Terasa ada yang menusuk urat nadiku. Perih rasanya. Aku berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar-samar kulihat sosok pria tengah duduk di sampingku. Namun tak begitu jelas. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menutup kembali kelopak mata kemudian membukanya lagi. Suasana terlihat berbeda saat aku melihat ke atas langit-langit.Aku melihat ke atas. Seperti di sebuah ruangan. Aku juga melihat ada cairan infusan yang menggantung di atasku. Tanganku yang terasa perih rupanya sengaja ditusuk oleh jarum infusan. Dimana aku?Aku melihat ke arah samping kiri, nampak seorang pria tengah duduk sampil menutup matanya.'Yusuf!' batinku langsung terkejut setelah memastikan ada pria sombong itu di sampingku.Kenapa ada Yusuf? Kenapa aku bisa berada di ruangan ini? Ruangan yang sepertinya berada di rumah sakit. Kenapa denganku?Kepalaku kembali pusing. Aku mengingat-ingat kembali kejadian sebelumnya. Oh ya, tubuhku lemas. Sepertinya aku pingsan. Tapi, mengapa tiba-tiba ada dirumah sakit.
Gegas kusap pipi ini. Tak mau membiarkan bulir bening luruh terlalu lama."Apa saya bisa pulang sekarang ya?" desisku bertanya berharap Yusuf bisa menjawabnya."Memangnya kamu sudah membaik?" Yusuf malah berbalik tanya.Aku pun segera mengangguk. "Saya sudah sehat kok," tagasku. Aku berusaha meyakinkan Yusuf walau sejujurnya tubuh ini masih terasa lemas."Bagaimana bisa kamu pulang dalam keadaan lemas seperti ini, makan sendiri pun kamu tak sanggup," sindir Yusuf."Tak apa, Pak. Saya hanya lemas karena kelaparan saja. Saya yakin setelah ini akan segera membaik," takanku sekali lagi. Aku berusaha meyakinkan Yusuf.Dia nampak menghela napas kesal. "Saya akan segera menghubungi petugas," ucapnya.Yusuf beranjak dari tempat duduk, dia berjalan keluar entah mau kemana. Mungkin akan segera mencabutku dari sini. Lalu, setelah ini apa masalah akan semakin bertambah berat?Aku memejamkan mata. Mengatur napas yang rasanya sesak mengingat hidupku sendiri. Sesekali aku merutuki semua yang telah t
Dengan perasaan cemas dan tangan sedikit gemetar aku memutar handle pintu karena Yusuf terus saja mengetuk pintu rumahku."Ada apa, Pak? Mau mampirkah?" Aku bertanya dengan ragu. Satu bibir bagian bawah aku gigit karena resah. Aku hanya khawatir Yusuf akan meminta uang karena aku tak punya uang untuk saat ini.Namun yang kulihat. Pria sombong itu terlihat mengangkat sebelah tangannya ke hadapanku. Sebelah tangan yang memegang boks makanan."Makanan kamu tertinggal di dalam mobil. Ambil!" titahnya tanpa sedikit pun mengukir senyum."Oh i-iya, terima kasih," ucapku seraya menghela napas lega. Aku seperti bisa bernapas dengan tenang saat tahu kalau Yusuf hanya mengantarkan makananku yang tertinggal di dalam mobilnya.Setelah aku mengambil boks makanan yang diberikannya, ia langsung berbalik badan dan kembali menuju mobil mewahnya.Mobil mewah milik Yusuf tampak melaju dengan hati-hati meninggalkan pekarangan rumahku. Gegas saku segera masuk kembali dan mengunci pintunya. Aku tak mau kala
Aku menelan saliva resah. Mengatur napas yang memburu. Dari semalam rasanya belum tuntas juga keadaan yang menegangkan seperti ini."Saya disuruh mengantarkan sepeda motor berwarna merah milik wanita bernama, Mia. Lokasinya adalah rumah ini," lapornya. "Huuh!" Napasku kembali lancar. Aku pikir apa. "Memangnya motor saya masih ada?" tanyaku lagi."Iya," jawabnya datar. Kemudian terlihat seseorang melajukan kendaraan roda dua milikku serta tas selempang yang dipegangnya. Aku langsung menyeringai senang melihat harta terakhirku yang ternyata masih ada. "Syukurlah! Akhirnya motorku masih ada. Tasku juga," ucapku dengan bahagia sambil tersenyum senang dengan sendirinya."Tapi, apa ponsel saya masih ada di dalamnya?" Aku bertanya lagi pada pria berwajah sangar di hadapanku."Saya tidak membuka isinya," jawabnya. Pria yang satunya lagi turun dari motor dan berjalan mendekatiku lalu menyerahkan kunci motor serta tas selempangku."Terima kasih," ucapku.Mereka kemudian pamit dan pergi begit
Aku menelan saliva penuh keresahan. "Syarat apa?" Aku bertanya.Yusuf nampak tersenyum sinis penuh misteri. Entah apa yang tengan ia pikirkan saat ini aku jadi cemas rasanya dengan diri sendiri."Syaratnya gampang. Kamu hanya cukup bekerja di kantor ini sebagai office girl dan setiap bulan saya akan potong gaji kamu sebagai cicilan membayar hutang kepada saya," jelasnya.Entah rasa apa yang harus aku tampilkan saat ini. serbuah pekerjaan disodorkan oleh Yusuf meski hanya menjadi office gilr, tak masalah.Namun, gajiku akan dipotongnya setiap bulan untuk melunasi hutang. Sungguh Yusuf bukan hanya manusia sombong, dia juga manusia pelit dan perhitungan. Padahal semalam aku sempat berpikir kalau di dalam dirinya masih terdapat sisi baik, ternyata aku salah."Kalau gaji saya dipotong, lantas saya akan makan apa?" Dengan perasaan lemas aku meberanikan diri bertanya."Kan masih ada sisa separuhnya lagi. Kamu pikir saya kejam akan memotong semua gaji kamu!" Yusuf menjawab dengan ketus.Rasan
Siska nampak mengukir senyum setelah mendengar kabar baik dariku. "Aku senang mendengarnya," ucapnya.Aku pun turut menampilkan wajah bahagia di hadapan Siska. Sudahlah, mungkin kepiluan ini belum mau pergi dari hidupku. Aku akan berusaha legowo menerimanya. Meski pun sesekali aku tetap saja bersedih dengan kisah kemarin. Kisah pahit yang telah usai. Kisah yang masih menyisakan masalah sampai detik ini.Aku dan Siska melanjutkan makan siang, menghabiskan makanan kami. Namun, tiba-tiba netraku menangkap sosok yang tak asing dalam pandangan. Seorang wanita yang duduk di belakang Siska. Sepertinya aku mengenalnya.'Siapa ya? Rasanya aku pernah melihat wanita itu. Rasanya wanita itu pernah mengganggu pikiranku,' gumamku dalam hati. Aku bertanya-tanya penuh rasa penasaran.Sesaat setelah wanita itu pergi, aku baru saja sadar kalau aku pernah membuntutinya. Ya ampun mengapa telat sekali ingatanku ini.Aku menepuk kening serasa menyesal. Harusnya aku ingat sejak tadi dan membuntuti wanita it
Di sepanjang pekerjaan yang aku lewati, aku merasa ada yang tetap mengganjal di hati. Kata-kata Yusuf tadi telah mengganggu pikiranku.Kini aku duduk sendirian di samping kantor, ditemani sebotol air mineral. Semilir angin yang kencang seolah sengaja mengibas-ngibaskan rambutku. Sejuknya melepaskan rasa lelahku membawanya pergi ke atas udara."Kamu tidak makan?" Suara bariton bertanya dari samping. Aku menoleh dan itu ternyata Yusuf. "Tidak, Pak," jawabku sekenanya. Entah dari mana dia datang. Jangankan di kantor miliknya ini, di tempat lain pun dia selalu muncul tiba-tiba. Aneh memang, Yusuf selalu muncul dimana-mana."Ini ambil!" Sebelah tangannya menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna putih yang entah apa isinya."Apa itu?" Aku menoleh tanpa senyuman. wajahku datar tanpa ekspresi."Ambil saja, jangan banyak tanya!" titahnya ketus.Aku memutar bola mata karena kesal. Lalu kuambil sebuah kantong plastik berwarna putih itu dari tangannya."Asisten saya membelikan makanan murah
Aku berjalan sambil membawa alat-alat kebersihan. Kaki ini telah masuk ke dalam ruangan yang orang-orang sebut bos besar. Ruangannya memang lebih luas dari ruangan, Bu Anjani. Aku mulai membersihkan setiap sudut ruangan yang ada di situ. Aku harus memastikan tak ada debu tersisa walau pun sedikit. Aku tak mau pria sombong itu marah karena aku bosan mendengarnya.Di atas meja kerja aku melihat ponsel pintar dengan tampilan yang mewah. Sepertinya milik Yusuf, pasti dia lupa membawanya. Aku tak berani menyentuh barang mahal itu. Aku hanya fokus membereskan tumpukan file-file di sampingnya.Tring!Bunyi notipikasi yang membuat pandanganku sedikit beralih pada benda pipih itu.[Saya akan pastikan semuanya aman. Pelaku pembakaran rumah tak akan diketahui siapa pun.]Sebuah notipikasi pesan singkat pada layar ponsel Yusuf yang tak sengaja aku baca. Bola mata sedikit membulat. Aku terkejut. "Pembakaran rumah!" desisku sendirian. Aku sungguh tercengang. Entah kenapa aku selalu sensitif saat m