Aku menelan saliva penuh keresahan. "Syarat apa?" Aku bertanya.Yusuf nampak tersenyum sinis penuh misteri. Entah apa yang tengan ia pikirkan saat ini aku jadi cemas rasanya dengan diri sendiri."Syaratnya gampang. Kamu hanya cukup bekerja di kantor ini sebagai office girl dan setiap bulan saya akan potong gaji kamu sebagai cicilan membayar hutang kepada saya," jelasnya.Entah rasa apa yang harus aku tampilkan saat ini. serbuah pekerjaan disodorkan oleh Yusuf meski hanya menjadi office gilr, tak masalah.Namun, gajiku akan dipotongnya setiap bulan untuk melunasi hutang. Sungguh Yusuf bukan hanya manusia sombong, dia juga manusia pelit dan perhitungan. Padahal semalam aku sempat berpikir kalau di dalam dirinya masih terdapat sisi baik, ternyata aku salah."Kalau gaji saya dipotong, lantas saya akan makan apa?" Dengan perasaan lemas aku meberanikan diri bertanya."Kan masih ada sisa separuhnya lagi. Kamu pikir saya kejam akan memotong semua gaji kamu!" Yusuf menjawab dengan ketus.Rasan
Siska nampak mengukir senyum setelah mendengar kabar baik dariku. "Aku senang mendengarnya," ucapnya.Aku pun turut menampilkan wajah bahagia di hadapan Siska. Sudahlah, mungkin kepiluan ini belum mau pergi dari hidupku. Aku akan berusaha legowo menerimanya. Meski pun sesekali aku tetap saja bersedih dengan kisah kemarin. Kisah pahit yang telah usai. Kisah yang masih menyisakan masalah sampai detik ini.Aku dan Siska melanjutkan makan siang, menghabiskan makanan kami. Namun, tiba-tiba netraku menangkap sosok yang tak asing dalam pandangan. Seorang wanita yang duduk di belakang Siska. Sepertinya aku mengenalnya.'Siapa ya? Rasanya aku pernah melihat wanita itu. Rasanya wanita itu pernah mengganggu pikiranku,' gumamku dalam hati. Aku bertanya-tanya penuh rasa penasaran.Sesaat setelah wanita itu pergi, aku baru saja sadar kalau aku pernah membuntutinya. Ya ampun mengapa telat sekali ingatanku ini.Aku menepuk kening serasa menyesal. Harusnya aku ingat sejak tadi dan membuntuti wanita it
Di sepanjang pekerjaan yang aku lewati, aku merasa ada yang tetap mengganjal di hati. Kata-kata Yusuf tadi telah mengganggu pikiranku.Kini aku duduk sendirian di samping kantor, ditemani sebotol air mineral. Semilir angin yang kencang seolah sengaja mengibas-ngibaskan rambutku. Sejuknya melepaskan rasa lelahku membawanya pergi ke atas udara."Kamu tidak makan?" Suara bariton bertanya dari samping. Aku menoleh dan itu ternyata Yusuf. "Tidak, Pak," jawabku sekenanya. Entah dari mana dia datang. Jangankan di kantor miliknya ini, di tempat lain pun dia selalu muncul tiba-tiba. Aneh memang, Yusuf selalu muncul dimana-mana."Ini ambil!" Sebelah tangannya menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna putih yang entah apa isinya."Apa itu?" Aku menoleh tanpa senyuman. wajahku datar tanpa ekspresi."Ambil saja, jangan banyak tanya!" titahnya ketus.Aku memutar bola mata karena kesal. Lalu kuambil sebuah kantong plastik berwarna putih itu dari tangannya."Asisten saya membelikan makanan murah
Aku berjalan sambil membawa alat-alat kebersihan. Kaki ini telah masuk ke dalam ruangan yang orang-orang sebut bos besar. Ruangannya memang lebih luas dari ruangan, Bu Anjani. Aku mulai membersihkan setiap sudut ruangan yang ada di situ. Aku harus memastikan tak ada debu tersisa walau pun sedikit. Aku tak mau pria sombong itu marah karena aku bosan mendengarnya.Di atas meja kerja aku melihat ponsel pintar dengan tampilan yang mewah. Sepertinya milik Yusuf, pasti dia lupa membawanya. Aku tak berani menyentuh barang mahal itu. Aku hanya fokus membereskan tumpukan file-file di sampingnya.Tring!Bunyi notipikasi yang membuat pandanganku sedikit beralih pada benda pipih itu.[Saya akan pastikan semuanya aman. Pelaku pembakaran rumah tak akan diketahui siapa pun.]Sebuah notipikasi pesan singkat pada layar ponsel Yusuf yang tak sengaja aku baca. Bola mata sedikit membulat. Aku terkejut. "Pembakaran rumah!" desisku sendirian. Aku sungguh tercengang. Entah kenapa aku selalu sensitif saat m
