Fery kini nampak emosi namun aku masih berusaha tenang. Aku hanya ingin bicara baik-baik saat ini. Aku tak mau lagi terus-terusan memiliki masalah dengan mantan suamiku itu."Mengapa kamu lagi-lagi menuduhku, Mia? Tempo lalu kamu menuduhku melakukan teror di rumahmu. Lalu sekarang kamu menuduhku telah membakar rumahmu. Kenapa kamu ini, Mia? Aku yang pernah bersalah bukan berarti terus-terusan melakukan kesalahan," sangkal Fery. Panjang lebar dia meyakinkan aku."Tapi, polisi telah menemukan bukti kalau rumahku memang dibakar seseorang." Aku masih bersi kukuh. Aku juga merasa yakin dan tak mau kalah."Tapi seseorang itu bukanlah aku, Mia!" Dengan tegas Fery menyanggah.Aku menarik napas kasar. Emosiku rasanya sudah naik ke atas ubun-ubun. Tapi, terus-menerus ku tahan agar tetap tenang."Lalu, siapa?" Suaraku sedikit menurun."Ya mana aku tahu! Aku tidak takut sekali pun polisi menyelidiki lebih lanjut lagi, karena aku tidak bersalah." Dengan yakinnya Fery membela diri.Aku mengalihkan
Pria sombong itu menatapku nanar tanpa sedikit pun terlihat iba."Bagaimana?"Dia malah bertanya tanpa mengangkat sepeda motor yang menindih kakiku. Seumur hidup baru kali ini aku bertemu seorang pria yang tak memiliki hati seperti dia."Oke! Saya akan bertanggung jawab!" balasku tanpa bisa berpikir panjang. Sial memang. Diantara deretan kendaraan yang lalu lalang bahkan tak ada satu pun diantara mereka yang ingin menolongku. Atau mungkin wajah Yusuf yang sombong dan menyeramkan sehingga orang-orang enggan untuk menghentikan kendaraannya.Saat ini kakiku sudah mencapai puncak kesakitan. Aku bahkan merasa sudah seperti tak memiliki kaki lagi. Ingin menangis, tapi air mata tak bisa keluar. Mungkin sudah kering oleh kisah piluku yang sebelumnya.Yusuf si pria sombong yang menyebalkan itu tampak mulai mengangkat motorku. Dia memindahkan sedikit ke belakang dan kakiku mulai bisa dirasakan kembali.Aku menghela napas lega. Akhirnya kakiku masih bersatu dengan tubuhku, padahal sebelumnya aku
Siska menatapku tampak serius. "Aku tidak yakin. Aku merasa kamu tengah bermasalah, Mia," kata Siska dengan yakinnya."Masalahku hanya satu, Sis. Aku masih belum menemukan dalang yang menyebabkan kebakaran rumahku. Semua itu cukup mengganggu pikiranku sampai-sampai terbawa lamunan saat aku mengendarai motor. Aku terjatuh di pinggih jalan. Beruntung masih selamat dan tak ada luka serius." Aku mengelak."Masa sih?" Siska nampaknya belum yakin. Aku hanya mengangguk karena tak bisa bicara banyak."Iya, Sis. Tak ada yang lain. Aku tidur dulu ya. Hari ini sungguh melelahkan." Aku segera segera beranjak dari tempat duduk dan memilih masuk ke kamar. Aku tak bisa bicara panjang lebar dengan Siska. Isi kepalaku terasa berat dan pusing.Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang di kamar tamu milik Siska yang kini aku isi untuk sementara waktu.Aku menantap langit-langit kamar. Mengapa masalah datang silih berganti mengujiku. Aku yang rapuh merasa tak terlalu kuat. Setelah pasangan yang diambil oran
Ya ampun, aku pikir siapa pria dengan setelan jas rapi bertamu sepagi ini. Siska benar-bebar deh. Pantas saja dia tidak mau menemui tamuku, rupanya tamunya mantan suamiku. Mau ngapain sih Fery datang ke rumah Siska."Kenapa kaki kamu, Mia?" Fery langsung bertanya saat melihat kakiku diperban."Tidak apa-apa. Mau apa kamu ke sini? Mau mengakui semuanya?" Nada sedikit tinggi. Aku tak bisa lagi ramah dengan mantan suamiku selama belum terbukti kalau dia tidak bersalah dalam kebakaran rumahku."Aku sudah melihat kondisi rumahmu. Aku turut berduka atas kejadian itu. Kamu bisa saja tinggal rumah bekas, Rani." Dia terdengar menawarkan."Tidak, aku tinggal akan tinggal dimana-mana selain di rumahku. Tak usah pikirkan hidupku. Semua ini juga terjadi karena kamu!" Aku yang masih yakin dengan tuduhanku.Fery nampak menghela napas kesal terhadapku. Dia masih berdiri di depan pintu. Aku tak mempersilahkannya masuk."Mia, kelak kamu akan tahu kalau penyebab kebakaran bukanlah aku!" tegasnya."Sudah
Menjelang sore tiba saat perbincanganku dengan Ibu pemilik rumah telesai, aku kembali mengendarai kendaraan roda duaku.Proses jual beli rumah telah selesai dengan dihadiri saksi RT setempat dan juga suami si Ibu pemilik rumah tadi.Saat ini aku sudah berada di jalan raya. Ada seseorang yang harus aku temui sebelum pulang ke rumah Siska. Sore ini memang sedikit mendung, tapi aku tak bisa menunda waktu saat Yusuf terus saja meneleponku meminta bertemu di coffe shop. Aku yakin dia akan meminta uang ganti rugi itu. Lagi pula, siapa sih yang memberikan nomor ponselku pada Yusuf?Aku tak bisa menolak. Ancamannya sungguh menyeramkan. Satu minggu berlalu membuat si pria sombong itu tak mau menunggu lama-lama.Kendaraan roda duaku telah menepi dan masuk tempat parkir di salah satu coffe shop di pinggir jalan."Pake acara ngajak ketemu di sini sengala." Aku segera turun dari motor kemudian melangkah masuk ke dalam coffe shop.Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Terlihat di pojok kanan a
Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari sudah sore dan aku harus segera pulang ke rumah Siska.Aku berharap, Yusuf tak lagi mengganggu hidupku mengenai kerusakan mobilnya yang tak seberapa menurut penglihatanku.Saat ini aku sudah tak memiliki uang. Sisa harta perhiasan berlian pun telah dipakai membeli rumah bahkan masih ada sisa hutang lima puluh juta lagi yang mesti aku bayar.Aku merenung sejenak sesaat setelah sampai di depan rumah Siska. Aku duduk di teras rumahnya memandang tak tentu arah, Sambil menahan dagu oleh kedua telapak tangan, aku memilih diam.Napasku hari ini sedikit lancar, namun entah dengan esok. Harus kemana aku mencari pekerjaan. Aku juga belum tahu keputusan kerja sama dengan Bu Anjani, karena Siska yang mewakilinya.Aku yang terus berusaha kuat, nyatanya lemah. Air mata kembali menetes seiring dengan tetesan air hujan yang mulai membasahi bumi."Hei! Mengapa melamun di depan rumah?" Sebelah telapak tangan terasa menepuk bahuku.Aku segera mengusap wajahku
Saat ini, aku telah sampai di depan rumah baruku diantar Siska. Rumah yang sederhana namun terlihat cukup nyaman.Aku segera membuka kunci pintunya yang telah kuambil tadi sehingga kami berdua masuk secara bersamaan.Rumah dan isinya telah rapih. Ibu yang kemarin sepertinya telah merapihkan dan membereskannya. Syukurlah, jadi aku tinggal menempatinya."Aku langsung pamit ya, Mia. Aku ada pekerjaan soalnya," celetuk Siska setelah melihat-lihat rumah sederhanaku yang tak terlalu besar."Oke. Terima kasih ya, Sis. Sudah mengantarkan aku. Terima kasih juga karena kamu sudah memberikan tumpangan selama beberapa hari kemarin," balasku mengukir senyum."Sama-sama. Nanti aku akan sering main ke sini," ucapnya lagi dengan riang."Tentu saja. Aku tunggu," balasku lagi sambil menyeringai.Kemudian Siska pergi dan kini tinggalah aku sendiri. Aku segera merogoh saku celana guna mengambil ponsel pintarku. Aku akan menghubungi, Bu Anjani.Benda pipih itu telah aku tempelkan pada telinga. Terdengar s
Apa! Jadi adiknya Bu Anjani depresi. Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa kemarin Yusuf terlihat menyalahkanku. Aku menggelengkan kepala semakin tak mengerti saja dengan maksud Yusuf."Saya tidak mengenal adik, Bu Anjani dan Pak Yusuf." Aku menggelengkan kepala sambil menampilkan wajah bingung."Tapi, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku dengan bertanya kembali. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan."Saya tidak mengerti, Mba Mia. Mengapa Mas Yusuf marah dengan, Mba Mia. Apa Mba Mia masuk dalam masalah adik saya?" Bu Anjani yang juga nampak heran malah berbalik tanya.Tentu kepala ini kembali lagi menggeleng. "Saya tidak paham, Bu," tekanku."Saya akan jelaskan pada, Mba Mia. Adik saya bernama, Khaila. Dia depresi karena suaminya meninggal. Suaminya meninggal saat tengah berselingkuh karena kecelakaan. Hal yang membuat adik saya depresi adalah, saat ini dia tengah mengandung buah cinta dengan suaminya yang meninggal di dekat selingkuhannya. Lamunannya cukup dalam, sehingga dia