Namun, belum sempat aku menceritakan deretan kejadian minggu ini, tubuh sahabatku nampak beranjak dari tempat duduk."Mau kemana?" Gegas aku bertanya."Aku harus pulang. Sorry ya tak bisa lama-lama mampirnya." Padahal belum lama dia datang, sudah mau pamit saja."Memangnya mau kemana buru-buru sekali?" tanyaku lagi. Sebenarnya aku ingin bercerita pada sahabatku itu, tapi dia sudah terlanjur pamit."Aku harus pulang karena ada suatu hal yang mesti kukerjakan di rumah," jawabnya sedaya menggantungkan tas selempang pada bahunya."Oke! Terima kasih oleh-olehnya dan hati-hati di jalan," ucapku yang segera dibalas anggukan kepala. Siska langsung keluar dari rumahku, pun denganku yang langsung masuk kamar usai meletakan oleh-oleh yang Siska bawa di atas nakas ruang tengah.Aku melanjutkan aktivitas menulis yang sempat tertunda. Setelah satu jam, aku mendengar seperti suatu benda terjatuh di ruang tengah. Aku terkejut kemudian menutup leptopku. Saat melirik benda bundar yang menempel didindi
"Kenapa Mamah diam? Katakan padaku siapa orang tuaku, Mah?" lirih Rani bertanya lagi. Ia sepertinya tak bisa menghentikan air matanya malam ini. Padahal yang aku tahu dia sedang sakit karena asam lambungnya naik."Mamah tidak tahu. Hanya Papah kamu yang mengetahui hal ini," jawabku seraya menggelengkan kepala.Rani kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menutupi luka dan kesedihan pada wajahnya. Suara sesegukan terdengar dari dalam dadanya. Sepertinya luka di dalam hatinya terasa pedih."Ternyata aku ini hanya anak yang tak diharapkan orang tuanya." Rani berdesis lirih.Aku segera memindahkan posisi dudukku lebih mendekat pada Rani. Aku mengusap bahunya memeluknya dari samping."Kamu tetap anak, Mamah. Mamah sudah menyayangimu dari dulu. Bahkan sampai sekarang saat rasa sakit ini menyayat hati dan perasaan Mamah, rasa sayang itu tetaplah ada tak akan pernah bisa hilang," tuturku dengan lembut berbisik di dekat telinga Rani. Aku sadar dengan kesedihan Rani saat ini.
Dengan lutut yang terasa lemas menahan beratnya beban di tubuh, aku keluar dari ruangan pemeriksaan bersama Siska. Rasanya tak kuasa aku melangkah mengurus kamar rawat inap untuk Rani. Aku kembali duduk di kursi dengan suara napas yang terasa sesak. Sulit rasanya mengatur napas ini."Kamu duduk saja. Aku yang akan mengurus kamar untuk Rani," ucap Siska yang segera kubalas dengan anggukan kepala.Siska segera melaksanakan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Sementara aku, hanya bisa terduduk lemas sambil menyenderkan kepala ini pada dinding tembok.Terasa berat dekali ujian demi ujian yang harus aku hadapai saat ini, tapi aku tetap berusaha menguatkan diri. Dengan mengusap kasar wajah ini aku terus mengatur napas guna menenangkan diri.Siapa Ayah dari janin yang ada di dalam rahimmu, Rani? Sementara belakangan ini kamu malah sering bergunta ganti lawan jenis. Aku pikir Rani bisa menjaga dari semua akibat yang bisa terjadi seperti saat ini. Aku kembali bangkit dan menemui Dokte
Fery masih tercengang mendengar syarat dariku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Wajahnya mematung dalam beberapa detik tampak kaku."Jawab, Fery! Setuju apa tidak dengan syarat yang aku ajukan? Aku hanya tidak mau melihat Rani melahirkan tanpa seorang suami. Aku tidak mau anaknya Rani lahir tanpa seorang sosok Ayah." Ada kepedihan yang susah payah kubendung di tengah-tengah tenggorokan saat mengatakan itu semua. Tapi, tak setetes pun kubiarkan air mata jatuh untuk lelaki seperti dia.Kali ini Fery menurunkan tatapannya. Dia menunduk entah malu atau hanya resah. Tapi yang aku lihat, tak ada lagi wajah murka yang ditampakan saat ini."Ya, aku mau. Aku juga harus bertanggung jawab. Meski pun sebenarnya aku tak yakim karena aku selalu menggunakan pengaman." Fery mengiyakan."Cukup! Jangan ragukan Rani lagi. Cukup aku saja yang kamu hancurkan, tapi jangan dengan Rani. Aku akan segera urus pencabutan laporan agar kamu bisa segera keluar dari sini. Kamu harus segera mengurus pernikahanmu
"Mengapa jadi seperti ini, Rani." Fery nampak bersendu sambil menekuk lututnya di atas pusara Rani.Saat ini Rani telah dimakamkan. Tak banyak yang mengantarkan kepergian Rani ke pemakaman. Hanya ada beberapa sahabat Rani yang masih perduli, dan saudaraku yang turut berduka dengan keadaanku.Aku melihat ada rona kesedihan yang terpancar dari pasang manik Fery saat ini. Di atas pusara Rani, dia hanya bisa menyesali semua yang telah terjadi diantara mereka.Tak mau berlama-lama dalam kesenduan, aku dan Siska segera membalikan badan. Kami melangkah dan akan segera pergi meninggalkan pemakaman."Tunggu, Mia." Suara Fery menahan langkahku yang sudah berjalan dalam beberapa langkah.Aku menoleh kepadanya. "Ada apa?" tanyaku.Aku lihat Fery segera berdiri dan berlari menghampiriku. "Maafkan aku," ucapnya seraya menunduk.Aku menghela napas kasar. Kata-kata maaf yang keluar dari mulut Fery hanyalah mengupas luka yang sudah kubungkus rapat."Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku
Aku sedikit tercengang. Mengapa pria sombong itu ada dimana-mana? Apa sesempit inikah kota Jakarta dengan jutaan penduduk?Aku menghembus napas kasar. Pria sombong itu tampak membulatkan kedua bola matanya kepadaku. Aku segera membuang pandangan ke arah yang lain."Dia farthner kerjaku," jawab Bu Anjani dengan santai. Pria itu menaikan sebelah bibirnya ke atas menatapku jijik."Saya permisi dulu ya, Bu. Saya tunggu kabar selanjutnya." Aku segera pamit dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Entah siapa nama pria sombong itu. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu saja dengan sikapnya yang sombong dan so kaya. Aku enggan berlama-lama dekat dengan dia karena yang ada pasti akan sakit hati atas hinaannya.Begitu aku telah keluar, segera ku tutup kembali pintunya. Aku tak langsung pergi, suara keras di dalam ruangan Bu Anjani menahan langkahku. Sejenak aku masih mematung di depan pintu ruangan Bu Anjani. Telinga ini menangkap kata hinaan di dalamnya."Untuk apa kamu bekerja sama
Masih ada sisa harta yang tidak hangus terbakar api. Aku menggenggam erat semuanya di depan dada. Ada beberapa orang yang bertanya namun aku tak bisa menjawab. Lidahku terasa kalu apa lagi saat melihat sekeliling rumahku yang sudah hangus.***"Sudah, Mia. Jangan terus-menerus dipikirkan. Aku yakin Tuhan akan mengganti semua yang telah hangus dengan berlipat ganda," ucap Siska.Dia nampak duduk di kursi yang berada di sampingku. Saat ini aku menumpang di rumah Siska setelah rumahku hangus dilalap api. Polisi pun tengah melakukan penyelidikan mengenai penyebab kebakaran.Aku duduk di depan. Merenungi kehidupan yang sungguh terasa memilukan. Siska sahabat baikku, dia yang selalu menolongku dan menenangkan perasaanku."Aku hanya masih merasa aneh dengan rumahku, Sis. Mengapa harus terbakar? Dari mana api itu berasal?" Dengan suara yang masih lesu aku membalas ucapan Siska."Serahkan saja pada pihak kepolisian." Siska membalas lagi.Aku menghela napas lesuku. Begitu sulit sekali untuk seb
Aku menghentikan langkah saat suara Bu Anjani menahanku. Sedikit menoleh ke arah wanita dengan paras india itu."Ada apa lagi, Bu?" tanyaku dengan suara lesu. Tak ada semangat lagi rasanya."Duduk kembali!" titah Bu Anjani seraya meluruskan tangannya pada kursi tadi. Dia menyuruhku kembali duduk. Aku menaikan kedua alisku. Tercengang rasanya."Saya belum selesai bicara. Duduklah kembali, Mba Mia. Saya masih ingin bicara dengan, Mba Mia," pinta Bu Anjani.Aku yang masih merasa aneh, kemudian duduk kembali di kursi yang sama. Aku melihat wajah Bu Anjani terlihat resah. Apa yang ada dalam pikirannya ya?"Bu Anjani, mau bicara apa lagi?" Aku memberanikan diri dengan bertanya kembali. Ada rasa gelisah di dalam dada yang berusaha aku telan."Jujur, naskah Mba Mia telah saya baca sampai selesai. Isinya sangat bagus. Konflik dan penyelesaiannya juga selaras. Banyak sekali pesan moral yang terkandung di dalamnya. Saya merasa yakin kalau naskah ini akan menarik minat banyak penonton apabila dib