Beberapa menit kemudian, Mas Yusuf keluar dari super market sambil menenteng paper bag berwarna coklat di lengan kanannya. Suamiku berjalan menuju mobil. Dia masuk ke dalam mobil."Apa ini, Mas?" tanyaku. Paper bag coklat itu diletakannya di tengah-tengah."Buahan-buahan. Kalau kamu tak suka strawberry, saya beli buah mangga dan jeruk." Mas Yusuf memasang kembali safety beltnya.Kupikir Mas Yusuf perhatian padaku. Aku membuka paper bag di sampingku. Kulihat isinya memang ada beberapa buah yang manis-manis. Mangga, jeruk, anggur dan lain-lain. Tapi sebagian buah yang membulatkan kedua bola mataku yakni strawberry. Untuk apa Mas Yusuf membeli strawberry? Bukankah sudah aku katakan kalau aku tak suka strawberry. Baiklah, aku tak akan bertanya lagi. Aku akan lihat nanti, untuk siapa buah asem ini.Sesampainya di rumah, aku membawa paper bag itu karena Mas Yusuf tak membawanya.Di depan rumah, sudah berdiri maduku. Dia menyambut kedatangan Mas Yusuf dengan wajah semringah."Hai, Mas!" Sua
Dia tersenyum padaku. Lagi-lagi senyuman yang selama ini selalu kurindukan telah kembali lagi."Kamu tidak sadar dengan kedatangan saya?" tangan Mas Yusuf masih melingkari tubuhku. Aku menaikan bahu. Banyak misteri yang berseliweran di benak sehingga aku sampai tak sadar dengan kedatangan suamiku.Mas Yusuf membelai rambutku. "Mia, malam ini saya akan menunaikan kewajiban saya sebagai seorang suami."Degup jantungku terasa memompa dengan cepat. Ada rasa gugup karena aku dan Mas Yusuf memang belum pernah melakukannya."Kok kamu diam?" Mas Yusuf menatapku."Saya, saya-"Mas Yusuf meluruskan jari telunjuknya di depan bibirku. "Sudahlah, jangan gugup."Mas Yusuf langsung membopong tubuhku ke atas ranjang. Dibaringkannya tubuh ini di atas ranjang. Sungguh aku merasa malu dan tak bisa memulai duluan.Tapi sepertinya waktu memang masih terlalu sore untuk memulai permainan panas di atas ranjang sehingga gangguan kembali terdengar di depan pintu kamar.Tok tok tok!"Siapa sih? Ganggu saja!" M
"Apa itu?" Aku penasaran.Ijah segera mengambil benda yang jatuh berupa sebuah obat."Obat apa ini ya?" Ijah mengernyitkan dahi.Aku menggelengkan kepala. "Saya juga tudak tahu, Ijah." Aku mengambil sebuah obat yang di pegang Ijah. Entah jatuh dari mana yang pasti obat itu ditemukan selepas langkah Jenifer.Aku menelaah. Sama sekali tak tahu obat apa itu. "Besok, akan saya cari tahu obat ini. Jangan-jangan Jenifer sakit," pikirku."Iya, Bu. Saya juga penasaran dengan obat itu. Jangan-jangan Bu Jenifer sakit. Dia kan suka minta yang aneh-aneh." Ijah menimpali."Besok akan saya selidiki." Kuputuskan mengakhiri percakapan dengan Ijah.Aku membawa sebuah obat yang masih tak kuketahui indikasinya apa.***Sebelum menyusul Mas Yusuf ke rumah sakit, aku mampir sebentar ke apotik. Aku masih penasaran dengan obat semalam."Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" Petugas apotik menyambut kedatanganku begitu kaki ini menapaki apotik."Siang juga, Mba. Ini ada yang ini saya tanyakan." Gegas kua
Mia menganggukan kepala. Yusuf nampak berpikir seraya mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya ada kemurkaan di dalam dada Yusuf setelah mendengar penjelasan Mia."Saya akan ke kantor," pamit Yusuf pada Mia. Dia langsung mengambil obat perangsang hormon itu dari tangan Mia."Untuk apa obatnya kamu ambil, Mas?" Mia merasa aneh."Sebagai bukti kecurangan, Jenifer. Sudahlah, saya akan segera ke kantor karena client sudah menunggu," alasan Yusuf.Istri pertama Yusuf itu mengangguk paham. "Iya, Mas. Bukankah kemarin sudah kamu katakan kalau hari ini ada jadwal bertemu client dari Jerman," balas Mia. Dia hanya mengingatkan suaminya agar tidak lupa dengan jadwal.Yusuf sedikit gugup. "Oh iya. Saya baru ingat akan hal itu." Dia segera mengecup kening Mia lalu beranjak dari tempat duduk."Katakan pada Khaila, saya akan kembali setelah dari kantor," sambungnya. Setelah itu Yusuf langsung keluar dari ruangan anaknya Khaila.Pikir Mia, suaminya akan ke kantor karena urusan pekerjaan. Dia masih ing
Ijah langsung menelepon Mia guna melaporkan apa yang sudah dilihatnya. Sambungan telepon darinya langsung dijawab oleh Mia yang tengah berada di rumah sakit."Hallo, Ijah. Ada apa?" Mia menyapa Ijah dengan santainya."Bu Mia, baru saja Pak Yusuf pulang sendirian." Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Ijah langsung melapor."Apa! Masa pulang?" Mia terkejut sambil beranjak dari sofa. Dia akan keluar dahulu dari ruangan anaknya Khaila karena khawatir akan mengganggu."Iya, Bu. Pak Yusuf baru saja pulang. Bliau memperlihatkan obat yang semalam kita temukan pada, Bu Jenifer." Ijah masih melanjutkan laporannya."Lalu, sedang apa mereka sekarang?" Mia yang kini berada di luar ruangan anaknya Khaila semakin dibuat penasaran."Pak Yusuf mengajak Bu Jenifer ke kamarnya," lapor Ijah lagi. Nada suaranya kesal. Dia sangat kesal melihat Jenifer tadi."Apa! Apa yang akan mereka lakukan?" Mia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Ada yang tengah panas melebihi lahar di gunung merapi."Saya t
Yusuf segera menutup kembali pintu kamar Jenifer. Dia menarik tangan Ijah. Membawa pembantu yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun di rumahnya itu ke lantai dua, agar Jenifer tak menemukan mereka."Pak, maafkan saya. Saya tidak bermaksud lancang," lirih Ijah memohon maaf sesampainya mereka di lantai dua kediaman Yusuf."Lalu, apa yang kamu lakukan di depan pintu tadi hah? Kamu menguping perbincangan saya dengan Jenifer?" Yusuf kembali dibuat emosi. Belum redam emosi akibat Jenifer, kini ditambah lagi emosinya oleh ulah Ijah."Ti-tidak, Pak. Saya cuma ingin membawa obat sakit kepala untuk, Bu Jenifer. Tapi setibanya di depan pintu, Pak Yusuf keluar," elak Ijah walau tampak gugup."Jangan bohong kamu, Ijah!" Yusuf tak yakin dengan jawaban Ijah."Tidak bohong, Pak." Ijah segera menunduk. Kedua tangannya dialihkan kebelakang guna menyembunyikan ponsel."Apa yang kamu sembunyikan di belakang?" Yusuf nampaknya curiga."Tidak ada apa-apa, Pak." Ijah menggelengkan kepala tanpa memperlihatk
"Ya ampun, Ijah." Mia merutuki keteledoran pembantunya itu. Padahal dia sudah sangat penasaran dengan rekaman audio atas perintahnya itu."Maafkan saya, Bu. Tapi memang hanya itu saja sih yang saya dengar," kata Ijah berusaha meyakinkan majikannya."Baiklah, Ijah. Terima kasih ya atas informasi kamu. Jangan lupa untuk mengabarkan kejadian apa pun yang tak saya ketahui ya," pinta Mia sebelum sambungan telepon itu berakhir."Siap, Bu." Suara Ijah terdengar semangat.Setelah perbincangan lewat telepon dengan Ijah berakhir, ponsel Mia kembali berdering. Ada panggilan masuk, namun kali ini dari Anjani, adiknya Yusuf.Mia mengurungkan niatnya masuk ke ruangan anak Khaila karena harus menjawab sambungan telepon dari adik iparnya."Hallo, Bu Anjani," sapa Mia begitu benda pipih itu ia tempelkan pada telinga."Hallo, Mba Mia. Apa masih berada di rumah sakit? Saya dengar kabar kalau anaknya Khaila sakit ya?" Anjani bertanya karena mengkhawatirkan ponakannya."Iya, Bu. Semalam masuk rumah sakit
Jenifer keluar dari toilet. Tas selempang masih terlihat aman menenteng di bahu kiri. Dia duduk dengan tenangnya di kursi yang berseberangan dengan Yusuf.Wajah Yusuf masih saja datar. Menu makanan telah dipesan. Jelang waktu yang hampir sore, Mereka selesai dengan makan bersamanya yang terasa hambar.Jenifer menyodorkan bibir bagian bawah. Dia merasa tak senang dengan sikap Yusuf yang seperti itu.Tak ada inisiatif bagi Yusuf bertanya dibalik raut wajah cemberutnya Jenifer, karena dia tak perduli."Kamu mau sampai kapan bersikap dingin seperti ini, Mas? Aku bosan melihatnya," protes Jenifer sebelum mereka pergi dari tempat makan itu."Kalau kamu bosan, ya tinggalkan saja," balas Yusuf acuh."Bukan seperti itu maksud aku, Mas. Aku ingin kamu yang seperti kemarin-kemarin. Perhatian dan baik sama aku. Kamu langsung berubah dalam waktu sekejap," protes Jenifer lagi. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bibirnya cemberut."Karena ingatan saya telah kembali. Saya tak akan mengula