"Mamah akan ke kantor polisi. Sepertinya harus bicara dengan, Fery," jawabku saat langkah ini berhenti sejenak."Bolehlah aku ikut?" Rani memasang wajah memelas."Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya aku tahu dengan maksud Rani.Dia hanya diam seraya menundukan wajah. Mungkin tak enak jika harus mengatakan alasannya kepadaku."Kamu rindu dengan lelaki itu?" tanyaku dengan sinis. Hatiku terasa terkikis kembali kala mengingat itu."Tidak kok, Mah," jawabnya pelan. Dia masih menunduk menyembunyikan alasannya."Ya sudah ikut saja," ajakku berusaha legowo, meski berat.Rani tak lagi membalas ucapanku. Dia hanya mengikuti langkahku dari belakang. Dia tetap ikut.Aku sudah memesan taksi online yang sudah siap di depan gerbang rumah.Isi dadaku bergetar emosi. Rasanya aku tak habis pikir kalau memang benar Fery yang menerorku hari ini. Aku tak segan-segan akan memberikan penegasan pada mantan suamiku itu kalau sampai itu benar adanya.Sesekali aku melirik ke samping, terlihat Rani m
Istrinya Reynaldi! Mau apa dia menghadang jalanku. Kok dia bisa tahu dengan mobil yang aku naiki? Aku mengernyitkan dahi. Merasa aneh."Mah, mau apa ya dia?" Rani bertanya kepadaku tampak resah."Tidak tahu. Kita keluar saja sebelum dia berulah."Aku dan Rani keluar dari mobil menghampiri istrinya Reynaldi. Aku berdiri di depan wanita yang menatap Rani tampak nyalang."Kalian mau menghindar dari saya?" Wanita itu bertanya seraya berpangku tangan. Di sampingnya juga terlihat dua laki-laki berseragam hitam sepertinya bodyguard."Maksudnya apa ya?" Aku berbalik tanya karena tak mengerti dengan maksudnya."Pelakor ini pergi dari rumah sakit tanpa sepengetahuan saya!" Telunjuk istri Reynaldi menggaris lurus pada wajah Rani yang tengah gugup."Cukup, ya! Jangan mencibir anak saya seperti itu," pintaku dengan halus. Wanita itu malah mendelik ke arahku dengan sinis."Oh, jadi kamu orang tuanya pelakor ini? Pantas saja kamu selalu ada di dekatnya!" cibir wanita itu yang belum juga usai."Sudah
Namun, belum sempat aku menceritakan deretan kejadian minggu ini, tubuh sahabatku nampak beranjak dari tempat duduk."Mau kemana?" Gegas aku bertanya."Aku harus pulang. Sorry ya tak bisa lama-lama mampirnya." Padahal belum lama dia datang, sudah mau pamit saja."Memangnya mau kemana buru-buru sekali?" tanyaku lagi. Sebenarnya aku ingin bercerita pada sahabatku itu, tapi dia sudah terlanjur pamit."Aku harus pulang karena ada suatu hal yang mesti kukerjakan di rumah," jawabnya sedaya menggantungkan tas selempang pada bahunya."Oke! Terima kasih oleh-olehnya dan hati-hati di jalan," ucapku yang segera dibalas anggukan kepala. Siska langsung keluar dari rumahku, pun denganku yang langsung masuk kamar usai meletakan oleh-oleh yang Siska bawa di atas nakas ruang tengah.Aku melanjutkan aktivitas menulis yang sempat tertunda. Setelah satu jam, aku mendengar seperti suatu benda terjatuh di ruang tengah. Aku terkejut kemudian menutup leptopku. Saat melirik benda bundar yang menempel didindi
"Kenapa Mamah diam? Katakan padaku siapa orang tuaku, Mah?" lirih Rani bertanya lagi. Ia sepertinya tak bisa menghentikan air matanya malam ini. Padahal yang aku tahu dia sedang sakit karena asam lambungnya naik."Mamah tidak tahu. Hanya Papah kamu yang mengetahui hal ini," jawabku seraya menggelengkan kepala.Rani kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menutupi luka dan kesedihan pada wajahnya. Suara sesegukan terdengar dari dalam dadanya. Sepertinya luka di dalam hatinya terasa pedih."Ternyata aku ini hanya anak yang tak diharapkan orang tuanya." Rani berdesis lirih.Aku segera memindahkan posisi dudukku lebih mendekat pada Rani. Aku mengusap bahunya memeluknya dari samping."Kamu tetap anak, Mamah. Mamah sudah menyayangimu dari dulu. Bahkan sampai sekarang saat rasa sakit ini menyayat hati dan perasaan Mamah, rasa sayang itu tetaplah ada tak akan pernah bisa hilang," tuturku dengan lembut berbisik di dekat telinga Rani. Aku sadar dengan kesedihan Rani saat ini.
