Fery masih tercengang mendengar syarat dariku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Wajahnya mematung dalam beberapa detik tampak kaku."Jawab, Fery! Setuju apa tidak dengan syarat yang aku ajukan? Aku hanya tidak mau melihat Rani melahirkan tanpa seorang suami. Aku tidak mau anaknya Rani lahir tanpa seorang sosok Ayah." Ada kepedihan yang susah payah kubendung di tengah-tengah tenggorokan saat mengatakan itu semua. Tapi, tak setetes pun kubiarkan air mata jatuh untuk lelaki seperti dia.Kali ini Fery menurunkan tatapannya. Dia menunduk entah malu atau hanya resah. Tapi yang aku lihat, tak ada lagi wajah murka yang ditampakan saat ini."Ya, aku mau. Aku juga harus bertanggung jawab. Meski pun sebenarnya aku tak yakim karena aku selalu menggunakan pengaman." Fery mengiyakan."Cukup! Jangan ragukan Rani lagi. Cukup aku saja yang kamu hancurkan, tapi jangan dengan Rani. Aku akan segera urus pencabutan laporan agar kamu bisa segera keluar dari sini. Kamu harus segera mengurus pernikahanmu
"Mengapa jadi seperti ini, Rani." Fery nampak bersendu sambil menekuk lututnya di atas pusara Rani.Saat ini Rani telah dimakamkan. Tak banyak yang mengantarkan kepergian Rani ke pemakaman. Hanya ada beberapa sahabat Rani yang masih perduli, dan saudaraku yang turut berduka dengan keadaanku.Aku melihat ada rona kesedihan yang terpancar dari pasang manik Fery saat ini. Di atas pusara Rani, dia hanya bisa menyesali semua yang telah terjadi diantara mereka.Tak mau berlama-lama dalam kesenduan, aku dan Siska segera membalikan badan. Kami melangkah dan akan segera pergi meninggalkan pemakaman."Tunggu, Mia." Suara Fery menahan langkahku yang sudah berjalan dalam beberapa langkah.Aku menoleh kepadanya. "Ada apa?" tanyaku.Aku lihat Fery segera berdiri dan berlari menghampiriku. "Maafkan aku," ucapnya seraya menunduk.Aku menghela napas kasar. Kata-kata maaf yang keluar dari mulut Fery hanyalah mengupas luka yang sudah kubungkus rapat."Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku
Aku sedikit tercengang. Mengapa pria sombong itu ada dimana-mana? Apa sesempit inikah kota Jakarta dengan jutaan penduduk?Aku menghembus napas kasar. Pria sombong itu tampak membulatkan kedua bola matanya kepadaku. Aku segera membuang pandangan ke arah yang lain."Dia farthner kerjaku," jawab Bu Anjani dengan santai. Pria itu menaikan sebelah bibirnya ke atas menatapku jijik."Saya permisi dulu ya, Bu. Saya tunggu kabar selanjutnya." Aku segera pamit dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Entah siapa nama pria sombong itu. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu saja dengan sikapnya yang sombong dan so kaya. Aku enggan berlama-lama dekat dengan dia karena yang ada pasti akan sakit hati atas hinaannya.Begitu aku telah keluar, segera ku tutup kembali pintunya. Aku tak langsung pergi, suara keras di dalam ruangan Bu Anjani menahan langkahku. Sejenak aku masih mematung di depan pintu ruangan Bu Anjani. Telinga ini menangkap kata hinaan di dalamnya."Untuk apa kamu bekerja sama
Masih ada sisa harta yang tidak hangus terbakar api. Aku menggenggam erat semuanya di depan dada. Ada beberapa orang yang bertanya namun aku tak bisa menjawab. Lidahku terasa kalu apa lagi saat melihat sekeliling rumahku yang sudah hangus.***"Sudah, Mia. Jangan terus-menerus dipikirkan. Aku yakin Tuhan akan mengganti semua yang telah hangus dengan berlipat ganda," ucap Siska.Dia nampak duduk di kursi yang berada di sampingku. Saat ini aku menumpang di rumah Siska setelah rumahku hangus dilalap api. Polisi pun tengah melakukan penyelidikan mengenai penyebab kebakaran.Aku duduk di depan. Merenungi kehidupan yang sungguh terasa memilukan. Siska sahabat baikku, dia yang selalu menolongku dan menenangkan perasaanku."Aku hanya masih merasa aneh dengan rumahku, Sis. Mengapa harus terbakar? Dari mana api itu berasal?" Dengan suara yang masih lesu aku membalas ucapan Siska."Serahkan saja pada pihak kepolisian." Siska membalas lagi.Aku menghela napas lesuku. Begitu sulit sekali untuk seb
Aku menghentikan langkah saat suara Bu Anjani menahanku. Sedikit menoleh ke arah wanita dengan paras india itu."Ada apa lagi, Bu?" tanyaku dengan suara lesu. Tak ada semangat lagi rasanya."Duduk kembali!" titah Bu Anjani seraya meluruskan tangannya pada kursi tadi. Dia menyuruhku kembali duduk. Aku menaikan kedua alisku. Tercengang rasanya."Saya belum selesai bicara. Duduklah kembali, Mba Mia. Saya masih ingin bicara dengan, Mba Mia," pinta Bu Anjani.Aku yang masih merasa aneh, kemudian duduk kembali di kursi yang sama. Aku melihat wajah Bu Anjani terlihat resah. Apa yang ada dalam pikirannya ya?"Bu Anjani, mau bicara apa lagi?" Aku memberanikan diri dengan bertanya kembali. Ada rasa gelisah di dalam dada yang berusaha aku telan."Jujur, naskah Mba Mia telah saya baca sampai selesai. Isinya sangat bagus. Konflik dan penyelesaiannya juga selaras. Banyak sekali pesan moral yang terkandung di dalamnya. Saya merasa yakin kalau naskah ini akan menarik minat banyak penonton apabila dib
Aku menaruh harapan besar. Akan tetapi wajah petugas berseragam coklat itu tampak layu."Sepertinya ada yang melempar bensin ke dalam rumah Ibu dengan botol ini. Sayangnya sampai saat ini kami masih belum menemukan bukti mengenai pelakunya. Tapi Ibu tak usah khawatir, kami akan melanjutkan penyelidikan ini," jelas Pak Polisi.Aku segera mengangguk paham. Aku menelan kecewa. Tapi meski pun begitu aku menaruh harapan besar pada kepolisian. Aku yakin pelakunya pasti akan segera tertangkap.Aku segera beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah keluar kantor polisi. Langkah yang berat rasanya. Ada gambaran seseorang yang tiba-tiba muncul dibenakku."Apa ini perbuatan, Fery?" Aku bertanya-tanya. Tiba-tiba emosiku naik saat mengingat mantan suami yang kini telah bebas. Kalau sampai benar dia pelakunya, maka tak akan pernah ada lagi kata maaf baginya.Aku segera mengendarai kendaraan roda duaku. Entah kenapa pikiranku membawaku ke sebuah rumah yang besar yang pernah aku tinggali beberapa bulan
Fery kini nampak emosi namun aku masih berusaha tenang. Aku hanya ingin bicara baik-baik saat ini. Aku tak mau lagi terus-terusan memiliki masalah dengan mantan suamiku itu."Mengapa kamu lagi-lagi menuduhku, Mia? Tempo lalu kamu menuduhku melakukan teror di rumahmu. Lalu sekarang kamu menuduhku telah membakar rumahmu. Kenapa kamu ini, Mia? Aku yang pernah bersalah bukan berarti terus-terusan melakukan kesalahan," sangkal Fery. Panjang lebar dia meyakinkan aku."Tapi, polisi telah menemukan bukti kalau rumahku memang dibakar seseorang." Aku masih bersi kukuh. Aku juga merasa yakin dan tak mau kalah."Tapi seseorang itu bukanlah aku, Mia!" Dengan tegas Fery menyanggah.Aku menarik napas kasar. Emosiku rasanya sudah naik ke atas ubun-ubun. Tapi, terus-menerus ku tahan agar tetap tenang."Lalu, siapa?" Suaraku sedikit menurun."Ya mana aku tahu! Aku tidak takut sekali pun polisi menyelidiki lebih lanjut lagi, karena aku tidak bersalah." Dengan yakinnya Fery membela diri.Aku mengalihkan
Pria sombong itu menatapku nanar tanpa sedikit pun terlihat iba."Bagaimana?"Dia malah bertanya tanpa mengangkat sepeda motor yang menindih kakiku. Seumur hidup baru kali ini aku bertemu seorang pria yang tak memiliki hati seperti dia."Oke! Saya akan bertanggung jawab!" balasku tanpa bisa berpikir panjang. Sial memang. Diantara deretan kendaraan yang lalu lalang bahkan tak ada satu pun diantara mereka yang ingin menolongku. Atau mungkin wajah Yusuf yang sombong dan menyeramkan sehingga orang-orang enggan untuk menghentikan kendaraannya.Saat ini kakiku sudah mencapai puncak kesakitan. Aku bahkan merasa sudah seperti tak memiliki kaki lagi. Ingin menangis, tapi air mata tak bisa keluar. Mungkin sudah kering oleh kisah piluku yang sebelumnya.Yusuf si pria sombong yang menyebalkan itu tampak mulai mengangkat motorku. Dia memindahkan sedikit ke belakang dan kakiku mulai bisa dirasakan kembali.Aku menghela napas lega. Akhirnya kakiku masih bersatu dengan tubuhku, padahal sebelumnya aku
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe