Mia menganggukan kepala. Yusuf nampak berpikir seraya mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya ada kemurkaan di dalam dada Yusuf setelah mendengar penjelasan Mia."Saya akan ke kantor," pamit Yusuf pada Mia. Dia langsung mengambil obat perangsang hormon itu dari tangan Mia."Untuk apa obatnya kamu ambil, Mas?" Mia merasa aneh."Sebagai bukti kecurangan, Jenifer. Sudahlah, saya akan segera ke kantor karena client sudah menunggu," alasan Yusuf.Istri pertama Yusuf itu mengangguk paham. "Iya, Mas. Bukankah kemarin sudah kamu katakan kalau hari ini ada jadwal bertemu client dari Jerman," balas Mia. Dia hanya mengingatkan suaminya agar tidak lupa dengan jadwal.Yusuf sedikit gugup. "Oh iya. Saya baru ingat akan hal itu." Dia segera mengecup kening Mia lalu beranjak dari tempat duduk."Katakan pada Khaila, saya akan kembali setelah dari kantor," sambungnya. Setelah itu Yusuf langsung keluar dari ruangan anaknya Khaila.Pikir Mia, suaminya akan ke kantor karena urusan pekerjaan. Dia masih ing
Ijah langsung menelepon Mia guna melaporkan apa yang sudah dilihatnya. Sambungan telepon darinya langsung dijawab oleh Mia yang tengah berada di rumah sakit."Hallo, Ijah. Ada apa?" Mia menyapa Ijah dengan santainya."Bu Mia, baru saja Pak Yusuf pulang sendirian." Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Ijah langsung melapor."Apa! Masa pulang?" Mia terkejut sambil beranjak dari sofa. Dia akan keluar dahulu dari ruangan anaknya Khaila karena khawatir akan mengganggu."Iya, Bu. Pak Yusuf baru saja pulang. Bliau memperlihatkan obat yang semalam kita temukan pada, Bu Jenifer." Ijah masih melanjutkan laporannya."Lalu, sedang apa mereka sekarang?" Mia yang kini berada di luar ruangan anaknya Khaila semakin dibuat penasaran."Pak Yusuf mengajak Bu Jenifer ke kamarnya," lapor Ijah lagi. Nada suaranya kesal. Dia sangat kesal melihat Jenifer tadi."Apa! Apa yang akan mereka lakukan?" Mia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Ada yang tengah panas melebihi lahar di gunung merapi."Saya t
Yusuf segera menutup kembali pintu kamar Jenifer. Dia menarik tangan Ijah. Membawa pembantu yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun di rumahnya itu ke lantai dua, agar Jenifer tak menemukan mereka."Pak, maafkan saya. Saya tidak bermaksud lancang," lirih Ijah memohon maaf sesampainya mereka di lantai dua kediaman Yusuf."Lalu, apa yang kamu lakukan di depan pintu tadi hah? Kamu menguping perbincangan saya dengan Jenifer?" Yusuf kembali dibuat emosi. Belum redam emosi akibat Jenifer, kini ditambah lagi emosinya oleh ulah Ijah."Ti-tidak, Pak. Saya cuma ingin membawa obat sakit kepala untuk, Bu Jenifer. Tapi setibanya di depan pintu, Pak Yusuf keluar," elak Ijah walau tampak gugup."Jangan bohong kamu, Ijah!" Yusuf tak yakin dengan jawaban Ijah."Tidak bohong, Pak." Ijah segera menunduk. Kedua tangannya dialihkan kebelakang guna menyembunyikan ponsel."Apa yang kamu sembunyikan di belakang?" Yusuf nampaknya curiga."Tidak ada apa-apa, Pak." Ijah menggelengkan kepala tanpa memperlihatk
"Ya ampun, Ijah." Mia merutuki keteledoran pembantunya itu. Padahal dia sudah sangat penasaran dengan rekaman audio atas perintahnya itu."Maafkan saya, Bu. Tapi memang hanya itu saja sih yang saya dengar," kata Ijah berusaha meyakinkan majikannya."Baiklah, Ijah. Terima kasih ya atas informasi kamu. Jangan lupa untuk mengabarkan kejadian apa pun yang tak saya ketahui ya," pinta Mia sebelum sambungan telepon itu berakhir."Siap, Bu." Suara Ijah terdengar semangat.Setelah perbincangan lewat telepon dengan Ijah berakhir, ponsel Mia kembali berdering. Ada panggilan masuk, namun kali ini dari Anjani, adiknya Yusuf.Mia mengurungkan niatnya masuk ke ruangan anak Khaila karena harus menjawab sambungan telepon dari adik iparnya."Hallo, Bu Anjani," sapa Mia begitu benda pipih itu ia tempelkan pada telinga."Hallo, Mba Mia. Apa masih berada di rumah sakit? Saya dengar kabar kalau anaknya Khaila sakit ya?" Anjani bertanya karena mengkhawatirkan ponakannya."Iya, Bu. Semalam masuk rumah sakit
Jenifer keluar dari toilet. Tas selempang masih terlihat aman menenteng di bahu kiri. Dia duduk dengan tenangnya di kursi yang berseberangan dengan Yusuf.Wajah Yusuf masih saja datar. Menu makanan telah dipesan. Jelang waktu yang hampir sore, Mereka selesai dengan makan bersamanya yang terasa hambar.Jenifer menyodorkan bibir bagian bawah. Dia merasa tak senang dengan sikap Yusuf yang seperti itu.Tak ada inisiatif bagi Yusuf bertanya dibalik raut wajah cemberutnya Jenifer, karena dia tak perduli."Kamu mau sampai kapan bersikap dingin seperti ini, Mas? Aku bosan melihatnya," protes Jenifer sebelum mereka pergi dari tempat makan itu."Kalau kamu bosan, ya tinggalkan saja," balas Yusuf acuh."Bukan seperti itu maksud aku, Mas. Aku ingin kamu yang seperti kemarin-kemarin. Perhatian dan baik sama aku. Kamu langsung berubah dalam waktu sekejap," protes Jenifer lagi. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bibirnya cemberut."Karena ingatan saya telah kembali. Saya tak akan mengula
Di sebuah toko make up kecantikan kendaraan roda empat milik Yusuf menepi. Baru saja Jenifer keluar dari mobil, seseorang menarik paksa tas selempangnya lalu pergi dengan secepat kilat meninggalkan Jenifer dengan kendaraan roda dua."Jambret!" Jenifer menjerit histeris. Yusuf yang baru saja keluar dari mobil segera menghampirinya berpura-pura kaget."Ada apa?" tanya Yusuf pura-pura. Padahal orang yang mengambil tas Jenifer adalah suruhannya."Jambret, Mas. Tas aku diambil. Kejar motor jelek tadi, Mas," titah Jenifer seraya mendorong Yusuf agar segera kembali masuk ke dalam mobil."Motor yang mana?" Yusuf pura-pura mengedarkan pandangan."Tadi, Mas. Sudah pergi. Aduh gimana sih. Kamu kok enggak bisa melindungi aku sih!" Karena kesal, Jenifer akhirnya menyalahkan Yusuf."Ngapain kamu nyalahin saya! Kamu sendiri yang teledor." Yusuf tak terima disalahkan."Aduh gimana dong ini!" Jenifer meremas kepalanya tampak frustasi."Di dalamnya ada ponsel aku, Mas. Ada uang, ada kartu-kartu penting
Malam ini memang terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bukan karena Mia berada di rumah sakit, akan tetapi karena perasaannya masih dibakar api cemburu dan rasa kecewa yang membara."Mia!" Pintu di ruangan anak Khaila terbuka, padahal baru saja Mia keluar dari toilet. Wanita berkulit putih itu mematung sejenak dengan kedatangan Yusuf. Pikirnya suaminya tak akan datang ke rumah sakit karena waktu sudah menunjukan pukul delapan malam.Mia tak menjawab sapaan suaminya, ia berlalu begitu saja berjalan melewati Yusuf lalu duduk di sofa tampak acuh tak acuh.Yusuf sadar, istrinya pasti tengah marah padanya. Dia lekas duduk di dekat Mia seraya menatap."Khaila kemana? Kok tidak ada di sini," tanya Yusuf basa-basi saja. "Keluar sebentar," jawab Mia singkat tanpa menoleh ke arah suaminya."Kamu marah ya sama saya?" Yusuf tak memalingkan tatapannya ke arah mana pun."Tidak tahu," jawab Mia lagi. Bibirnya lurus tanpa bisa tersenyum walau hanya sedikit saja."Mia, jangan marah. Saya bisa
Pagi harinya saat mentari masih belum menampakkan sinarnya. Jam di dinding kamar rumah sakit menunjukan pukul lima pagi. Mia sudah bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Dia mengucek kelopak matanya. Pasang manik masih terasa perih karena tidurnya tidak efektip, sesekali ia bangun karena tangisan bayi Khaila.Mia melihat ke arah sofa di sebelahnya. Terlihat Yusuf masih memejamkan mata. Tertidur dengan lelap. Ia tak menyangka kalau suaminya tak pulang dan memilih tidur di rumah sakit.Mia segera ke toilet setelah itu ia segera keluar untuk mencari sarapan. Ia yakin saat bangun nanti, Yusuf dan Khaila pasti menginginkan sarapan pagi."Sayang, kamu sudah bangun?" Yusuf yang baru saja sadar dari tidur, menyapa Mia yang sedang menyiapkan sarapan di atas meja."Ini sudah pukum delapan, Mas. Sebentar lagi Dokter anak akan tiba. Kamu segera bangun dan sarapan," titah Mia. Raut wajahnya masih ketus membuat Yusuf tak bersemangat saja.Kakaknya Khaila itu bangkit dari sofa langsung menuju toilet