Dengan lutut yang terasa lemas menahan beratnya beban di tubuh, aku keluar dari ruangan pemeriksaan bersama Siska. Rasanya tak kuasa aku melangkah mengurus kamar rawat inap untuk Rani. Aku kembali duduk di kursi dengan suara napas yang terasa sesak. Sulit rasanya mengatur napas ini."Kamu duduk saja. Aku yang akan mengurus kamar untuk Rani," ucap Siska yang segera kubalas dengan anggukan kepala.Siska segera melaksanakan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Sementara aku, hanya bisa terduduk lemas sambil menyenderkan kepala ini pada dinding tembok.Terasa berat dekali ujian demi ujian yang harus aku hadapai saat ini, tapi aku tetap berusaha menguatkan diri. Dengan mengusap kasar wajah ini aku terus mengatur napas guna menenangkan diri.Siapa Ayah dari janin yang ada di dalam rahimmu, Rani? Sementara belakangan ini kamu malah sering bergunta ganti lawan jenis. Aku pikir Rani bisa menjaga dari semua akibat yang bisa terjadi seperti saat ini. Aku kembali bangkit dan menemui Dokte
Fery masih tercengang mendengar syarat dariku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Wajahnya mematung dalam beberapa detik tampak kaku."Jawab, Fery! Setuju apa tidak dengan syarat yang aku ajukan? Aku hanya tidak mau melihat Rani melahirkan tanpa seorang suami. Aku tidak mau anaknya Rani lahir tanpa seorang sosok Ayah." Ada kepedihan yang susah payah kubendung di tengah-tengah tenggorokan saat mengatakan itu semua. Tapi, tak setetes pun kubiarkan air mata jatuh untuk lelaki seperti dia.Kali ini Fery menurunkan tatapannya. Dia menunduk entah malu atau hanya resah. Tapi yang aku lihat, tak ada lagi wajah murka yang ditampakan saat ini."Ya, aku mau. Aku juga harus bertanggung jawab. Meski pun sebenarnya aku tak yakim karena aku selalu menggunakan pengaman." Fery mengiyakan."Cukup! Jangan ragukan Rani lagi. Cukup aku saja yang kamu hancurkan, tapi jangan dengan Rani. Aku akan segera urus pencabutan laporan agar kamu bisa segera keluar dari sini. Kamu harus segera mengurus pernikahanmu
"Mengapa jadi seperti ini, Rani." Fery nampak bersendu sambil menekuk lututnya di atas pusara Rani.Saat ini Rani telah dimakamkan. Tak banyak yang mengantarkan kepergian Rani ke pemakaman. Hanya ada beberapa sahabat Rani yang masih perduli, dan saudaraku yang turut berduka dengan keadaanku.Aku melihat ada rona kesedihan yang terpancar dari pasang manik Fery saat ini. Di atas pusara Rani, dia hanya bisa menyesali semua yang telah terjadi diantara mereka.Tak mau berlama-lama dalam kesenduan, aku dan Siska segera membalikan badan. Kami melangkah dan akan segera pergi meninggalkan pemakaman."Tunggu, Mia." Suara Fery menahan langkahku yang sudah berjalan dalam beberapa langkah.Aku menoleh kepadanya. "Ada apa?" tanyaku.Aku lihat Fery segera berdiri dan berlari menghampiriku. "Maafkan aku," ucapnya seraya menunduk.Aku menghela napas kasar. Kata-kata maaf yang keluar dari mulut Fery hanyalah mengupas luka yang sudah kubungkus rapat."Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku
Aku sedikit tercengang. Mengapa pria sombong itu ada dimana-mana? Apa sesempit inikah kota Jakarta dengan jutaan penduduk?Aku menghembus napas kasar. Pria sombong itu tampak membulatkan kedua bola matanya kepadaku. Aku segera membuang pandangan ke arah yang lain."Dia farthner kerjaku," jawab Bu Anjani dengan santai. Pria itu menaikan sebelah bibirnya ke atas menatapku jijik."Saya permisi dulu ya, Bu. Saya tunggu kabar selanjutnya." Aku segera pamit dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Entah siapa nama pria sombong itu. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu saja dengan sikapnya yang sombong dan so kaya. Aku enggan berlama-lama dekat dengan dia karena yang ada pasti akan sakit hati atas hinaannya.Begitu aku telah keluar, segera ku tutup kembali pintunya. Aku tak langsung pergi, suara keras di dalam ruangan Bu Anjani menahan langkahku. Sejenak aku masih mematung di depan pintu ruangan Bu Anjani. Telinga ini menangkap kata hinaan di dalamnya."Untuk apa kamu bekerja sama