Saat ini, aku telah sampai di depan rumah baruku diantar Siska. Rumah yang sederhana namun terlihat cukup nyaman.Aku segera membuka kunci pintunya yang telah kuambil tadi sehingga kami berdua masuk secara bersamaan.Rumah dan isinya telah rapih. Ibu yang kemarin sepertinya telah merapihkan dan membereskannya. Syukurlah, jadi aku tinggal menempatinya."Aku langsung pamit ya, Mia. Aku ada pekerjaan soalnya," celetuk Siska setelah melihat-lihat rumah sederhanaku yang tak terlalu besar."Oke. Terima kasih ya, Sis. Sudah mengantarkan aku. Terima kasih juga karena kamu sudah memberikan tumpangan selama beberapa hari kemarin," balasku mengukir senyum."Sama-sama. Nanti aku akan sering main ke sini," ucapnya lagi dengan riang."Tentu saja. Aku tunggu," balasku lagi sambil menyeringai.Kemudian Siska pergi dan kini tinggalah aku sendiri. Aku segera merogoh saku celana guna mengambil ponsel pintarku. Aku akan menghubungi, Bu Anjani.Benda pipih itu telah aku tempelkan pada telinga. Terdengar s
Apa! Jadi adiknya Bu Anjani depresi. Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa kemarin Yusuf terlihat menyalahkanku. Aku menggelengkan kepala semakin tak mengerti saja dengan maksud Yusuf."Saya tidak mengenal adik, Bu Anjani dan Pak Yusuf." Aku menggelengkan kepala sambil menampilkan wajah bingung."Tapi, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku dengan bertanya kembali. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan."Saya tidak mengerti, Mba Mia. Mengapa Mas Yusuf marah dengan, Mba Mia. Apa Mba Mia masuk dalam masalah adik saya?" Bu Anjani yang juga nampak heran malah berbalik tanya.Tentu kepala ini kembali lagi menggeleng. "Saya tidak paham, Bu," tekanku."Saya akan jelaskan pada, Mba Mia. Adik saya bernama, Khaila. Dia depresi karena suaminya meninggal. Suaminya meninggal saat tengah berselingkuh karena kecelakaan. Hal yang membuat adik saya depresi adalah, saat ini dia tengah mengandung buah cinta dengan suaminya yang meninggal di dekat selingkuhannya. Lamunannya cukup dalam, sehingga dia
Usai pertemuan dengan Bu Anjani, aku mampir ke makam anak kandungku dan Rani. Aku menekuk lutut di makam yang berdampingan itu. Sengaja aku makamkan Rani di dekat makam anak kandungku.Aku mendo'akan keduanya. Semoga Tuhan menjaga mereka di sisi-Nya. Air mata bahkan sempat ingin menetes saat mengingat keduanya. Namun, tetap berusaha aku bendung.Aku yang hanya hidup sebatang kara tanpa orang tua di sisi, saat ini pun telah ditinggalkan seorang anak. Terlebih dengan pasangan hidup, bisa diartikan aku sudah gelap memikirkannya. Saat ini perasaan trauma menyelimuti hati dan pikiran.Aku beranjak dari sana. Berjalan lebih menjauh menuju motor yang terparkir di depan pemakaman. Kuusap air mata yang sempat menetes. Kutelan kepedihan yang tak seharusnya aku ingat kembali. Setelah itu aku pulang dengan hati yang terasa lesu.***"Assalamualaikum!" Seseorang mengucapkan salam seraya mengetuk pintu. Pagi ini aku baru saja selesai mandi dan memakai pakaian.Gegas aku berjalan menuju pintu utama
Langkah kaki ini cukup cepat. Namun, tak kutemukan lagi wanita yang tadi tengah berbincang melalui ponsel pintarnya.Kuedarkan pandangan kesekeliling area, namun hasilnya nihil. Wanita tadi begitu cepat menghilang tanpa jejak. Aku jadi menyesal karena terlambat.Entah kenapa perasaanku berkata ada yang mencurigakan pada wanita tadi. Saat aku menoleh ke belakang, nampak Siska melambaikan tangan. Aku sadar terlalu lama aku meninggalkan meja makan. Gegas aku kembali ke meja yang dipenuhi oleh makanan yang istimewa siang ini. Akhirnya kita makan siang bersama di sana. Baik keluarga Siska mau pun calon suaminya, semuanya terlihat ramah kepadaku membuat perasaan ini nyaman saat bersama mereka. Aku seperti memiliki keluarga baru lagi.Usai makan siang bersama saat perjalanan pulang, aku menepi sejenak. Kulihat kembali wanita tadi sedang berdiri di pinggir jalan seperti tengah menunggu seseorang. Aku yang kembali penasaran berniat membuntuti saat wanita tadi masuk ke dalam taksi.Di sebuah tam
