"Kok Mba Mia diam saja. Bisakah kita makan siang bersama?" Reyno bertanya lagi saat aku masih saja diam belum ada jawaban.Aku berusaha tersenyum walau palsu. Aku menganggukan kepala. "Bisa kok, Pak Reyno. Mari kita menyusul teman saya bersama-sama," jawabku.Aku tak bisa menolak. Selama ini Reyno cukup baik kepadaku. Kami mengendarai sepeda motor masing-masing menuju brown caffe dimana Siska tengah menunggu di sana.Sesampainya di brown caffe, awalnya Siska terkejut dengan kedatanganku yang berdua bersama Reyno. Tapi aku segera menjelaskan mengenai Reyno yang adalah tetangga baruku. Aku memperkenalkan mereka berdua.Kami makan siang bertiga di brown caffe. Aneh sih, kok mau-maunya Reyno makan siang bersama aku dan Siska. Tapi tak mengapa selama Reyno masih bersikap baik dan sopan."Oh iya, Pak Reyno. Single apa bagaimana?" celetuk Siska yang bertanya pada Reyno di tengah-tengah mengunyah makanan. Aku hanya diam saja menyimak."Saya single, Mba. Saya hanya hidup berdua dengan anak say
Wanita paruh baya yang bertitel bos di hadapanku nampak murka. Entah apa yang terjadi dengannya padahal dirasa-rasa aku tak memiliki salah apalagi kenal dengannya."Saya tidak mau asisten seperti dia!" Jari telunjuknya melurus ke wajahku. Aku tercengang kemudian menurunkan wajahku."Tapi, Bu. Pengalaman dan kriterianya Mia Lestari sesuai dengan yang Ibu minta," balas temannya Reyno di sampingku. Dia sedikit membelaku dan terlihat berusaha meyakinkan bosnya."Tidak!" tegasnya."Wanita ini tidak sesuai dengan kriteria saya. Lihat penampilannya. Kamu pikir saya tidak akan malu saat membawanya bertemu cliant! Saya tidak suka wanita ini. Cari asisten yang bari yang perfect!" imbuhnya dengan perintah kepada teman Reyno.Sementara aku, aku hanya bisa mengatur napas yang terasa sesak mendengar cibiran wanita di hadapanku. Mengapa lagi-lagi aku bertemu orang kaya yang seenaknya seperti dia. Aku pikir hanya Yusuf saja manusia paling sombong, ternyata aku salah karena wanita di hadapanku tak jau
Aku mengusap air mata yang bisa-bisanya terus luruh padahal aku sudah membendungnya. Mungkin aku sedang berada dalam posisi lelah."Apa boleh saya pergi?" Aku meminta izin pada Yusuf yang masih saja diam. Mungkin tak punya alasan lagi untuk mencibirku."Terserah!" balasnya pelan.Aku segera menaiki kendaraan roda duaku. Aku melajukannya dengan kencang seperti sudah tak perduli dengan keselematanku. Aku meninggalkan pria sombong itu yang masih mematung entah apa yang terjadi dengannya.Beruntung sekali Tuhan masih melindungi perjalananku. Aku sampai ke depan rumah dalam keadaan selamat padahal pedal gas kutarik sangat kencang.Lututku terasa lemas sekali. Aku berusaha berjalan menuju kamar mandi. Aku harus mandi guna menyegarkan tubuhku yang sudah lesu.Setelah itu aku mencari lowongan pekerjaan di internet. Mataku berbinar saat melihat lowongan office girl tertera pada layar ponselku. Gegas aku menghubungi adminnya. Tak mengapa jika harus mejadi office girl karena roda kehidupan beput
Terasa ada yang menusuk urat nadiku. Perih rasanya. Aku berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar-samar kulihat sosok pria tengah duduk di sampingku. Namun tak begitu jelas. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menutup kembali kelopak mata kemudian membukanya lagi. Suasana terlihat berbeda saat aku melihat ke atas langit-langit.Aku melihat ke atas. Seperti di sebuah ruangan. Aku juga melihat ada cairan infusan yang menggantung di atasku. Tanganku yang terasa perih rupanya sengaja ditusuk oleh jarum infusan. Dimana aku?Aku melihat ke arah samping kiri, nampak seorang pria tengah duduk sampil menutup matanya.'Yusuf!' batinku langsung terkejut setelah memastikan ada pria sombong itu di sampingku.Kenapa ada Yusuf? Kenapa aku bisa berada di ruangan ini? Ruangan yang sepertinya berada di rumah sakit. Kenapa denganku?Kepalaku kembali pusing. Aku mengingat-ingat kembali kejadian sebelumnya. Oh ya, tubuhku lemas. Sepertinya aku pingsan. Tapi, mengapa tiba-tiba ada dirumah sakit.
Gegas kusap pipi ini. Tak mau membiarkan bulir bening luruh terlalu lama."Apa saya bisa pulang sekarang ya?" desisku bertanya berharap Yusuf bisa menjawabnya."Memangnya kamu sudah membaik?" Yusuf malah berbalik tanya.Aku pun segera mengangguk. "Saya sudah sehat kok," tagasku. Aku berusaha meyakinkan Yusuf walau sejujurnya tubuh ini masih terasa lemas."Bagaimana bisa kamu pulang dalam keadaan lemas seperti ini, makan sendiri pun kamu tak sanggup," sindir Yusuf."Tak apa, Pak. Saya hanya lemas karena kelaparan saja. Saya yakin setelah ini akan segera membaik," takanku sekali lagi. Aku berusaha meyakinkan Yusuf.Dia nampak menghela napas kesal. "Saya akan segera menghubungi petugas," ucapnya.Yusuf beranjak dari tempat duduk, dia berjalan keluar entah mau kemana. Mungkin akan segera mencabutku dari sini. Lalu, setelah ini apa masalah akan semakin bertambah berat?Aku memejamkan mata. Mengatur napas yang rasanya sesak mengingat hidupku sendiri. Sesekali aku merutuki semua yang telah t
Dengan perasaan cemas dan tangan sedikit gemetar aku memutar handle pintu karena Yusuf terus saja mengetuk pintu rumahku."Ada apa, Pak? Mau mampirkah?" Aku bertanya dengan ragu. Satu bibir bagian bawah aku gigit karena resah. Aku hanya khawatir Yusuf akan meminta uang karena aku tak punya uang untuk saat ini.Namun yang kulihat. Pria sombong itu terlihat mengangkat sebelah tangannya ke hadapanku. Sebelah tangan yang memegang boks makanan."Makanan kamu tertinggal di dalam mobil. Ambil!" titahnya tanpa sedikit pun mengukir senyum."Oh i-iya, terima kasih," ucapku seraya menghela napas lega. Aku seperti bisa bernapas dengan tenang saat tahu kalau Yusuf hanya mengantarkan makananku yang tertinggal di dalam mobilnya.Setelah aku mengambil boks makanan yang diberikannya, ia langsung berbalik badan dan kembali menuju mobil mewahnya.Mobil mewah milik Yusuf tampak melaju dengan hati-hati meninggalkan pekarangan rumahku. Gegas saku segera masuk kembali dan mengunci pintunya. Aku tak mau kala
Aku menelan saliva resah. Mengatur napas yang memburu. Dari semalam rasanya belum tuntas juga keadaan yang menegangkan seperti ini."Saya disuruh mengantarkan sepeda motor berwarna merah milik wanita bernama, Mia. Lokasinya adalah rumah ini," lapornya. "Huuh!" Napasku kembali lancar. Aku pikir apa. "Memangnya motor saya masih ada?" tanyaku lagi."Iya," jawabnya datar. Kemudian terlihat seseorang melajukan kendaraan roda dua milikku serta tas selempang yang dipegangnya. Aku langsung menyeringai senang melihat harta terakhirku yang ternyata masih ada. "Syukurlah! Akhirnya motorku masih ada. Tasku juga," ucapku dengan bahagia sambil tersenyum senang dengan sendirinya."Tapi, apa ponsel saya masih ada di dalamnya?" Aku bertanya lagi pada pria berwajah sangar di hadapanku."Saya tidak membuka isinya," jawabnya. Pria yang satunya lagi turun dari motor dan berjalan mendekatiku lalu menyerahkan kunci motor serta tas selempangku."Terima kasih," ucapku.Mereka kemudian pamit dan pergi begit
Aku menelan saliva penuh keresahan. "Syarat apa?" Aku bertanya.Yusuf nampak tersenyum sinis penuh misteri. Entah apa yang tengan ia pikirkan saat ini aku jadi cemas rasanya dengan diri sendiri."Syaratnya gampang. Kamu hanya cukup bekerja di kantor ini sebagai office girl dan setiap bulan saya akan potong gaji kamu sebagai cicilan membayar hutang kepada saya," jelasnya.Entah rasa apa yang harus aku tampilkan saat ini. serbuah pekerjaan disodorkan oleh Yusuf meski hanya menjadi office gilr, tak masalah.Namun, gajiku akan dipotongnya setiap bulan untuk melunasi hutang. Sungguh Yusuf bukan hanya manusia sombong, dia juga manusia pelit dan perhitungan. Padahal semalam aku sempat berpikir kalau di dalam dirinya masih terdapat sisi baik, ternyata aku salah."Kalau gaji saya dipotong, lantas saya akan makan apa?" Dengan perasaan lemas aku meberanikan diri bertanya."Kan masih ada sisa separuhnya lagi. Kamu pikir saya kejam akan memotong semua gaji kamu!" Yusuf menjawab dengan ketus.Rasan