariku. Tak mengapa, sikapnya yang berubah jadi ramah pun sudah cukup membuatku bisa bernapas dengan lega."Waktu untuk apa, Pak?" Gegas aku berbalik tanya. Kami berdua masih duduk di tempat yang sama dan belum beranjak."Jawab saja, tak usah berbalik tanya." Ah dia kumat lagi. "Waktu sibuk saya hanya disaat bekerja jadi office girl saja. Selebihnya saya free dan belum memiliki pekerjaan tambahan," jawabku. Tapi tunggu, apa jangan-jangan dia akan memberiku pekerjaan tambahan? Aku menepuk kening dengan bola mata membulat. 'Sepertinya aku salah menjawab. Aduh bagaimana ini!' gerutuku dalam hati."Saya akan bawa kamu ke rumah saya," ujar Yusuf dengan ajakannya.Aku terkejut seketika. Ke rumahnya! Ap
"Itu Bos di perusahaan tempat saya bekerja," jawabku seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Baiklah, saya pamit pulang dulu ya." Reyno langsung pamit. Aku jadi tidak enak kepadanya."Terima kasih oleh-olehnya ya, Pak," ucapku.Aku lihat wajah Reyno seketika berubah kecut. Dia menaiki kendaraan roda duanya kemudian melaju dengan kencang tanpa menyapa Yusuf padahal mereka berpapasan."Bukankah jam delapan, Pak?" Aku basa-basi pada Yusuf yang sudah berdiri di hadapanku."Jam delapan terlalu malam. Jadi, saya ubah jadi jam tujuh," jawabnya datar. Dia masih berdiri dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana."Baik, Pak. Silahkan duduk. Saya akan siap-siap terlebih dahulu," ucapku yang kemudian masuk dan menutup pintu.Aku sih tidak yakin kalau Yusuf akan duduk di kursi lapuk di depan teras. Aku mengintai terlebih dahulu dari celah gorden dan benar saja dugaanku. Yusuf tetap memilih berdiri. Mungkin dia jijik dengan kursi bututku.Aku punya ide. Apa dia akan kuat berdiri lama-lama
"Selamat malam, Pak Yusuf. Sedang apa?" Suara Fery bertanya pada Yusuf. Aku tak melihat seperti apa wajah Fery saat menyapa Yusuf aku membuang pandangan ke area liar. Aku tak sudi memandang wajah Fery yang selalu merasa menang saat bertemu denganku."Selamat malam, Pak Fery. Kebetulan saya sedang makan malam." Suara Yusuf menjawab. Aku tak tahu entah mereka berjabat tangan atau saling menyapa dengan senyuman, karena sungguh aku enggan melihat wajah mantan suamiku itu."Dengan, Mia?" Lagi, Fery terdengar bertanya seperti ragu. Akh telingaku rasana panas mendengarnya. Apalagi saat suara gelak tawa mengiringi setiap pertanyaan yang terdengar dari mulut Fery."Iya benar. Apa ada yang salah? Atau Pak Fery mau bergabung?" Yusuf terdengar menawarkan. "Tidak! Saya tidak mau!" Gegas aku memotong dengan menolaknya."Loh, kenapa?" Yusuf bertanya. Sementara Fery tampak mengulum senyum penuh misteri."Mohon maaf, Pak. Saya tidak mau makan malam bersama dia," jawabku dengan tegas pada Yusuf. Apa
Aku merasa ada yang menusuk jantung dengan tajam melihat kondisi, Khaila. Ternyata ada yang lebih pilu selain kisah hidupku. Nasibku dan Khaila tak jauh berbeda, hanya saja aku lebih mampu mengandalikan diri dibanding Khaila yang saat ini terpuruk dan depresi."Khai, jangan bicara begitu lagi. Reynaldi sudah pergi jauh. Dia tak akan kembali. Kamu jangan lagi memikirkannya. Ada Mas Yusuf yang akan selalu menemani kamu di sepanjang waktu," tutur Yusuf dengan lembutnya. Ia terus saja mengusap rambut Khaila dengan lembut.Namun, wajah Khaila seketika terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Ia menunduk sambil menggelengkan kepala. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas kain baju yang ia pakai. Perutnya nampak membuncit. Kehamilannya sudah terlihat jelas."Tidak, Mas. Jangan begitu. Mas Reynaldi masih hidup. Tapi wanita itu telah membunuhnya. Wanita itu yang telah mengambilnya dariku. Wanita sialan! Bresngsek!" Khaila menjadi histeris. Ia berteriak sekuat tenaga dan membanting setiap
"Saya tidak pantas, Bu. Saya hanya lulusan SMA. Saya juga belum pernah menjadi asisten pribadi." Aku mencoba menjelaskan. Aku merasa ada yang aneh."Mba Mia akan diajarkan. Coba saja dulu. Lagi pula segala sesuatu tak akan tahu kalau belum dicoba." Bu Anjani masih dengan permintaannya."Tapi, Bu-"Belum sempat lidah ini kembali melanjutkan penolakan, seketika Bu Anjani memotong."Saya tidak mau ada penolakan karena ini tujuannya baik. Mba Mia, akan mulai menjadi asisten pribadi Mas Yusuf mulai besok." Bu Anjani memberikan surat kuasa kepadaku."Ambilah surat ini untuk nanti berikan pada ketua office girl sebagai laporan kalau tugas Mba Mia telah dialihkan," imbuhnya seraya menyodorkan surat itu.Aku tetap merasa berat menerimanya. "Tapi, Bu-""Sudahlah, Mba Mia. Semua akan lebih baik dari sebelumnya," tekan Bu Anjani dengan yakin.Aku menghela napas berat. "Terima kasih atas kepercayaan Bu Anjani pada saya. Saya berjanji tak akan mengecewakan semua kepercayaan yang Bu Anjani berikan k