Menjelang sore tiba saat perbincanganku dengan Ibu pemilik rumah telesai, aku kembali mengendarai kendaraan roda duaku.Proses jual beli rumah telah selesai dengan dihadiri saksi RT setempat dan juga suami si Ibu pemilik rumah tadi.Saat ini aku sudah berada di jalan raya. Ada seseorang yang harus aku temui sebelum pulang ke rumah Siska. Sore ini memang sedikit mendung, tapi aku tak bisa menunda waktu saat Yusuf terus saja meneleponku meminta bertemu di coffe shop. Aku yakin dia akan meminta uang ganti rugi itu. Lagi pula, siapa sih yang memberikan nomor ponselku pada Yusuf?Aku tak bisa menolak. Ancamannya sungguh menyeramkan. Satu minggu berlalu membuat si pria sombong itu tak mau menunggu lama-lama.Kendaraan roda duaku telah menepi dan masuk tempat parkir di salah satu coffe shop di pinggir jalan."Pake acara ngajak ketemu di sini sengala." Aku segera turun dari motor kemudian melangkah masuk ke dalam coffe shop.Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Terlihat di pojok kanan a
Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari sudah sore dan aku harus segera pulang ke rumah Siska.Aku berharap, Yusuf tak lagi mengganggu hidupku mengenai kerusakan mobilnya yang tak seberapa menurut penglihatanku.Saat ini aku sudah tak memiliki uang. Sisa harta perhiasan berlian pun telah dipakai membeli rumah bahkan masih ada sisa hutang lima puluh juta lagi yang mesti aku bayar.Aku merenung sejenak sesaat setelah sampai di depan rumah Siska. Aku duduk di teras rumahnya memandang tak tentu arah, Sambil menahan dagu oleh kedua telapak tangan, aku memilih diam.Napasku hari ini sedikit lancar, namun entah dengan esok. Harus kemana aku mencari pekerjaan. Aku juga belum tahu keputusan kerja sama dengan Bu Anjani, karena Siska yang mewakilinya.Aku yang terus berusaha kuat, nyatanya lemah. Air mata kembali menetes seiring dengan tetesan air hujan yang mulai membasahi bumi."Hei! Mengapa melamun di depan rumah?" Sebelah telapak tangan terasa menepuk bahuku.Aku segera mengusap wajahku
Saat ini, aku telah sampai di depan rumah baruku diantar Siska. Rumah yang sederhana namun terlihat cukup nyaman.Aku segera membuka kunci pintunya yang telah kuambil tadi sehingga kami berdua masuk secara bersamaan.Rumah dan isinya telah rapih. Ibu yang kemarin sepertinya telah merapihkan dan membereskannya. Syukurlah, jadi aku tinggal menempatinya."Aku langsung pamit ya, Mia. Aku ada pekerjaan soalnya," celetuk Siska setelah melihat-lihat rumah sederhanaku yang tak terlalu besar."Oke. Terima kasih ya, Sis. Sudah mengantarkan aku. Terima kasih juga karena kamu sudah memberikan tumpangan selama beberapa hari kemarin," balasku mengukir senyum."Sama-sama. Nanti aku akan sering main ke sini," ucapnya lagi dengan riang."Tentu saja. Aku tunggu," balasku lagi sambil menyeringai.Kemudian Siska pergi dan kini tinggalah aku sendiri. Aku segera merogoh saku celana guna mengambil ponsel pintarku. Aku akan menghubungi, Bu Anjani.Benda pipih itu telah aku tempelkan pada telinga. Terdengar s
Apa! Jadi adiknya Bu Anjani depresi. Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa kemarin Yusuf terlihat menyalahkanku. Aku menggelengkan kepala semakin tak mengerti saja dengan maksud Yusuf."Saya tidak mengenal adik, Bu Anjani dan Pak Yusuf." Aku menggelengkan kepala sambil menampilkan wajah bingung."Tapi, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku dengan bertanya kembali. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan."Saya tidak mengerti, Mba Mia. Mengapa Mas Yusuf marah dengan, Mba Mia. Apa Mba Mia masuk dalam masalah adik saya?" Bu Anjani yang juga nampak heran malah berbalik tanya.Tentu kepala ini kembali lagi menggeleng. "Saya tidak paham, Bu," tekanku."Saya akan jelaskan pada, Mba Mia. Adik saya bernama, Khaila. Dia depresi karena suaminya meninggal. Suaminya meninggal saat tengah berselingkuh karena kecelakaan. Hal yang membuat adik saya depresi adalah, saat ini dia tengah mengandung buah cinta dengan suaminya yang meninggal di dekat selingkuhannya. Lamunannya cukup dalam, sehingga dia
Usai pertemuan dengan Bu Anjani, aku mampir ke makam anak kandungku dan Rani. Aku menekuk lutut di makam yang berdampingan itu. Sengaja aku makamkan Rani di dekat makam anak kandungku.Aku mendo'akan keduanya. Semoga Tuhan menjaga mereka di sisi-Nya. Air mata bahkan sempat ingin menetes saat mengingat keduanya. Namun, tetap berusaha aku bendung.Aku yang hanya hidup sebatang kara tanpa orang tua di sisi, saat ini pun telah ditinggalkan seorang anak. Terlebih dengan pasangan hidup, bisa diartikan aku sudah gelap memikirkannya. Saat ini perasaan trauma menyelimuti hati dan pikiran.Aku beranjak dari sana. Berjalan lebih menjauh menuju motor yang terparkir di depan pemakaman. Kuusap air mata yang sempat menetes. Kutelan kepedihan yang tak seharusnya aku ingat kembali. Setelah itu aku pulang dengan hati yang terasa lesu.***"Assalamualaikum!" Seseorang mengucapkan salam seraya mengetuk pintu. Pagi ini aku baru saja selesai mandi dan memakai pakaian.Gegas aku berjalan menuju pintu utama
Langkah kaki ini cukup cepat. Namun, tak kutemukan lagi wanita yang tadi tengah berbincang melalui ponsel pintarnya.Kuedarkan pandangan kesekeliling area, namun hasilnya nihil. Wanita tadi begitu cepat menghilang tanpa jejak. Aku jadi menyesal karena terlambat.Entah kenapa perasaanku berkata ada yang mencurigakan pada wanita tadi. Saat aku menoleh ke belakang, nampak Siska melambaikan tangan. Aku sadar terlalu lama aku meninggalkan meja makan. Gegas aku kembali ke meja yang dipenuhi oleh makanan yang istimewa siang ini. Akhirnya kita makan siang bersama di sana. Baik keluarga Siska mau pun calon suaminya, semuanya terlihat ramah kepadaku membuat perasaan ini nyaman saat bersama mereka. Aku seperti memiliki keluarga baru lagi.Usai makan siang bersama saat perjalanan pulang, aku menepi sejenak. Kulihat kembali wanita tadi sedang berdiri di pinggir jalan seperti tengah menunggu seseorang. Aku yang kembali penasaran berniat membuntuti saat wanita tadi masuk ke dalam taksi.Di sebuah tam
Pria itu tersenyum ramah kemudian pergi dengan kendaraan roda duanya di depan rumahku.Aku mengangkat paper bag berwarna putih itu. Isinya pasti cake yang enak soalnya aku sudah sering membelinya dulu. Gegas aku segera masuk ke dalam rumah untuk mandi dan menatap oleh-oleh cake pemberian tetanggaku tadi. Rasanya aku beruntung bisa membeli rumah di daerah sini karena lingkungan dan orang-orangnya baik-baik.***Hari-hari yang membosankan membuatku bertekad mencari pekerjaan. Lagi pula aku memang harus bekerja karena kebutuhan dan perut ini harus terisi. Hanya bermodalkan ijaza SMA aku berangkat dari rumah. Ijaza yang beruntung masih bisa kudapatkan dari sekolahku dahulu karena yang tersimpan di rumah, sudah hangus terbakar.Dengan modal hanya keyakinan dan pengalaman aku mengendarai kendaraan roda dua menuju sebuah kantor yang saat ini tengah membutuhkan karyawan sesuai dengan informasi dari internet.Aku bersemangat sekali memulai hari-hari yang baru. Dengan memakai kemeja putih dan r
Aku mendongak. Kemudian mengambil tissue yang disodorkan seorang pria yang kukenal."Terima kasih," ucapku. Gegas kuhapus air mata di pipi dengan beberapa lembar tissue. Pria itu tetanggaku. Dia bernama, Reyno. Baru saja kemarin dia memberikan aku cake, sekarang malah tiba-tiba muncul di depanku. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada di depanku."Mba Mia kenapa menangis sendirian?" Reyno duduk di kursi yang sama denganku.Aku menggelengkan kepala. "Tidak menangis, saya hanya kelilipan saja kok," jawabku beralasan."Masa sih, Mba. Kelilipan kok sampai sesegukan begitu." Reyno sepertinya tak yakin dengan alasanku."Pak Reyno sedang apa di sini? Kok tiba-tiba muncul. Saya sampai kaget," tanyaku basa-basi."Tadi saya lewat, tak sengaja melihat Mba Mia duduk sendirian. Saya berhenti lalu mendekat, ternyata Mba Mia sedang menangis," jawab Reyno."Oh begitu." Aku manggut-manggut. Air mata ini telah mengering.Rasanya tidak enak kalau harus bercerita dengan pria yang baru kukenal."I