"Saya harus pulang, Pak. Pekerjaan saya telah selesai," ucapku seraya pamit dengan sopan. Aku juga mengusap pipi ini yang basah. Menarik napas begitu dalam kemudian melanjutkan langkah meninggalkan Yusuf yang masih mematung.Langkahku cukup cepat sampai di parkiran motor. Aku tak lantas pergi. Berusaha menenangkan diri terlebih dahulu.Setelah itu aku pergi. Tapi, bukan untuk pulang ke rumah. Perjalananku terhenti di sebuah danau yang biasa aku kunjungi saat perasaan kalang kabut.Ssperti biasa, aku duduk di samping sepeda motorku. Menekuk lutut, memeluk lututku. Pandangan ke depan tak tentu arah. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, tapi tetap saja masih sulit kulakukan. Apa lagi sore ini aku melihat sekelilingnya nampak banyak orang-orang yang tengah asik pacaran.'Ya Tuhan, aku akan jalani prosesnya. Aku akan nikmati keadaan apa pun yang harus aku lewati. Kuatkan aku. Tegarkan aku dalam melewati hidup yang sulit ini,' lirihku dalam hati.Setelah itu aku berusaha melewati hari-hari set
Aku mengernyitkan dahi. Egois sekali dia. Memerintah di luar jam kerja tanpa meminta persetujuan dariku.Aku mendengus kesal. Tubuh Yusuf telah hilang dari pandanganku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku pikir dia sudah berubah karena sikapnya sedikit membaik. Tapi rupanya masih tetap sama.Sore hari saat pekerjaan telah selesai dan waktu pulang telah tiba, aku bersiap dengan kendaraan roda duaku."Permisi, Mba Mia. Pak Yusuf menunggu anda di danau sore ini," celetuk asisten Yusuf yang tiba-tiba menghampiriku.Dia pun tak jauh berbeda seperti bosnya belum sempat aku menjawab, dia langsung pergi begitu saja.Oke, aku akan temui Yusuf di danau sesuai dengan perintahnya. Aku tak mau dia murka dan membuat masalah baru lagi denganku.Gegas kulajukan kendaraan roda duaku menuju danau. Aku juga penasaran. Mengapa harus bertemu di danau, padahal kan dia bisa bicara di kantor saja.Sesampainya di danau, aku memarkirkan sepeda motorku kemudian mencari keberadaan Yusuf. Mengedarkan pandang
Aku berharap apa yang telah aku dengar dari mulut Yusuf itu adalah benar adanya. Sungguh aku merasa senang. Aku tak ingin memiliki musuh apalagi musuh seperti Yusuf yang selalu saja muncul dimana-mana."Apa kamu punya waktu?" Yusuf bertanya tanpa terlebih dahulu membalas ucapan terima kasih dariku. Tak mengapa, sikapnya yang berubah jadi ramah pun sudah cukup membuatku bisa bernapas dengan lega."Waktu untuk apa, Pak?" Gegas aku berbalik tanya. Kami berdua masih duduk di tempat yang sama dan belum beranjak."Jawab saja, tak usah berbalik tanya." Ah dia kumat lagi. "Waktu sibuk saya hanya disaat bekerja jadi office girl saja. Selebihnya saya free dan belum memiliki pekerjaan tambahan," jawabku. Tapi tunggu, apa jangan-jangan dia akan memberiku pekerjaan tambahan? Aku menepuk kening dengan bola mata membulat. 'Sepertinya aku salah menjawab. Aduh bagaimana ini!' gerutuku dalam hati."Saya akan bawa kamu ke rumah saya," ujar Yusuf dengan ajakannya.Aku terkejut seketika. Ke rumahnya! Ap
"Itu Bos di perusahaan tempat saya bekerja," jawabku seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Baiklah, saya pamit pulang dulu ya." Reyno langsung pamit. Aku jadi tidak enak kepadanya."Terima kasih oleh-olehnya ya, Pak," ucapku.Aku lihat wajah Reyno seketika berubah kecut. Dia menaiki kendaraan roda duanya kemudian melaju dengan kencang tanpa menyapa Yusuf padahal mereka berpapasan."Bukankah jam delapan, Pak?" Aku basa-basi pada Yusuf yang sudah berdiri di hadapanku."Jam delapan terlalu malam. Jadi, saya ubah jadi jam tujuh," jawabnya datar. Dia masih berdiri dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana."Baik, Pak. Silahkan duduk. Saya akan siap-siap terlebih dahulu," ucapku yang kemudian masuk dan menutup pintu.Aku sih tidak yakin kalau Yusuf akan duduk di kursi lapuk di depan teras. Aku mengintai terlebih dahulu dari celah gorden dan benar saja dugaanku. Yusuf tetap memilih berdiri. Mungkin dia jijik dengan kursi bututku.Aku punya ide. Apa dia akan kuat berdiri lama-lama
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe