Pria sombong itu menatapku nanar tanpa sedikit pun terlihat iba."Bagaimana?"Dia malah bertanya tanpa mengangkat sepeda motor yang menindih kakiku. Seumur hidup baru kali ini aku bertemu seorang pria yang tak memiliki hati seperti dia."Oke! Saya akan bertanggung jawab!" balasku tanpa bisa berpikir panjang. Sial memang. Diantara deretan kendaraan yang lalu lalang bahkan tak ada satu pun diantara mereka yang ingin menolongku. Atau mungkin wajah Yusuf yang sombong dan menyeramkan sehingga orang-orang enggan untuk menghentikan kendaraannya.Saat ini kakiku sudah mencapai puncak kesakitan. Aku bahkan merasa sudah seperti tak memiliki kaki lagi. Ingin menangis, tapi air mata tak bisa keluar. Mungkin sudah kering oleh kisah piluku yang sebelumnya.Yusuf si pria sombong yang menyebalkan itu tampak mulai mengangkat motorku. Dia memindahkan sedikit ke belakang dan kakiku mulai bisa dirasakan kembali.Aku menghela napas lega. Akhirnya kakiku masih bersatu dengan tubuhku, padahal sebelumnya aku
Siska menatapku tampak serius. "Aku tidak yakin. Aku merasa kamu tengah bermasalah, Mia," kata Siska dengan yakinnya."Masalahku hanya satu, Sis. Aku masih belum menemukan dalang yang menyebabkan kebakaran rumahku. Semua itu cukup mengganggu pikiranku sampai-sampai terbawa lamunan saat aku mengendarai motor. Aku terjatuh di pinggih jalan. Beruntung masih selamat dan tak ada luka serius." Aku mengelak."Masa sih?" Siska nampaknya belum yakin. Aku hanya mengangguk karena tak bisa bicara banyak."Iya, Sis. Tak ada yang lain. Aku tidur dulu ya. Hari ini sungguh melelahkan." Aku segera segera beranjak dari tempat duduk dan memilih masuk ke kamar. Aku tak bisa bicara panjang lebar dengan Siska. Isi kepalaku terasa berat dan pusing.Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang di kamar tamu milik Siska yang kini aku isi untuk sementara waktu.Aku menantap langit-langit kamar. Mengapa masalah datang silih berganti mengujiku. Aku yang rapuh merasa tak terlalu kuat. Setelah pasangan yang diambil oran
Ya ampun, aku pikir siapa pria dengan setelan jas rapi bertamu sepagi ini. Siska benar-bebar deh. Pantas saja dia tidak mau menemui tamuku, rupanya tamunya mantan suamiku. Mau ngapain sih Fery datang ke rumah Siska."Kenapa kaki kamu, Mia?" Fery langsung bertanya saat melihat kakiku diperban."Tidak apa-apa. Mau apa kamu ke sini? Mau mengakui semuanya?" Nada sedikit tinggi. Aku tak bisa lagi ramah dengan mantan suamiku selama belum terbukti kalau dia tidak bersalah dalam kebakaran rumahku."Aku sudah melihat kondisi rumahmu. Aku turut berduka atas kejadian itu. Kamu bisa saja tinggal rumah bekas, Rani." Dia terdengar menawarkan."Tidak, aku tinggal akan tinggal dimana-mana selain di rumahku. Tak usah pikirkan hidupku. Semua ini juga terjadi karena kamu!" Aku yang masih yakin dengan tuduhanku.Fery nampak menghela napas kesal terhadapku. Dia masih berdiri di depan pintu. Aku tak mempersilahkannya masuk."Mia, kelak kamu akan tahu kalau penyebab kebakaran bukanlah aku!" tegasnya."Sudah
Menjelang sore tiba saat perbincanganku dengan Ibu pemilik rumah telesai, aku kembali mengendarai kendaraan roda duaku.Proses jual beli rumah telah selesai dengan dihadiri saksi RT setempat dan juga suami si Ibu pemilik rumah tadi.Saat ini aku sudah berada di jalan raya. Ada seseorang yang harus aku temui sebelum pulang ke rumah Siska. Sore ini memang sedikit mendung, tapi aku tak bisa menunda waktu saat Yusuf terus saja meneleponku meminta bertemu di coffe shop. Aku yakin dia akan meminta uang ganti rugi itu. Lagi pula, siapa sih yang memberikan nomor ponselku pada Yusuf?Aku tak bisa menolak. Ancamannya sungguh menyeramkan. Satu minggu berlalu membuat si pria sombong itu tak mau menunggu lama-lama.Kendaraan roda duaku telah menepi dan masuk tempat parkir di salah satu coffe shop di pinggir jalan."Pake acara ngajak ketemu di sini sengala." Aku segera turun dari motor kemudian melangkah masuk ke dalam coffe shop.Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Terlihat di pojok kanan a
Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari sudah sore dan aku harus segera pulang ke rumah Siska.Aku berharap, Yusuf tak lagi mengganggu hidupku mengenai kerusakan mobilnya yang tak seberapa menurut penglihatanku.Saat ini aku sudah tak memiliki uang. Sisa harta perhiasan berlian pun telah dipakai membeli rumah bahkan masih ada sisa hutang lima puluh juta lagi yang mesti aku bayar.Aku merenung sejenak sesaat setelah sampai di depan rumah Siska. Aku duduk di teras rumahnya memandang tak tentu arah, Sambil menahan dagu oleh kedua telapak tangan, aku memilih diam.Napasku hari ini sedikit lancar, namun entah dengan esok. Harus kemana aku mencari pekerjaan. Aku juga belum tahu keputusan kerja sama dengan Bu Anjani, karena Siska yang mewakilinya.Aku yang terus berusaha kuat, nyatanya lemah. Air mata kembali menetes seiring dengan tetesan air hujan yang mulai membasahi bumi."Hei! Mengapa melamun di depan rumah?" Sebelah telapak tangan terasa menepuk bahuku.Aku segera mengusap wajahku
Saat ini, aku telah sampai di depan rumah baruku diantar Siska. Rumah yang sederhana namun terlihat cukup nyaman.Aku segera membuka kunci pintunya yang telah kuambil tadi sehingga kami berdua masuk secara bersamaan.Rumah dan isinya telah rapih. Ibu yang kemarin sepertinya telah merapihkan dan membereskannya. Syukurlah, jadi aku tinggal menempatinya."Aku langsung pamit ya, Mia. Aku ada pekerjaan soalnya," celetuk Siska setelah melihat-lihat rumah sederhanaku yang tak terlalu besar."Oke. Terima kasih ya, Sis. Sudah mengantarkan aku. Terima kasih juga karena kamu sudah memberikan tumpangan selama beberapa hari kemarin," balasku mengukir senyum."Sama-sama. Nanti aku akan sering main ke sini," ucapnya lagi dengan riang."Tentu saja. Aku tunggu," balasku lagi sambil menyeringai.Kemudian Siska pergi dan kini tinggalah aku sendiri. Aku segera merogoh saku celana guna mengambil ponsel pintarku. Aku akan menghubungi, Bu Anjani.Benda pipih itu telah aku tempelkan pada telinga. Terdengar s
Apa! Jadi adiknya Bu Anjani depresi. Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa kemarin Yusuf terlihat menyalahkanku. Aku menggelengkan kepala semakin tak mengerti saja dengan maksud Yusuf."Saya tidak mengenal adik, Bu Anjani dan Pak Yusuf." Aku menggelengkan kepala sambil menampilkan wajah bingung."Tapi, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku dengan bertanya kembali. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan."Saya tidak mengerti, Mba Mia. Mengapa Mas Yusuf marah dengan, Mba Mia. Apa Mba Mia masuk dalam masalah adik saya?" Bu Anjani yang juga nampak heran malah berbalik tanya.Tentu kepala ini kembali lagi menggeleng. "Saya tidak paham, Bu," tekanku."Saya akan jelaskan pada, Mba Mia. Adik saya bernama, Khaila. Dia depresi karena suaminya meninggal. Suaminya meninggal saat tengah berselingkuh karena kecelakaan. Hal yang membuat adik saya depresi adalah, saat ini dia tengah mengandung buah cinta dengan suaminya yang meninggal di dekat selingkuhannya. Lamunannya cukup dalam, sehingga dia
Usai pertemuan dengan Bu Anjani, aku mampir ke makam anak kandungku dan Rani. Aku menekuk lutut di makam yang berdampingan itu. Sengaja aku makamkan Rani di dekat makam anak kandungku.Aku mendo'akan keduanya. Semoga Tuhan menjaga mereka di sisi-Nya. Air mata bahkan sempat ingin menetes saat mengingat keduanya. Namun, tetap berusaha aku bendung.Aku yang hanya hidup sebatang kara tanpa orang tua di sisi, saat ini pun telah ditinggalkan seorang anak. Terlebih dengan pasangan hidup, bisa diartikan aku sudah gelap memikirkannya. Saat ini perasaan trauma menyelimuti hati dan pikiran.Aku beranjak dari sana. Berjalan lebih menjauh menuju motor yang terparkir di depan pemakaman. Kuusap air mata yang sempat menetes. Kutelan kepedihan yang tak seharusnya aku ingat kembali. Setelah itu aku pulang dengan hati yang terasa lesu.***"Assalamualaikum!" Seseorang mengucapkan salam seraya mengetuk pintu. Pagi ini aku baru saja selesai mandi dan memakai pakaian.Gegas aku berjalan menuju pintu utama
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe