Aku tercengang. Makan malam pun seketika terhenti."Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya. Benda pipih telah aku turunkan dari telinga. Aku mematung dalam beberapa detik.Kuakhiri makan malamku kali ini dengan perasaan cemas. Ingin rasanya aku menelepon kembali Bu Anjani untuk menanyakan ada apa dengannya, akan tetapi aku tak kuasa saat mengingat kembali nada suara Bu Anjani yang tinggi sedikit menyentak."Ada apa ini ya? Apa ada masalah dengan naskahku?"Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah karena gelisah. Sesekali aku mengusap kening yang tiba-tiba terasa berat. Ake merasa khawatir sesuatu terjadi dengan naskahku. Padahal hanya dari situlah aku menggantungkan harapan untuk melunasi cicilan sisa pembayaran rumah ini.Ah ya sudahlah, apa pun yang terjadi dengan naskah itu aku hanya bisa pasrah saja. Aku memilih masuk ke kamar dan membaringkan tubuh ini di atas ranjang. Walau kelopak mata susah untuk terpejam, aku berusaha cepat tidur karena esok harus ke kantor Bu Anjani.Keesokan har
"Apa yang ingin kamu jelaskan, Mba Mia?"Aku menghela napas lega saat mendengar Bu Anjani bertanya. Tentu saja aku tak akan menunda kesempatan ini. Bola mata ini terasa basah, namun berusaha kubendung agar tak meneteskan air mata."Bu Anjani masih ingatkah dengan kisah saya? Kisah pilu saya yang menyakitkan," tanyaku dengan bola mata sedikit sendu."Apa hubungannya?" Bu Anjani menyilangkan kedua tangan seraya menyenderkan kepala pada kursi."Tentu saja ada, Bu. Karena ini berhubungan dengan anak saya," jelasku.Bu Anjani tampak mengernyitkan dahi. Dia melirik ke arah Yusuf yang acuh tak acuh."Sudahlah, Anjani. Untuk apa kamu memberi kesempatan pada dia untuk bicara. Wanita itu pasti ingin membela dirinya dengan berkata bohong," tukas Yusuf yang langsung membantah ucapanku, padahal aku baru saja akan memulai pembelaan."Biarkan dia bicara dulu, Mas. Setidaknya kita tidak menutup mata. Aku memang sudah tahu kisah, Mba Mia. Aku pernah melakukan talkshow dengannya." Bu Anjani berbicara p
Pria yang selalu saja sombong itu sepertinya memang tak mau menurunkan kesombongannya. Yusuf segera beranjak dari tempat duduk kemudian berkata pada Bu Anjani acuh tak acuh,"Terserah!" ujarnya dengan singkat tanpa kejelasan. Dia kemudian pergi dari ruangan Bu Anjani, meninggalkan kami berdua tanpa permisi.Sepertinya Yusuf kesulitan memaafkan kesalahan yang tak aku lakukan, atau bisa jadi karena dia terlanjur membenciku."Maafkan atas sikap kakak saya, Mba Mia. Keadaan saat ini memang sulit diterima oleh kami. Khaila di rumah sakit jiwa karena sedang pemulihan, itu adalah tamparan yang keras bagi keluarga kami. Kami bahkan berusaha dengan susah payah media tak mengetahui keadaan Khaila saat ini." Bu Anjani menjelaskan kondisi keluarga.Aku mengangguk paham. "Ya, Bu. Saya paham kok. Tidak mudah menerima semuanya. Apalagi saat ini Rani pun telah tiada. Bu Anjani dan Pak Yusuf pasti merasa bingung harus melampiaskan kekecewaan pada siapa," balasku yang berusaha mengerti."Bagaimana deng
"Kok Mba Mia diam saja. Bisakah kita makan siang bersama?" Reyno bertanya lagi saat aku masih saja diam belum ada jawaban.Aku berusaha tersenyum walau palsu. Aku menganggukan kepala. "Bisa kok, Pak Reyno. Mari kita menyusul teman saya bersama-sama," jawabku.Aku tak bisa menolak. Selama ini Reyno cukup baik kepadaku. Kami mengendarai sepeda motor masing-masing menuju brown caffe dimana Siska tengah menunggu di sana.Sesampainya di brown caffe, awalnya Siska terkejut dengan kedatanganku yang berdua bersama Reyno. Tapi aku segera menjelaskan mengenai Reyno yang adalah tetangga baruku. Aku memperkenalkan mereka berdua.Kami makan siang bertiga di brown caffe. Aneh sih, kok mau-maunya Reyno makan siang bersama aku dan Siska. Tapi tak mengapa selama Reyno masih bersikap baik dan sopan."Oh iya, Pak Reyno. Single apa bagaimana?" celetuk Siska yang bertanya pada Reyno di tengah-tengah mengunyah makanan. Aku hanya diam saja menyimak."Saya single, Mba. Saya hanya hidup berdua dengan anak say
Wanita paruh baya yang bertitel bos di hadapanku nampak murka. Entah apa yang terjadi dengannya padahal dirasa-rasa aku tak memiliki salah apalagi kenal dengannya."Saya tidak mau asisten seperti dia!" Jari telunjuknya melurus ke wajahku. Aku tercengang kemudian menurunkan wajahku."Tapi, Bu. Pengalaman dan kriterianya Mia Lestari sesuai dengan yang Ibu minta," balas temannya Reyno di sampingku. Dia sedikit membelaku dan terlihat berusaha meyakinkan bosnya."Tidak!" tegasnya."Wanita ini tidak sesuai dengan kriteria saya. Lihat penampilannya. Kamu pikir saya tidak akan malu saat membawanya bertemu cliant! Saya tidak suka wanita ini. Cari asisten yang bari yang perfect!" imbuhnya dengan perintah kepada teman Reyno.Sementara aku, aku hanya bisa mengatur napas yang terasa sesak mendengar cibiran wanita di hadapanku. Mengapa lagi-lagi aku bertemu orang kaya yang seenaknya seperti dia. Aku pikir hanya Yusuf saja manusia paling sombong, ternyata aku salah karena wanita di hadapanku tak jau
Aku mengusap air mata yang bisa-bisanya terus luruh padahal aku sudah membendungnya. Mungkin aku sedang berada dalam posisi lelah."Apa boleh saya pergi?" Aku meminta izin pada Yusuf yang masih saja diam. Mungkin tak punya alasan lagi untuk mencibirku."Terserah!" balasnya pelan.Aku segera menaiki kendaraan roda duaku. Aku melajukannya dengan kencang seperti sudah tak perduli dengan keselematanku. Aku meninggalkan pria sombong itu yang masih mematung entah apa yang terjadi dengannya.Beruntung sekali Tuhan masih melindungi perjalananku. Aku sampai ke depan rumah dalam keadaan selamat padahal pedal gas kutarik sangat kencang.Lututku terasa lemas sekali. Aku berusaha berjalan menuju kamar mandi. Aku harus mandi guna menyegarkan tubuhku yang sudah lesu.Setelah itu aku mencari lowongan pekerjaan di internet. Mataku berbinar saat melihat lowongan office girl tertera pada layar ponselku. Gegas aku menghubungi adminnya. Tak mengapa jika harus mejadi office girl karena roda kehidupan beput
Terasa ada yang menusuk urat nadiku. Perih rasanya. Aku berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar-samar kulihat sosok pria tengah duduk di sampingku. Namun tak begitu jelas. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menutup kembali kelopak mata kemudian membukanya lagi. Suasana terlihat berbeda saat aku melihat ke atas langit-langit.Aku melihat ke atas. Seperti di sebuah ruangan. Aku juga melihat ada cairan infusan yang menggantung di atasku. Tanganku yang terasa perih rupanya sengaja ditusuk oleh jarum infusan. Dimana aku?Aku melihat ke arah samping kiri, nampak seorang pria tengah duduk sampil menutup matanya.'Yusuf!' batinku langsung terkejut setelah memastikan ada pria sombong itu di sampingku.Kenapa ada Yusuf? Kenapa aku bisa berada di ruangan ini? Ruangan yang sepertinya berada di rumah sakit. Kenapa denganku?Kepalaku kembali pusing. Aku mengingat-ingat kembali kejadian sebelumnya. Oh ya, tubuhku lemas. Sepertinya aku pingsan. Tapi, mengapa tiba-tiba ada dirumah sakit.
Gegas kusap pipi ini. Tak mau membiarkan bulir bening luruh terlalu lama."Apa saya bisa pulang sekarang ya?" desisku bertanya berharap Yusuf bisa menjawabnya."Memangnya kamu sudah membaik?" Yusuf malah berbalik tanya.Aku pun segera mengangguk. "Saya sudah sehat kok," tagasku. Aku berusaha meyakinkan Yusuf walau sejujurnya tubuh ini masih terasa lemas."Bagaimana bisa kamu pulang dalam keadaan lemas seperti ini, makan sendiri pun kamu tak sanggup," sindir Yusuf."Tak apa, Pak. Saya hanya lemas karena kelaparan saja. Saya yakin setelah ini akan segera membaik," takanku sekali lagi. Aku berusaha meyakinkan Yusuf.Dia nampak menghela napas kesal. "Saya akan segera menghubungi petugas," ucapnya.Yusuf beranjak dari tempat duduk, dia berjalan keluar entah mau kemana. Mungkin akan segera mencabutku dari sini. Lalu, setelah ini apa masalah akan semakin bertambah berat?Aku memejamkan mata. Mengatur napas yang rasanya sesak mengingat hidupku sendiri. Sesekali aku merutuki semua yang telah t