"Mengapa jadi seperti ini, Rani." Fery nampak bersendu sambil menekuk lututnya di atas pusara Rani.Saat ini Rani telah dimakamkan. Tak banyak yang mengantarkan kepergian Rani ke pemakaman. Hanya ada beberapa sahabat Rani yang masih perduli, dan saudaraku yang turut berduka dengan keadaanku.Aku melihat ada rona kesedihan yang terpancar dari pasang manik Fery saat ini. Di atas pusara Rani, dia hanya bisa menyesali semua yang telah terjadi diantara mereka.Tak mau berlama-lama dalam kesenduan, aku dan Siska segera membalikan badan. Kami melangkah dan akan segera pergi meninggalkan pemakaman."Tunggu, Mia." Suara Fery menahan langkahku yang sudah berjalan dalam beberapa langkah.Aku menoleh kepadanya. "Ada apa?" tanyaku.Aku lihat Fery segera berdiri dan berlari menghampiriku. "Maafkan aku," ucapnya seraya menunduk.Aku menghela napas kasar. Kata-kata maaf yang keluar dari mulut Fery hanyalah mengupas luka yang sudah kubungkus rapat."Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku
Aku sedikit tercengang. Mengapa pria sombong itu ada dimana-mana? Apa sesempit inikah kota Jakarta dengan jutaan penduduk?Aku menghembus napas kasar. Pria sombong itu tampak membulatkan kedua bola matanya kepadaku. Aku segera membuang pandangan ke arah yang lain."Dia farthner kerjaku," jawab Bu Anjani dengan santai. Pria itu menaikan sebelah bibirnya ke atas menatapku jijik."Saya permisi dulu ya, Bu. Saya tunggu kabar selanjutnya." Aku segera pamit dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Entah siapa nama pria sombong itu. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu saja dengan sikapnya yang sombong dan so kaya. Aku enggan berlama-lama dekat dengan dia karena yang ada pasti akan sakit hati atas hinaannya.Begitu aku telah keluar, segera ku tutup kembali pintunya. Aku tak langsung pergi, suara keras di dalam ruangan Bu Anjani menahan langkahku. Sejenak aku masih mematung di depan pintu ruangan Bu Anjani. Telinga ini menangkap kata hinaan di dalamnya."Untuk apa kamu bekerja sama
Masih ada sisa harta yang tidak hangus terbakar api. Aku menggenggam erat semuanya di depan dada. Ada beberapa orang yang bertanya namun aku tak bisa menjawab. Lidahku terasa kalu apa lagi saat melihat sekeliling rumahku yang sudah hangus.***"Sudah, Mia. Jangan terus-menerus dipikirkan. Aku yakin Tuhan akan mengganti semua yang telah hangus dengan berlipat ganda," ucap Siska.Dia nampak duduk di kursi yang berada di sampingku. Saat ini aku menumpang di rumah Siska setelah rumahku hangus dilalap api. Polisi pun tengah melakukan penyelidikan mengenai penyebab kebakaran.Aku duduk di depan. Merenungi kehidupan yang sungguh terasa memilukan. Siska sahabat baikku, dia yang selalu menolongku dan menenangkan perasaanku."Aku hanya masih merasa aneh dengan rumahku, Sis. Mengapa harus terbakar? Dari mana api itu berasal?" Dengan suara yang masih lesu aku membalas ucapan Siska."Serahkan saja pada pihak kepolisian." Siska membalas lagi.Aku menghela napas lesuku. Begitu sulit sekali untuk seb
Aku menghentikan langkah saat suara Bu Anjani menahanku. Sedikit menoleh ke arah wanita dengan paras india itu."Ada apa lagi, Bu?" tanyaku dengan suara lesu. Tak ada semangat lagi rasanya."Duduk kembali!" titah Bu Anjani seraya meluruskan tangannya pada kursi tadi. Dia menyuruhku kembali duduk. Aku menaikan kedua alisku. Tercengang rasanya."Saya belum selesai bicara. Duduklah kembali, Mba Mia. Saya masih ingin bicara dengan, Mba Mia," pinta Bu Anjani.Aku yang masih merasa aneh, kemudian duduk kembali di kursi yang sama. Aku melihat wajah Bu Anjani terlihat resah. Apa yang ada dalam pikirannya ya?"Bu Anjani, mau bicara apa lagi?" Aku memberanikan diri dengan bertanya kembali. Ada rasa gelisah di dalam dada yang berusaha aku telan."Jujur, naskah Mba Mia telah saya baca sampai selesai. Isinya sangat bagus. Konflik dan penyelesaiannya juga selaras. Banyak sekali pesan moral yang terkandung di dalamnya. Saya merasa yakin kalau naskah ini akan menarik minat banyak penonton apabila dib
Aku menaruh harapan besar. Akan tetapi wajah petugas berseragam coklat itu tampak layu."Sepertinya ada yang melempar bensin ke dalam rumah Ibu dengan botol ini. Sayangnya sampai saat ini kami masih belum menemukan bukti mengenai pelakunya. Tapi Ibu tak usah khawatir, kami akan melanjutkan penyelidikan ini," jelas Pak Polisi.Aku segera mengangguk paham. Aku menelan kecewa. Tapi meski pun begitu aku menaruh harapan besar pada kepolisian. Aku yakin pelakunya pasti akan segera tertangkap.Aku segera beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah keluar kantor polisi. Langkah yang berat rasanya. Ada gambaran seseorang yang tiba-tiba muncul dibenakku."Apa ini perbuatan, Fery?" Aku bertanya-tanya. Tiba-tiba emosiku naik saat mengingat mantan suami yang kini telah bebas. Kalau sampai benar dia pelakunya, maka tak akan pernah ada lagi kata maaf baginya.Aku segera mengendarai kendaraan roda duaku. Entah kenapa pikiranku membawaku ke sebuah rumah yang besar yang pernah aku tinggali beberapa bulan
Fery kini nampak emosi namun aku masih berusaha tenang. Aku hanya ingin bicara baik-baik saat ini. Aku tak mau lagi terus-terusan memiliki masalah dengan mantan suamiku itu."Mengapa kamu lagi-lagi menuduhku, Mia? Tempo lalu kamu menuduhku melakukan teror di rumahmu. Lalu sekarang kamu menuduhku telah membakar rumahmu. Kenapa kamu ini, Mia? Aku yang pernah bersalah bukan berarti terus-terusan melakukan kesalahan," sangkal Fery. Panjang lebar dia meyakinkan aku."Tapi, polisi telah menemukan bukti kalau rumahku memang dibakar seseorang." Aku masih bersi kukuh. Aku juga merasa yakin dan tak mau kalah."Tapi seseorang itu bukanlah aku, Mia!" Dengan tegas Fery menyanggah.Aku menarik napas kasar. Emosiku rasanya sudah naik ke atas ubun-ubun. Tapi, terus-menerus ku tahan agar tetap tenang."Lalu, siapa?" Suaraku sedikit menurun."Ya mana aku tahu! Aku tidak takut sekali pun polisi menyelidiki lebih lanjut lagi, karena aku tidak bersalah." Dengan yakinnya Fery membela diri.Aku mengalihkan
Pria sombong itu menatapku nanar tanpa sedikit pun terlihat iba."Bagaimana?"Dia malah bertanya tanpa mengangkat sepeda motor yang menindih kakiku. Seumur hidup baru kali ini aku bertemu seorang pria yang tak memiliki hati seperti dia."Oke! Saya akan bertanggung jawab!" balasku tanpa bisa berpikir panjang. Sial memang. Diantara deretan kendaraan yang lalu lalang bahkan tak ada satu pun diantara mereka yang ingin menolongku. Atau mungkin wajah Yusuf yang sombong dan menyeramkan sehingga orang-orang enggan untuk menghentikan kendaraannya.Saat ini kakiku sudah mencapai puncak kesakitan. Aku bahkan merasa sudah seperti tak memiliki kaki lagi. Ingin menangis, tapi air mata tak bisa keluar. Mungkin sudah kering oleh kisah piluku yang sebelumnya.Yusuf si pria sombong yang menyebalkan itu tampak mulai mengangkat motorku. Dia memindahkan sedikit ke belakang dan kakiku mulai bisa dirasakan kembali.Aku menghela napas lega. Akhirnya kakiku masih bersatu dengan tubuhku, padahal sebelumnya aku
Siska menatapku tampak serius. "Aku tidak yakin. Aku merasa kamu tengah bermasalah, Mia," kata Siska dengan yakinnya."Masalahku hanya satu, Sis. Aku masih belum menemukan dalang yang menyebabkan kebakaran rumahku. Semua itu cukup mengganggu pikiranku sampai-sampai terbawa lamunan saat aku mengendarai motor. Aku terjatuh di pinggih jalan. Beruntung masih selamat dan tak ada luka serius." Aku mengelak."Masa sih?" Siska nampaknya belum yakin. Aku hanya mengangguk karena tak bisa bicara banyak."Iya, Sis. Tak ada yang lain. Aku tidur dulu ya. Hari ini sungguh melelahkan." Aku segera segera beranjak dari tempat duduk dan memilih masuk ke kamar. Aku tak bisa bicara panjang lebar dengan Siska. Isi kepalaku terasa berat dan pusing.Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang di kamar tamu milik Siska yang kini aku isi untuk sementara waktu.Aku menantap langit-langit kamar. Mengapa masalah datang silih berganti mengujiku. Aku yang rapuh merasa tak terlalu kuat. Setelah pasangan yang diambil oran