Apa! Jadi adiknya Bu Anjani depresi. Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa kemarin Yusuf terlihat menyalahkanku. Aku menggelengkan kepala semakin tak mengerti saja dengan maksud Yusuf."Saya tidak mengenal adik, Bu Anjani dan Pak Yusuf." Aku menggelengkan kepala sambil menampilkan wajah bingung."Tapi, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku dengan bertanya kembali. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan."Saya tidak mengerti, Mba Mia. Mengapa Mas Yusuf marah dengan, Mba Mia. Apa Mba Mia masuk dalam masalah adik saya?" Bu Anjani yang juga nampak heran malah berbalik tanya.Tentu kepala ini kembali lagi menggeleng. "Saya tidak paham, Bu," tekanku."Saya akan jelaskan pada, Mba Mia. Adik saya bernama, Khaila. Dia depresi karena suaminya meninggal. Suaminya meninggal saat tengah berselingkuh karena kecelakaan. Hal yang membuat adik saya depresi adalah, saat ini dia tengah mengandung buah cinta dengan suaminya yang meninggal di dekat selingkuhannya. Lamunannya cukup dalam, sehingga dia
Usai pertemuan dengan Bu Anjani, aku mampir ke makam anak kandungku dan Rani. Aku menekuk lutut di makam yang berdampingan itu. Sengaja aku makamkan Rani di dekat makam anak kandungku.Aku mendo'akan keduanya. Semoga Tuhan menjaga mereka di sisi-Nya. Air mata bahkan sempat ingin menetes saat mengingat keduanya. Namun, tetap berusaha aku bendung.Aku yang hanya hidup sebatang kara tanpa orang tua di sisi, saat ini pun telah ditinggalkan seorang anak. Terlebih dengan pasangan hidup, bisa diartikan aku sudah gelap memikirkannya. Saat ini perasaan trauma menyelimuti hati dan pikiran.Aku beranjak dari sana. Berjalan lebih menjauh menuju motor yang terparkir di depan pemakaman. Kuusap air mata yang sempat menetes. Kutelan kepedihan yang tak seharusnya aku ingat kembali. Setelah itu aku pulang dengan hati yang terasa lesu.***"Assalamualaikum!" Seseorang mengucapkan salam seraya mengetuk pintu. Pagi ini aku baru saja selesai mandi dan memakai pakaian.Gegas aku berjalan menuju pintu utama
Langkah kaki ini cukup cepat. Namun, tak kutemukan lagi wanita yang tadi tengah berbincang melalui ponsel pintarnya.Kuedarkan pandangan kesekeliling area, namun hasilnya nihil. Wanita tadi begitu cepat menghilang tanpa jejak. Aku jadi menyesal karena terlambat.Entah kenapa perasaanku berkata ada yang mencurigakan pada wanita tadi. Saat aku menoleh ke belakang, nampak Siska melambaikan tangan. Aku sadar terlalu lama aku meninggalkan meja makan. Gegas aku kembali ke meja yang dipenuhi oleh makanan yang istimewa siang ini. Akhirnya kita makan siang bersama di sana. Baik keluarga Siska mau pun calon suaminya, semuanya terlihat ramah kepadaku membuat perasaan ini nyaman saat bersama mereka. Aku seperti memiliki keluarga baru lagi.Usai makan siang bersama saat perjalanan pulang, aku menepi sejenak. Kulihat kembali wanita tadi sedang berdiri di pinggir jalan seperti tengah menunggu seseorang. Aku yang kembali penasaran berniat membuntuti saat wanita tadi masuk ke dalam taksi.Di sebuah tam
Pria itu tersenyum ramah kemudian pergi dengan kendaraan roda duanya di depan rumahku.Aku mengangkat paper bag berwarna putih itu. Isinya pasti cake yang enak soalnya aku sudah sering membelinya dulu. Gegas aku segera masuk ke dalam rumah untuk mandi dan menatap oleh-oleh cake pemberian tetanggaku tadi. Rasanya aku beruntung bisa membeli rumah di daerah sini karena lingkungan dan orang-orangnya baik-baik.***Hari-hari yang membosankan membuatku bertekad mencari pekerjaan. Lagi pula aku memang harus bekerja karena kebutuhan dan perut ini harus terisi. Hanya bermodalkan ijaza SMA aku berangkat dari rumah. Ijaza yang beruntung masih bisa kudapatkan dari sekolahku dahulu karena yang tersimpan di rumah, sudah hangus terbakar.Dengan modal hanya keyakinan dan pengalaman aku mengendarai kendaraan roda dua menuju sebuah kantor yang saat ini tengah membutuhkan karyawan sesuai dengan informasi dari internet.Aku bersemangat sekali memulai hari-hari yang baru. Dengan memakai kemeja putih dan r
Aku mendongak. Kemudian mengambil tissue yang disodorkan seorang pria yang kukenal."Terima kasih," ucapku. Gegas kuhapus air mata di pipi dengan beberapa lembar tissue. Pria itu tetanggaku. Dia bernama, Reyno. Baru saja kemarin dia memberikan aku cake, sekarang malah tiba-tiba muncul di depanku. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada di depanku."Mba Mia kenapa menangis sendirian?" Reyno duduk di kursi yang sama denganku.Aku menggelengkan kepala. "Tidak menangis, saya hanya kelilipan saja kok," jawabku beralasan."Masa sih, Mba. Kelilipan kok sampai sesegukan begitu." Reyno sepertinya tak yakin dengan alasanku."Pak Reyno sedang apa di sini? Kok tiba-tiba muncul. Saya sampai kaget," tanyaku basa-basi."Tadi saya lewat, tak sengaja melihat Mba Mia duduk sendirian. Saya berhenti lalu mendekat, ternyata Mba Mia sedang menangis," jawab Reyno."Oh begitu." Aku manggut-manggut. Air mata ini telah mengering.Rasanya tidak enak kalau harus bercerita dengan pria yang baru kukenal."I
Aku tercengang. Makan malam pun seketika terhenti."Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya. Benda pipih telah aku turunkan dari telinga. Aku mematung dalam beberapa detik.Kuakhiri makan malamku kali ini dengan perasaan cemas. Ingin rasanya aku menelepon kembali Bu Anjani untuk menanyakan ada apa dengannya, akan tetapi aku tak kuasa saat mengingat kembali nada suara Bu Anjani yang tinggi sedikit menyentak."Ada apa ini ya? Apa ada masalah dengan naskahku?"Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah karena gelisah. Sesekali aku mengusap kening yang tiba-tiba terasa berat. Ake merasa khawatir sesuatu terjadi dengan naskahku. Padahal hanya dari situlah aku menggantungkan harapan untuk melunasi cicilan sisa pembayaran rumah ini.Ah ya sudahlah, apa pun yang terjadi dengan naskah itu aku hanya bisa pasrah saja. Aku memilih masuk ke kamar dan membaringkan tubuh ini di atas ranjang. Walau kelopak mata susah untuk terpejam, aku berusaha cepat tidur karena esok harus ke kantor Bu Anjani.Keesokan har
"Apa yang ingin kamu jelaskan, Mba Mia?"Aku menghela napas lega saat mendengar Bu Anjani bertanya. Tentu saja aku tak akan menunda kesempatan ini. Bola mata ini terasa basah, namun berusaha kubendung agar tak meneteskan air mata."Bu Anjani masih ingatkah dengan kisah saya? Kisah pilu saya yang menyakitkan," tanyaku dengan bola mata sedikit sendu."Apa hubungannya?" Bu Anjani menyilangkan kedua tangan seraya menyenderkan kepala pada kursi."Tentu saja ada, Bu. Karena ini berhubungan dengan anak saya," jelasku.Bu Anjani tampak mengernyitkan dahi. Dia melirik ke arah Yusuf yang acuh tak acuh."Sudahlah, Anjani. Untuk apa kamu memberi kesempatan pada dia untuk bicara. Wanita itu pasti ingin membela dirinya dengan berkata bohong," tukas Yusuf yang langsung membantah ucapanku, padahal aku baru saja akan memulai pembelaan."Biarkan dia bicara dulu, Mas. Setidaknya kita tidak menutup mata. Aku memang sudah tahu kisah, Mba Mia. Aku pernah melakukan talkshow dengannya." Bu Anjani berbicara p
Pria yang selalu saja sombong itu sepertinya memang tak mau menurunkan kesombongannya. Yusuf segera beranjak dari tempat duduk kemudian berkata pada Bu Anjani acuh tak acuh,"Terserah!" ujarnya dengan singkat tanpa kejelasan. Dia kemudian pergi dari ruangan Bu Anjani, meninggalkan kami berdua tanpa permisi.Sepertinya Yusuf kesulitan memaafkan kesalahan yang tak aku lakukan, atau bisa jadi karena dia terlanjur membenciku."Maafkan atas sikap kakak saya, Mba Mia. Keadaan saat ini memang sulit diterima oleh kami. Khaila di rumah sakit jiwa karena sedang pemulihan, itu adalah tamparan yang keras bagi keluarga kami. Kami bahkan berusaha dengan susah payah media tak mengetahui keadaan Khaila saat ini." Bu Anjani menjelaskan kondisi keluarga.Aku mengangguk paham. "Ya, Bu. Saya paham kok. Tidak mudah menerima semuanya. Apalagi saat ini Rani pun telah tiada. Bu Anjani dan Pak Yusuf pasti merasa bingung harus melampiaskan kekecewaan pada siapa," balasku yang berusaha mengerti."Bagaimana deng