Pria itu tersenyum ramah kemudian pergi dengan kendaraan roda duanya di depan rumahku.Aku mengangkat paper bag berwarna putih itu. Isinya pasti cake yang enak soalnya aku sudah sering membelinya dulu. Gegas aku segera masuk ke dalam rumah untuk mandi dan menatap oleh-oleh cake pemberian tetanggaku tadi. Rasanya aku beruntung bisa membeli rumah di daerah sini karena lingkungan dan orang-orangnya baik-baik.***Hari-hari yang membosankan membuatku bertekad mencari pekerjaan. Lagi pula aku memang harus bekerja karena kebutuhan dan perut ini harus terisi. Hanya bermodalkan ijaza SMA aku berangkat dari rumah. Ijaza yang beruntung masih bisa kudapatkan dari sekolahku dahulu karena yang tersimpan di rumah, sudah hangus terbakar.Dengan modal hanya keyakinan dan pengalaman aku mengendarai kendaraan roda dua menuju sebuah kantor yang saat ini tengah membutuhkan karyawan sesuai dengan informasi dari internet.Aku bersemangat sekali memulai hari-hari yang baru. Dengan memakai kemeja putih dan r
Aku mendongak. Kemudian mengambil tissue yang disodorkan seorang pria yang kukenal."Terima kasih," ucapku. Gegas kuhapus air mata di pipi dengan beberapa lembar tissue. Pria itu tetanggaku. Dia bernama, Reyno. Baru saja kemarin dia memberikan aku cake, sekarang malah tiba-tiba muncul di depanku. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada di depanku."Mba Mia kenapa menangis sendirian?" Reyno duduk di kursi yang sama denganku.Aku menggelengkan kepala. "Tidak menangis, saya hanya kelilipan saja kok," jawabku beralasan."Masa sih, Mba. Kelilipan kok sampai sesegukan begitu." Reyno sepertinya tak yakin dengan alasanku."Pak Reyno sedang apa di sini? Kok tiba-tiba muncul. Saya sampai kaget," tanyaku basa-basi."Tadi saya lewat, tak sengaja melihat Mba Mia duduk sendirian. Saya berhenti lalu mendekat, ternyata Mba Mia sedang menangis," jawab Reyno."Oh begitu." Aku manggut-manggut. Air mata ini telah mengering.Rasanya tidak enak kalau harus bercerita dengan pria yang baru kukenal."I
Aku tercengang. Makan malam pun seketika terhenti."Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya. Benda pipih telah aku turunkan dari telinga. Aku mematung dalam beberapa detik.Kuakhiri makan malamku kali ini dengan perasaan cemas. Ingin rasanya aku menelepon kembali Bu Anjani untuk menanyakan ada apa dengannya, akan tetapi aku tak kuasa saat mengingat kembali nada suara Bu Anjani yang tinggi sedikit menyentak."Ada apa ini ya? Apa ada masalah dengan naskahku?"Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah karena gelisah. Sesekali aku mengusap kening yang tiba-tiba terasa berat. Ake merasa khawatir sesuatu terjadi dengan naskahku. Padahal hanya dari situlah aku menggantungkan harapan untuk melunasi cicilan sisa pembayaran rumah ini.Ah ya sudahlah, apa pun yang terjadi dengan naskah itu aku hanya bisa pasrah saja. Aku memilih masuk ke kamar dan membaringkan tubuh ini di atas ranjang. Walau kelopak mata susah untuk terpejam, aku berusaha cepat tidur karena esok harus ke kantor Bu Anjani.Keesokan har
"Apa yang ingin kamu jelaskan, Mba Mia?"Aku menghela napas lega saat mendengar Bu Anjani bertanya. Tentu saja aku tak akan menunda kesempatan ini. Bola mata ini terasa basah, namun berusaha kubendung agar tak meneteskan air mata."Bu Anjani masih ingatkah dengan kisah saya? Kisah pilu saya yang menyakitkan," tanyaku dengan bola mata sedikit sendu."Apa hubungannya?" Bu Anjani menyilangkan kedua tangan seraya menyenderkan kepala pada kursi."Tentu saja ada, Bu. Karena ini berhubungan dengan anak saya," jelasku.Bu Anjani tampak mengernyitkan dahi. Dia melirik ke arah Yusuf yang acuh tak acuh."Sudahlah, Anjani. Untuk apa kamu memberi kesempatan pada dia untuk bicara. Wanita itu pasti ingin membela dirinya dengan berkata bohong," tukas Yusuf yang langsung membantah ucapanku, padahal aku baru saja akan memulai pembelaan."Biarkan dia bicara dulu, Mas. Setidaknya kita tidak menutup mata. Aku memang sudah tahu kisah, Mba Mia. Aku pernah melakukan talkshow dengannya." Bu Anjani berbicara p
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe