Aku mendongak. Kemudian mengambil tissue yang disodorkan seorang pria yang kukenal."Terima kasih," ucapku. Gegas kuhapus air mata di pipi dengan beberapa lembar tissue. Pria itu tetanggaku. Dia bernama, Reyno. Baru saja kemarin dia memberikan aku cake, sekarang malah tiba-tiba muncul di depanku. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada di depanku."Mba Mia kenapa menangis sendirian?" Reyno duduk di kursi yang sama denganku.Aku menggelengkan kepala. "Tidak menangis, saya hanya kelilipan saja kok," jawabku beralasan."Masa sih, Mba. Kelilipan kok sampai sesegukan begitu." Reyno sepertinya tak yakin dengan alasanku."Pak Reyno sedang apa di sini? Kok tiba-tiba muncul. Saya sampai kaget," tanyaku basa-basi."Tadi saya lewat, tak sengaja melihat Mba Mia duduk sendirian. Saya berhenti lalu mendekat, ternyata Mba Mia sedang menangis," jawab Reyno."Oh begitu." Aku manggut-manggut. Air mata ini telah mengering.Rasanya tidak enak kalau harus bercerita dengan pria yang baru kukenal."I
Aku tercengang. Makan malam pun seketika terhenti."Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya. Benda pipih telah aku turunkan dari telinga. Aku mematung dalam beberapa detik.Kuakhiri makan malamku kali ini dengan perasaan cemas. Ingin rasanya aku menelepon kembali Bu Anjani untuk menanyakan ada apa dengannya, akan tetapi aku tak kuasa saat mengingat kembali nada suara Bu Anjani yang tinggi sedikit menyentak."Ada apa ini ya? Apa ada masalah dengan naskahku?"Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah karena gelisah. Sesekali aku mengusap kening yang tiba-tiba terasa berat. Ake merasa khawatir sesuatu terjadi dengan naskahku. Padahal hanya dari situlah aku menggantungkan harapan untuk melunasi cicilan sisa pembayaran rumah ini.Ah ya sudahlah, apa pun yang terjadi dengan naskah itu aku hanya bisa pasrah saja. Aku memilih masuk ke kamar dan membaringkan tubuh ini di atas ranjang. Walau kelopak mata susah untuk terpejam, aku berusaha cepat tidur karena esok harus ke kantor Bu Anjani.Keesokan har
"Apa yang ingin kamu jelaskan, Mba Mia?"Aku menghela napas lega saat mendengar Bu Anjani bertanya. Tentu saja aku tak akan menunda kesempatan ini. Bola mata ini terasa basah, namun berusaha kubendung agar tak meneteskan air mata."Bu Anjani masih ingatkah dengan kisah saya? Kisah pilu saya yang menyakitkan," tanyaku dengan bola mata sedikit sendu."Apa hubungannya?" Bu Anjani menyilangkan kedua tangan seraya menyenderkan kepala pada kursi."Tentu saja ada, Bu. Karena ini berhubungan dengan anak saya," jelasku.Bu Anjani tampak mengernyitkan dahi. Dia melirik ke arah Yusuf yang acuh tak acuh."Sudahlah, Anjani. Untuk apa kamu memberi kesempatan pada dia untuk bicara. Wanita itu pasti ingin membela dirinya dengan berkata bohong," tukas Yusuf yang langsung membantah ucapanku, padahal aku baru saja akan memulai pembelaan."Biarkan dia bicara dulu, Mas. Setidaknya kita tidak menutup mata. Aku memang sudah tahu kisah, Mba Mia. Aku pernah melakukan talkshow dengannya." Bu Anjani berbicara p
Pria yang selalu saja sombong itu sepertinya memang tak mau menurunkan kesombongannya. Yusuf segera beranjak dari tempat duduk kemudian berkata pada Bu Anjani acuh tak acuh,"Terserah!" ujarnya dengan singkat tanpa kejelasan. Dia kemudian pergi dari ruangan Bu Anjani, meninggalkan kami berdua tanpa permisi.Sepertinya Yusuf kesulitan memaafkan kesalahan yang tak aku lakukan, atau bisa jadi karena dia terlanjur membenciku."Maafkan atas sikap kakak saya, Mba Mia. Keadaan saat ini memang sulit diterima oleh kami. Khaila di rumah sakit jiwa karena sedang pemulihan, itu adalah tamparan yang keras bagi keluarga kami. Kami bahkan berusaha dengan susah payah media tak mengetahui keadaan Khaila saat ini." Bu Anjani menjelaskan kondisi keluarga.Aku mengangguk paham. "Ya, Bu. Saya paham kok. Tidak mudah menerima semuanya. Apalagi saat ini Rani pun telah tiada. Bu Anjani dan Pak Yusuf pasti merasa bingung harus melampiaskan kekecewaan pada siapa," balasku yang berusaha mengerti."Bagaimana deng
"Kok Mba Mia diam saja. Bisakah kita makan siang bersama?" Reyno bertanya lagi saat aku masih saja diam belum ada jawaban.Aku berusaha tersenyum walau palsu. Aku menganggukan kepala. "Bisa kok, Pak Reyno. Mari kita menyusul teman saya bersama-sama," jawabku.Aku tak bisa menolak. Selama ini Reyno cukup baik kepadaku. Kami mengendarai sepeda motor masing-masing menuju brown caffe dimana Siska tengah menunggu di sana.Sesampainya di brown caffe, awalnya Siska terkejut dengan kedatanganku yang berdua bersama Reyno. Tapi aku segera menjelaskan mengenai Reyno yang adalah tetangga baruku. Aku memperkenalkan mereka berdua.Kami makan siang bertiga di brown caffe. Aneh sih, kok mau-maunya Reyno makan siang bersama aku dan Siska. Tapi tak mengapa selama Reyno masih bersikap baik dan sopan."Oh iya, Pak Reyno. Single apa bagaimana?" celetuk Siska yang bertanya pada Reyno di tengah-tengah mengunyah makanan. Aku hanya diam saja menyimak."Saya single, Mba. Saya hanya hidup berdua dengan anak say
Wanita paruh baya yang bertitel bos di hadapanku nampak murka. Entah apa yang terjadi dengannya padahal dirasa-rasa aku tak memiliki salah apalagi kenal dengannya."Saya tidak mau asisten seperti dia!" Jari telunjuknya melurus ke wajahku. Aku tercengang kemudian menurunkan wajahku."Tapi, Bu. Pengalaman dan kriterianya Mia Lestari sesuai dengan yang Ibu minta," balas temannya Reyno di sampingku. Dia sedikit membelaku dan terlihat berusaha meyakinkan bosnya."Tidak!" tegasnya."Wanita ini tidak sesuai dengan kriteria saya. Lihat penampilannya. Kamu pikir saya tidak akan malu saat membawanya bertemu cliant! Saya tidak suka wanita ini. Cari asisten yang bari yang perfect!" imbuhnya dengan perintah kepada teman Reyno.Sementara aku, aku hanya bisa mengatur napas yang terasa sesak mendengar cibiran wanita di hadapanku. Mengapa lagi-lagi aku bertemu orang kaya yang seenaknya seperti dia. Aku pikir hanya Yusuf saja manusia paling sombong, ternyata aku salah karena wanita di hadapanku tak jau
Aku mengusap air mata yang bisa-bisanya terus luruh padahal aku sudah membendungnya. Mungkin aku sedang berada dalam posisi lelah."Apa boleh saya pergi?" Aku meminta izin pada Yusuf yang masih saja diam. Mungkin tak punya alasan lagi untuk mencibirku."Terserah!" balasnya pelan.Aku segera menaiki kendaraan roda duaku. Aku melajukannya dengan kencang seperti sudah tak perduli dengan keselematanku. Aku meninggalkan pria sombong itu yang masih mematung entah apa yang terjadi dengannya.Beruntung sekali Tuhan masih melindungi perjalananku. Aku sampai ke depan rumah dalam keadaan selamat padahal pedal gas kutarik sangat kencang.Lututku terasa lemas sekali. Aku berusaha berjalan menuju kamar mandi. Aku harus mandi guna menyegarkan tubuhku yang sudah lesu.Setelah itu aku mencari lowongan pekerjaan di internet. Mataku berbinar saat melihat lowongan office girl tertera pada layar ponselku. Gegas aku menghubungi adminnya. Tak mengapa jika harus mejadi office girl karena roda kehidupan beput
Terasa ada yang menusuk urat nadiku. Perih rasanya. Aku berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar-samar kulihat sosok pria tengah duduk di sampingku. Namun tak begitu jelas. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menutup kembali kelopak mata kemudian membukanya lagi. Suasana terlihat berbeda saat aku melihat ke atas langit-langit.Aku melihat ke atas. Seperti di sebuah ruangan. Aku juga melihat ada cairan infusan yang menggantung di atasku. Tanganku yang terasa perih rupanya sengaja ditusuk oleh jarum infusan. Dimana aku?Aku melihat ke arah samping kiri, nampak seorang pria tengah duduk sampil menutup matanya.'Yusuf!' batinku langsung terkejut setelah memastikan ada pria sombong itu di sampingku.Kenapa ada Yusuf? Kenapa aku bisa berada di ruangan ini? Ruangan yang sepertinya berada di rumah sakit. Kenapa denganku?Kepalaku kembali pusing. Aku mengingat-ingat kembali kejadian sebelumnya. Oh ya, tubuhku lemas. Sepertinya aku pingsan. Tapi, mengapa tiba-tiba ada dirumah sakit.
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe